Menelusuri Sejarah dan Keindahan Masjid Agung Palembang - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Masjid_agung_palembang_1200.jpg

Menelusuri Sejarah dan Keindahan Masjid Agung Palembang

Masjid bersejarah dengan arsitektur unik perpaduan Jawa, Cina, dan Eropa, ini menjadi saksi kejayaan Kesultanan Palembang.

Pariwisata

Atap masjid ini berbentuk limas, tetapi sekilas menyerupai kelenteng dengan ornamen berwarna emas. Menara di dekatnya berbentuk kerucut, mengingatkan pada tumpeng atau gunungan. Sementara itu, dinding beton yang tebal, pintu, serta pilar-pilar besar di bagian depan menghadirkan nuansa bangunan kolonial bergaya arsitektur Eropa.

Memasuki ruang dalam, suasana khas masjid-masjid kuno di Jawa begitu terasa. Pilar-pilar utama dan penyangga berdiri kokoh menopang atap, terbuat dari kayu berwarna hijau dengan ukiran motif di bagian bawahnya. Di tengah ruangan, sebuah lampu gantung menggantung megah, menerangi seisi masjid. Tak jauh dari mihrab, terdapat mimbar dengan ukiran khas Palembang yang menambah keindahan interiornya.

Keunikan arsitektur ini sejalan dengan sejarah panjang Palembang sebagai pusat peradaban.

Keunikan arsitektur ini sejalan dengan sejarah panjang Palembang sebagai pusat peradaban. Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I (SMB I) Jayo Wikramo, atau lebih dikenal sebagai Masjid Agung Palembang, tak hanya menawan secara visual, tetapi juga menjadi saksi bisu perjalanan sejarah kota ini.

Sejak masa Sriwijaya, Palembang telah menjadi pusat kejayaan maritim yang tersohor. Namun, setelah keruntuhan kerajaan ini, wilayah Palembang berada dalam bayang-bayang kekuatan politik dari Singasari hingga Majapahit.

Pada penghujung era Majapahit, Palembang dikuasai oleh Ario Dillah, keturunan Prabu Brawijaya V. Ia menerima Putri Champa sebagai hadiah, istri Prabu Brawijaya yang telah memeluk Islam dan tengah mengandung. Dari pernikahan ini lahirlah Raden Fatah, yang kelak menjadi pendiri Kesultanan Demak dengan gelar Senopati Jimbun Abdurrahman Panembahan Palembang Sayyidin Panata Gama.

“Gelar ini sekaligus menegaskan betapa pentingnya Palembang bagi penguasa Demak yang pertama itu,” catat Nawiyanto dan Eko Crys Endrayadi dalam Kesultanan Palembang Darussalam: Sejarah dan Warisan Budayanya.

Kemelut perebutan kekuasaan di Demak berakhir dengan kemenangan Hadiwijaya, yang kemudian mendirikan Kerajaan Pajang. Dampak dari peristiwa ini turut dirasakan hingga ke Palembang. Sebagian pengikut Arya Penangsang memilih menyingkir ke wilayah tersebut di bawah pimpinan Ki Gede ing Suro, yang kemudian menjadi penguasa Palembang.

Di bawah kepemimpinan Ki Gede ing Suro, Palembang berkembang menjadi pusat perdagangan sekaligus penyebaran Islam.

Di bawah kepemimpinan Ki Gede ing Suro, Palembang berkembang menjadi pusat perdagangan sekaligus penyebaran Islam. Sebagai bagian dari upaya memperkuat identitas keislaman, sebuah masjid didirikan di Keraton Kuto Gawang. Namun, situasi mulai berubah dengan kehadiran Kongsi Dagang Belanda (VOC), yang semula hanya berdagang tetapi lambat laun mengusik ketenteraman Palembang.

Ketegangan ini akhirnya memicu pecahnya perang pada 1659. Dalam konflik tersebut, masjid di Keraton Kuto Gawang hangus terbakar. Butuh waktu puluhan tahun hingga Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Mahmud Badaruddin I) membangun kembali masjid di lokasi yang sama. Di bawah kepemimpinannya, Palembang mencapai puncak kejayaan, dan masjid yang didirikannya inilah yang kini dikenal sebagai Masjid Agung Palembang atau Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo.

“Pendirian bangunan pertama Masjid Agung Palembang berlangsung selama sepuluh tahun,” catat Abdul Baqir Zein dalam Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia.

Lokasinya sangat strategis, terletak di utara Istana Kesultanan Palembang dan di belakang Benteng Kuto Besak.

Pembangunan masjid akhirnya rampung dan diresmikan pada 26 Mei 1748. Saat itu, masyarakat setempat menyebutnya sebagai Masjid Sultan. Lokasinya sangat strategis, terletak di utara Istana Kesultanan Palembang dan di belakang Benteng Kuto Besak. Bangunannya dikelilingi oleh sungai, yaitu Sungai Musi di selatan, Sungai Sekanak di barat, Sungai Tengkuruk di timur, dan Sungai Kapuran di utara.

Seiring waktu, masjid ini mengalami beberapa kali penambahan dan renovasi. Salah satunya adalah pembangunan menara berbentuk segi enam sekitar tahun 1753. Pada masa kolonial, bangunan inti masjid mengalami pelapisan ulang, dengan tambahan pintu serta tiang-tiang bergaya Doric. Setelahnya, serambi yang mengelilingi bangunan utama diperluas. Perubahan signifikan terjadi pada 1970, ketika atap masjid diperbarui dengan penambahan kubah.

Seiring waktu, masjid ini mengalami beberapa kali penambahan dan renovasi.

Renovasi besar-besaran kembali dilakukan pada 1999. Selain memperbaiki bagian yang rusak, tiga bangunan baru ditambahkan di bagian selatan, utara, dan timur masjid. Kubah yang sebelumnya ada pun diganti dengan atap berbentuk limas.

Pemilihan atap limas ini bukan tanpa alasan. Bentuknya memang mengingatkan pada Masjid Demak, tetapi limas juga telah lama menjadi bagian dari arsitektur tradisional Palembang. Nawiyanto dan Eko Crys Endrayadi mencatat bahwa sejak zaman Kesultanan Palembang, rumah limas merupakan rumah tradisional para penguasa. Rumah-rumah ini dahulu berdiri di sekitar Benteng Kuto Besak dan Masjid Agung Palembang, mencerminkan identitas budaya yang kuat.

Menurut Setyo Nugroho dan Hunsul Hidayat dalam Transformasi Bentuk Arsitektur Masjid Agung Palembang, bangunan masjid terdiri atas bangunan inti dan bangunan pengembangan.

Bangunan inti masjid terletak di bagian depan, dikenal sebagai “masjid lama,” yang masih mempertahankan bentuk aslinya.

Bangunan inti masjid terletak di bagian depan, dikenal sebagai “masjid lama,” yang masih mempertahankan bentuk aslinya. Struktur ini berbentuk bujur sangkar dengan atap bertingkat atau berundak, yang puncaknya berbentuk limas (mustaka). Atapnya disangga oleh 16 tiang yang berdiri di atas dinding bata di bagian luar. Empat di antaranya merupakan tiang utama (soko guru) yang menopang mustaka, memberikan kesan kokoh dan megah pada bangunan.

Seiring perkembangannya, masjid ini mengalami perluasan dengan tambahan bangunan di sekelilingnya. Bagian belakang dibangun menjadi struktur tiga lantai, sementara sisi kiri dan kanan memiliki bangunan satu lantai yang melingkari bangunan inti. Setiap tambahan ini tetap mempertahankan bentuk atap yang khas, mencerminkan harmoni antara arsitektur lama dan pengembangan modern.

“Karakter bangunan secara keseluruhan memperlihatkan adanya perpaduan budaya antara bangunan Hindu/Jawa, Cina, dan Arab,” tulis Setyo Nugroho dan Hunsul Hidayat.

Di sekitar bangunan utama, terdapat hamparan rumput hijau, taman, dan kolam air mancur yang menambah keindahan kawasan masjid. Berbagai fasilitas juga tersedia, seperti area parkir, gedung serbaguna, ruang kantor sekretariat, dan perpustakaan. Yang menarik, masjid ini memiliki mushaf Al-Qur’an ukiran terbesar di dunia, yang dikenal sebagai Al-Qur’an Al-Akbar. Kitab suci ini terbuat dari kayu tembesu dan menjadi salah satu ikon religi di Palembang.

Masjid ini memiliki mushaf Al-Qur’an ukiran terbesar di dunia, yang dikenal sebagai Al-Qur’an Al-Akbar.

Sebagai salah satu masjid tertua di Indonesia, Masjid Agung Palembang tetap berdiri kokoh hingga kini. Dengan luas kompleks mencapai 15.400 meter persegi dan nilai sejarah yang tinggi, masjid ini telah ditetapkan sebagai masjid nasional sekaligus bangunan cagar budaya.

Terletak di pusat Kota Palembang, tepatnya di Jalan Sudirman, Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, masjid ini mudah diakses dari berbagai penjuru. Posisinya yang strategis, di pertemuan antara Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, menjadikannya destinasi yang sayang untuk dilewatkan saat berkunjung ke Palembang.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Abdul Baqir Zein. Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press. 1999.
    Setyo Nugroho dan Hunsul Hidayat. “Transformasi Bentuk Arsitektur Masjid Agung Palembang”. Disajikan dalam Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia. 2017.
    Nawiyanto dan Eko Crys Endrayadi. Kesultanan Palembang Darussalam: Sejarah dan Warisan Budayanya. Jember: Jember University Press dan Penerbit Tarutama Nusantara, 2016.