Pulau Bali menyimpan eksotisme dalam setiap jengkal tanah dan denyut kehidupan masyarakatnya. Keindahan alam, budaya, serta spiritualitas yang khas menjadikan pulau ini magnet bagi jutaan orang dari berbagai penjuru dunia—mereka datang, jatuh cinta, dan membawa pulang kisah tentang Pulau Dewata sebagai bagian dari perjalanan hidup mereka.
Salah satu di antaranya adalah Adrien-Jean Le Mayeur de Merpes. Pelukis berdarah bangsawan asal Belgia ini menjadi satu dari sekian seniman Eropa yang terpikat oleh pesona Bali, bahkan kemudian menjadi bagian penting dalam sejarah perkembangan seni lukis di pulau ini.
Pelukis berdarah bangsawan asal Belgia ini menjadi satu dari sekian seniman Eropa yang terpikat oleh pesona Bali.
Le Mayeur lahir di Brussel pada 9 Februari 1880. Bakat seninya diturunkan dari sang ayah, yang juga seorang pelukis. Meskipun sempat ditentang oleh ayahnya, Le Mayeur tetap menekuni dunia seni rupa dan belajar kepada beberapa guru, salah satunya adalah Ernest Blanc Garin (1813–1916).
Antara tahun 1919 hingga 1932, Le Mayeur banyak mengembara untuk mengasah kemampuannya. Ia sempat tinggal dan berkarya di berbagai negara, seperti Prancis, Italia, Maroko, Tunisia, India, Thailand, Kamboja, dan Tahiti.
Setelah menjelajah ke berbagai belahan dunia, langkah Le Mayeur akhirnya terhenti di Bali. Di pulau ini, ia menemukan sumber inspirasi yang tak habis digali, dan memutuskan untuk menetap serta mencurahkan seluruh daya cipta hingga akhir hayatnya.
Di pulau ini, ia menemukan sumber inspirasi yang tak habis digali.
Di Bali, Le Mayeur menemukan sumber inspirasi yang melimpah—keindahan alam, budaya, dan kehidupan masyarakat setempat menjadi tema utama dalam karya-karyanya. Ia banyak melukiskan aktivitas sehari-hari masyarakat Bali, khususnya kaum perempuan, dalam nuansa yang penuh kelembutan dan kekaguman.
Dari 47 lukisan bertema Bali yang kini tersimpan di museum, sebagian besar menggambarkan sosok wanita Bali dalam berbagai aktivitas tradisional, seperti menari, bermain, menenun, bersenda gurau, hingga membawa sesaji persembahyangan (canang). Tokoh sentral sekaligus model utama dari banyak karya Le Mayeur tak lain adalah istrinya sendiri, Ni Pollok.
Tokoh sentral sekaligus model utama dari banyak karya Le Mayeur tak lain adalah istrinya sendiri, Ni Pollok.
Ni Nyoman Pollok adalah seorang penari legong keraton asal Banjar Kelandis, Denpasar. Pertemuan pertama mereka terjadi ketika Ni Pollok masih berusia 15 tahun—momen yang kemudian menjadi titik awal hubungan artistik dan personal yang erat antara pelukis asal Belgia itu dengan sang penari muda Bali.
Le Mayeur menikah dengan Ni Pollok pada tahun 1935 melalui upacara adat Hindu, dan hubungan mereka berlangsung harmonis hingga Le Mayeur wafat pada tahun 1958. Setelah kepergian sang suami, Ni Pollok berperan besar dalam pengelolaan dan pengembangan rumah mereka menjadi museum. Rumah tersebut sebelumnya telah dihibahkan kepada pemerintah Republik Indonesia pada 28 Agustus 1957. Ni Pollok sendiri wafat pada tahun 1985.
Selain lukisan, museum juga mengoleksi berbagai benda pribadi yang memperkaya narasi kehidupan Le Mayeur dan Ni Pollok
Tanggal penghibahan rumah beserta seluruh karya Le Mayeur itulah yang kemudian ditetapkan sebagai tanggal resmi berdirinya Museum Le Mayeur. Museum ini menjadi tempat yang merangkum jejak kreatif Le Mayeur—sosok yang kerap dijuluki “Mr. Belgi”—selama masa hidupnya di Bali. Saat ini, museum menyimpan 88 lukisan dengan berbagai tema, yang dituangkan di atas kanvas, hardboard, triplek, kertas, hingga bagor.
Selain lukisan, museum juga mengoleksi berbagai benda pribadi yang memperkaya narasi kehidupan Le Mayeur dan Ni Pollok. Koleksi tersebut mencakup foto-foto dokumentasi pribadi, perabotan asli milik keluarga, ornamen ukiran kayu yang menyatu dengan bangunan rumah, serta sejumlah patung. Di antara patung-patung tersebut, terdapat patung setengah badan Le Mayeur dan Ni Pollok yang kini diletakkan menghadap langsung ke pintu masuk museum—seolah menyambut setiap pengunjung yang datang.