Perayaan maulid nabi merupakan salah satu tradisi yang rutin diadakan setiap tahun di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di daerah dengan nilai keislaman yang kuat. Ritual peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW ini merupakan perwujudan kecintaan umat Muslim pada sosok Sang Pembawa petunjuk.
Proses akulturasi dengan unsur budaya lokal di masing-masing daerah telah menciptakan warna tersendiri dalam prosesi perayaan maulid di berbagai tempat. Salah satu daerah yang memiliki ritual peringatan maulid yang amat khas adalah di Buton, Sulawesi Tenggara.
Perayaan maulid di Buton diduga dimulai pada masa pemerintahan Sultan Murhum sejak 1538 M.
Di wilayah Buton dahulu pernah berdiri kerajaan Islam bernama Kesultanan Butuni. Riwayat sejarah setempat mencatat bahwa perayaan maulid di Buton diduga berawal pada masa Pemerintahan Sultan Murhum (Lakiaponto) yang memerintah sejak 1538 M.
Ketika itu perayaan maulid masih bersifat sangat sederhana. Pada masa pemerintahan Sultan Dayanu Ihsanuddin (1629 M), ditetapkan bahwa peringatan maulid dilakukan pada dini hari tanggal 12 Rabi’ul Awal dengan dipimpin langsung oleh sultan beserta para perangkat Masjid Keraton Butuni.
Ritual yang dilakukan oleh keluarga Keraton Butuni sejak tengah malam tersebut dinamakan Goraana Oputa atau munajat Sang Sultan. Ritual ini menggambarkan suatu bentuk permohonan sultan kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan kekuatan dalam menjalankan ajaran Rasulullah.
Selain itu, dilakukan juga ritual yang melibatkan masyarakat Buton secara umum. Ritual ini dinamakan Maluduna Miabari (maulid seluruh masyarakat) yang diadakan pada pagi harinya, dimulai selepas salat subuh atau sekitar pukul 06.00. Dalam kedua prosesi ritual ini, dibacakan riwayat kehidupan Nabi Muhammad SAW, yang terangkum dalam kitab Barzanji.
Dalam pelaksanaanya di masa kini, prosesi Haroana Maludhu (perayaan maulid) dilaksanakan sejak semalam sebelum perayaan. Prosesi dimulai dengan Antokiana Haroa Rasulu, penyiapan perlengkapan untuk ritual yang akan dilakukan keesokan harinya disertai pembacaan doa oleh para sesepuh dan pemuka masyarakat. Selanjutnya dilakukan Panimpa (pelaksanaan nazar bagi yang bernazar) dan Tapayana Maludhu Wolio, yaitu memperdengarkan syair lagu maludhu sebagai bentuk mengharap keberkahan dari Allah SWT. Senandung lagu maludhu ini dibawakan oleh seorang pemuka agama dengan diiringi gendang maludhu oleh para sesepuh.
Salah satu kekhasan dalam Haroana Maludhu adalah nuansa kesetaraan yang dibangun di tengah masyarakatnya.
Salah satu kekhasan dalam perayaan maulid di Buton (Haroana Maludhu) adalah nuansa kesetaraan yang dibangun di tengah masyarakatnya. Perayaan maulid dijadikan ajang mempererat silaturahmi masyarakat dari berbagai strata. Hal ini secara nyata diwujudkan dengan bergotong-royong mengisi tala (talam) dengan beraneka jenis makanan sesuai kemampuan masing-masing. Isi dari tala ini akan dinikmati oleh semua anggota masyarakat yang hadir dalam perayaan tersebut.
Seiring waktu, tradisi perayaan maulid ini masih dipertahankan oleh masyarakat Buton. Meskipun Kesultanan Butuni tidak lagi memerintah, kecintaan pada Sang Pembawa Petunjuk tetap hidup di dalam sanubari orang-orang di tanah Buton. Bersama perubahan zaman, terjadi pengembangan dan penyesuaian dalam prosesi pelaksanaan ritual yang meliputi perayaan kelahiran Nabi Muhammad yang menjadi nabi terakhir tersebut.
Meski demikian, hal paling penting dari keseluruhan proses ritual Haroana Maludhu adalah untuk menghidupkan ajaran Rasulullah SAW dan memelihara silaturahmi antar sesama masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Buton.