Kerkhof Peutjoet, Saksi Ketangguhan Aceh Melawan Penjajahan - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

1221_thumb_Berdasarkan_data_PDIA_tercatat_ada_2200_personil_KNIL_yang_dimakamkan_di_sini_sepanjang_1880-1942.jpg

Kerkhof Peutjoet, Saksi Ketangguhan Aceh Melawan Penjajahan

Kompleks pemakaman sunyi yang mencatat jejak kolonialisme dan warisan Kesultanan Aceh.

Pariwisata

Di Jalan Teuku Umar, Banda Aceh, tepat di sisi kanan Museum Tsunami, terdapat sebuah jalan kecil yang memanjang sekitar seratus meter ke arah belakang. Ujung jalan ini mengarah pada sebuah gerbang bergaya art deco, dengan deretan prasasti marmer berjejer di sisi kanan dan kirinya—sebuah penanda akan kawasan sunyi yang menyimpan jejak sejarah panjang.

Inilah tempat persemayaman terakhir bagi ribuan tentara Belanda yang tewas dalam usaha menduduki Aceh. Kompleks pemakaman ini dikenal dengan nama Kerkhof Peutjoet.

Inilah tempat persemayaman terakhir bagi ribuan tentara Belanda yang tewas dalam usaha menduduki Aceh.

Nama kompleks pemakaman ini terbilang unik, karena merupakan perpaduan antara bahasa Belanda dan bahasa Aceh. Dalam bahasa Belanda, kerkhof berarti kuburan. Kata ini tersusun dari dua suku kata: kerk yang berarti gereja, dan hof yang berarti halaman.

Gabungan kedua kata tersebut diasosiasikan sebagai kuburan karena, pada umumnya, pemakaman di Belanda memang terletak di halaman gereja. Sementara itu, kata Peutjoet diyakini berasal dari nama seorang putra mahkota Kesultanan Aceh, yaitu Meurah Pupok, putra dari Sultan Iskandar Muda. Dalam lingkungan istana, Meurah Pupok memiliki panggilan kesayangan Photeu Tjoet—gabungan kata photeu yang berarti ‘raja’ dan tjoet yang berarti ‘kecil’.

Sebelum kompleks ini menjadi tempat peristirahatan bagi para serdadu Belanda, sejarahnya berakar dari kisah tragis Meurah Pupok.

Namun sebelum kompleks ini menjadi tempat peristirahatan bagi para serdadu Belanda, sejarahnya berakar dari kisah tragis Meurah Pupok—putra mahkota Kesultanan Aceh dan anak dari Sultan Iskandar Muda. Ia dimakamkan di sebuah bukit kecil dalam kawasan ini, terpisah dari keluarga kesultanan lainnya, bersama dua makam yang diyakini sebagai pendamping atau penjaganya. Pemisahan ini bukan tanpa alasan. Meurah Pupok dihukum rajam oleh ayahnya sendiri, sebuah hukuman yang mencerminkan betapa tegaknya hukum di dalam istana, sekalipun harus dijatuhkan kepada darah daging sendiri.

Menurut sejumlah sejarawan Aceh, penyebab hukuman itu masih diperdebatkan hingga kini. Ada yang menyebutkan bahwa Meurah Pupok menjalin hubungan terlarang dengan seorang gadis Belanda. Versi lain menyebut keterlibatan dengan istri perwira Kesultanan, sementara riwayat berbeda menuduh adanya fitnah dan intrik politik dalam lingkaran kekuasaan. Terlepas dari berbagai versi tersebut, makam Meurah Pupok diyakini sebagai titik awal munculnya kawasan pemakaman Peutjoet.

Lebih dari sekadar deretan batu nisan, Kerkhof Peutjoet juga mencatat jejak panjang perlawanan rakyat Aceh terhadap kolonialisme.

Seiring waktu dan pergantian kuasa, kawasan ini berubah fungsi dan wajah. Dari awalnya menjadi tempat pemakaman bangsawan istana, Peutjoet kemudian berkembang menjadi kompleks pemakaman militer Belanda terbesar di Aceh.

Lebih dari sekadar deretan batu nisan, Kerkhof Peutjoet juga mencatat jejak panjang perlawanan rakyat Aceh terhadap kolonialisme. Nama-nama pasukan yang dikirim dari negeri jauh, banyak di antaranya tak pernah kembali. Beberapa nisan menunjukkan pangkat militer, sebagian lain mencatat usia yang masih sangat muda saat mereka tewas dalam medan pertempuran. Salah satu nama paling dikenal adalah Jenderal Kohler, yang gugur pada tahun 1873 ketika memimpin serangan terhadap Masjid Raya Baiturrahman—peristiwa yang kemudian menjadi simbol awal perlawanan bersenjata rakyat Aceh terhadap pendudukan Belanda.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya