ATAPNYA berbentuk limas tapi menyerupai kelenteng dengan ornamen warna emas. Menara di dekat masjid berbentuk kerucut seperti tumpeng atau gunungan. Dinding beton yang tebal, pintu, dan pilar-pilar besar penyangga bagian depan masjid serupa bangunan peninggalan kolonial yang berarsitektur Eropa.
Masuk ke dalam, Anda akan melihat ruangan shalat serupa masjid-masjid kuno di Jawa. Ada pilar-pilar utama dan penyangga menopang atap. Pilar-pilar ini terbuat dari kayu berwarna hijau dengan ukiran motif di bagian bawahnya. Di tengah-tengah, lampu gantung menyinari seisi ruangan. Di dekat mihrab, terdapat mimbar yang dihiasi ukiran khas Palembang.
Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I (SMB I) Jayo Wikramo atau dikenal dengan Masjid Agung Palembang memang menawan. Selain menampilkan perpaduan arsitektur Tiongkok, Eropa, dan Nusantara, masjid ini merupakan saksi bisu sejarah Kota Palembang.
Di Palembang dulu berdiri Kerajaan Sriwijaya yang tersohor. Setelah keruntuhan Sriwijaya, Palembang berada dalam ancaman pusat-pusat kekuasaan politik di Jawa, dari Singasari hingga Majapahit.
Pada masa akhir Majapahit, wilayah Palembang berada di tangan Ario Dillah, keturunan Prabu Brawijaya V. Ario Dillah mendapat hadiah Putri Champa, istri Prabu Brawijaya yang menganut Islam dan tengah hamil. Setelah lahir, anak tersebut dinamai Raden Fatah, yang nantinya menjadi pendiri sekaligus sultan Demak dengan gelar Senopati Jimbun Abdurrahman Panembahan Palembang Sayyidin Panata Gama.
“Gelar ini sekaligus menegaskan betapa pentingnya Palembang bagi penguasa Demak yang pertama itu,” catat Nawiyanto dan Eko Crys Endrayadi dalam Kesultanan Palembang Darussalam: Sejarah dan Warisan Budayanya.
Kemelut perebutan kekuasaan di Demak berakhir dengan kemenangan Hadiwijaya, yang kemudian mendirikan Kerajaan Pajang. Sebagian pengikut Arya Penangsang menyingkir ke Palembang di bawah pimpinan Ki Gede ing Suro, yang kemudian menjadi penguasa Palembang.
Palembang lalu tumbuh sebagai pusat perdagangan dan perkembangan Islam. Sebuah masjid di Keraton Kuto Gawang dibangun Sultan Ki Gede Ing Suro. Namun kehadiran Kongsi Dagang Belanda (VOC), yang semula hanya berdagang, mulai mengusik ketentraman Palembang.
Pada 1659, perang pun pecah. Akibatnya masjid di Kraton Kuto Gawang hangus terbakar. Butuh puluhan tahun berselang hingga Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Mahmud Badaruddin I), yang membawa Palembang ke puncak kejayaan, membangun kembali di lokasi masjid yang terbakar. Masjid itulah yang kini dikenal sebagai Masjid Agung Palembang atau Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo.
“Pendirian bangunan pertama Masjid Agung Palembang berlangsung selama sepuluh tahun,” catat Abdul Baqir Zein dalam Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia.
Pembangunan rampung dan diresmikan pada 26 Mei 1748. Masjid, yang waktu itu disebut masyarakat setempat sebagai Masjid Sultan, terletak di utara Istana Kesultanan Palembang dan di belakang Benteng Kuto Besak. Bangunannya dikelilingi sungai, yaitu sebelah selatan Sungai Musi, sebelah barat Sungai Sekanak, sebelah timur Sungai Tengkuruk, dan sebelah utara Sungai Kapuran.
Masjid ini mengalami beberapa kali penambahan dan renovasi. Misalnya, menara masjid berbentuk segi enam dibangun sekira 1753. Oleh pemerintah kolonial, dilakukan penambahan dan pelapisan bangunan inti yang dilengkapi pintu dan tiang-tiang bergaya doric. Penambahan dan pelebaran serambi yang mengelilingi bangunan menyusul kemudian. Pada 1970, perubahan kentara terjadi pada atap masjid dengan hadirnya kubah.
Renovasi besar-besaran dilakukan pada 1999. Bukan hanya memperbaiki bagian yang rusak, tetapi juga menambahkan tiga bangunan baru di bagian selatan, utara, dan timur masjid. Kubah masjid juga diganti lagi menjadi bentuk limas.
Atap limas memang mengingatkan orang pada Masjid Demak. Namun limas juga sudah menjadi bagian dari arsitektur tradisional Palembang. Menurut Nawiyanto dan Eko Crys Endrayadi, sejak zaman Kesultanan Palembang, rumah limas adalah rumah tradisional para penguasa Palembang. Rumah-rumah ini berdiri di sekitar Benteng Kuto Besak dan Masjid Agung Palembang.
Menurut Setyo Nugroho dan Hunsul Hidayat dalam Transformasi Bentuk Arsitektur Masjid Agung Palembang, bangunan masjid terdiri atas bangunan inti dan bangunan pengembangan.
Bangunan inti berada di bagian depan, yaitu bangunan “masjid lama”, yang masih menunjukan bentuk aslinya. Bangunan inti berbentuk bujur sangkar dan mempunyai bentuk atap bertingkat (bersusun, berundak) dengan atap limas sebagai puncaknya (mustaka). Atap bangunan didukung 16 tiang yang menumpu pada dinding bata di lingkar luar –empat di antaranya merupakan tiang utama (soko guru) yang menopang atap mustaka.
Sedangkan bangunan pengembangan berupa bangunan tiga lantai di belakang dan bangunan satu lantai di kiri-kanan yang melingkari bangunan inti. Bangunan tambahan ini memiliki bentuk atap yang khas.
“Karakter bangunan secara keseluruhan memperlihatkan adanya perpaduan budaya antara bangunan Hindu/Jawa, Cina, dan Arab,” tulis Setyo Nugroho dan Hunsul Hidayat.
Di sekitar bangunan utama, terdapat hamparan rumput, taman, dan kolam air mancur. Selain itu, ada pula fasilitas lain seperti tempat parkir, gedung serbaguna, ruangan kantor sekretariat, hingga perpustakaan. Yang menarik pula, masjid memiliki mushaf Al-Qur’an ukiran terbesar di dunia. Kitab suci tersebut terbuat dari kayu tembesu itu diberi nama Alquran Al-Akbar.
Hingga kini, Masjid Agung Palembang masih berdiri kokoh. Mengingat nilai sejarahnya, masjid yang menempati kompleks seluas 15.400 meter persegi ini ditetapkan sebagai salah satu masjid nasional dan bangunan cagar budaya.
Masjid Agung Palembang berlokasi di Jalan Sudirman, Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, Kota Palembang, Sumatera Selatan. Akses menuju masjid sangat mudah, mengingat posisinya di pusat kota, tepat di pertemuan Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman. Jika berkunjung ke Palembang, sayang kalau tak mampir ke masjid bersejarah ini.*