Cerita Rakyat Sulawesi Utara: Kisah Keke Panagian - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Cerita rakyat Keke Panagian

Cerita Rakyat Sulawesi Utara: Kisah Keke Panagian

Kisah seorang gadis semata wayang bernama Keke Panagian dari tanah Minahasa yang tidak mendapatkan maaf dari orang tuanya karena tidak mematuhi aturan.

Kesenian

Kisah keke Panagian berasal dari Sulawesi Utara. Salah satu provinsi yang menonjolkan perempuan sebagai tokoh utamanya. Selain Keke Panagian, ada juga Pingkan Matindas, dan Marimbaow. 

Dari budaya turun-temurun, terlihat jelas kalau adat dari tanah Minahasa dan Sulawesi Utara tidak membedakan derajat antara laki-laki dan perempuan. Seorang misionaris dan penulis dari Belanda bernama Nicolas Graafland pernah menulis buku yang menceritakan tentang perempuan Minahasa. Para perempuan dalam bukunya digambarkan sebagai sosok yang perasa, rajin, lincah, serta gemar menolong. Satu yang ditekankannya adalah perempuan Minahasa berkemauan keras dan sering memaksakan kehendaknya, seperti Keke Panagian. 

Perempuan Minahasa berkemauan keras dan sering memaksakan kehendaknya, seperti Keke Panagian. 

Keke Panagian adalah anak gadis berbudi pekerti baik, tetapi karena tak bisa membendung emosinya, ia pun membantah dan melawan orang tuanya. Sedangkan Pontohroring dan Mamalauan, ayah dan ibu dari Keke Panagian, merupakan orang tua begitu penyayang. Saking sayangnya, kedua orang tuanya membuat peraturan yang tak mungkin lagi ia patuhi.

Apa yang dilanggar oleh Keke Panagian sehingga membuat penduduk desa Wanua Uner percaya jika saat bulan purnama adalah waktunya Keke Panagian menikmati pesta pengucapan syukur melalui sinar bulan? Yuk, simak bersama kisah Keke Panagian. 

Seorang Anak yang Dinanti-nanti

Alkisah, ada sepasang suami istri mendambakan hadirnya seorang anak di tengah pernikahan mereka. Mereka adalah Pontohroring dan Mamalauan dari desa Wanua Uner. Puluhan tahun, mereka meminta pada Sang Pencipta agar diberi seorang anak. Usia keduanya semakin senja. Kata orang, mustahil kalau mereka memperoleh anak. Tapi Pontohroring dan Mamalauan tidak pernah putus asa dan doa. Mereka tetap teguh beriman, suatu hari Tuhan pasti menjawab doa mereka untuk dipercayakan seorang anak.

Hingga suatu hari, Pontohroring mendengar kabar bahwa di desa sebelah, desa Wiamou, ada sepasang suami istri yang bisa melakukan pengobatan dari ramuan tumbuh-tumbuhan. Suami istri tersebut adalah seorang tabib bernama Mondoringin yang mahir membuat ramuan obat dan Laloan sang istri yang mampu melakukan pijatan pengobatan.

Suatu hari, pergilah Pontohroring dan Mamalauan ke desa Wiamou menemui Mondoringin dan Laloan. Seakan telah mendapat wangsit dari mimpi, Mondoringin dan Laloan tidak terkejut lagi dengan kedatangan Pontohroring dan Mamalauan. Pontohroring dan Mamalauan menjalankan berbagai proses dan ritual selama berhari-hari di rumah Mondoringin. Hingga waktunya pengobatan tersebut selesai, keduanya kembali ke rumah mereka.

Tak lama waktu berselang, keajaiban pun terjadi. Mamalauan mengandung seorang anak yang dinanti-nantikan. Ketika lahir, pasangan ini terkejut akan hadirnya seorang bayi cantik. Mereka pun memanggilnya Keke Panagian. Keke adalah istilah Minahasa untuk panggilan sayang kepada anak perempuan.

Keke adalah istilah Minahasa untuk panggilan sayang kepada anak perempuan.

Keke Panagian si Gadis Penyayang

Waktu berlalu, Panagian tumbuh besar menjadi gadis yang cantik, berbudi pekerti, dan memiliki sifat penyayang. Bukan hanya kepada sesama, Panagian juga sayang pada hewan-hewan. Karena rasa peduli dan sayangnya yang begitu besar, Panagian pernah hilang dan membuat orang-orang satu desa mencari keberadaannya. Akhirnya Panagian ditemui di pinggir danau karena mengikuti anak kucing yang kehujanan dan mencari saudara-saudara lainnya di dekat danau. Karena hujan deras, Panagian pun ketakutan berjalan pulang ke rumahnya.

Di kesempatan lain, Keke Panagian pernah hampir hanyut di sungai. Ia berusaha menyelamatkan temannya yang tergelincir ke dalam sungai saat mereka bermain. Mamalauan yang ada di sungai sambil mencuci amat ketakutan. Untungnya Panagian dan temannya berhasil selamat.

Batasan Pergaulan

Sejak kejadian-kejadian mengkhawatirkan tersebut, Pontohroring dan Mamaluan sangat melindungi Panagian. Mereka tak mau kejadian yang sama atau lebih bahaya terulang lagi. Untuk melindungi putri semata wayangnya, Pontohroring dan Mamalauan membuat banyak larangan.

Bahkan di usia Panagian yang semakin beranjak remaja, ia pun dilarang bepergian sendiri keluar rumah terlebih di malam hari. Padahal, teman-teman seusianya kerap kali bermain bersama sekadar menangkap ikan di sungai atau menari bersama. Namun, berbeda dengan Panagian. Ia lebih sering bermain di rumahnya bersama teman-teman sebayanya ketimbang di luar rumah.

Hingga suatu hari Panagian diliputi rasa sedih. Di desa Wanua Uner, ada sebuah pesta yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh warga. Pesta itu adalah perayaan syukur seluruh warga selepas musim panen yang digelar sepanjang malam bulan purnama. Kali ini, pesta akan digelar besar-besaran karena hasil panen di desa Wanua Uner juga berlimpah-limpah. Seluruh warga menyambut gembira.

Di pesta itu, ada sebuah tarian yang menjadi sorotan utama. Tarian itu adalah tari Maengket. Tarian tradisional Minahasa itu menggambarkan raya syukur atas panen yang berhasil dan kesuburan alam pada Sang Pencipta. Mengapa tari Maengket jadi begitu menarik? Karena tarian tersebut ditarikan bersama-sama oleh kaum muda-mudi maupun orang dewasa lainnya. Semua ingin sekali pergi ke pesta syukuran panen itu, tak terkecuali Panagian dan teman-temannya.

Mengapa tari Maengket jadi begitu menarik? Karena tarian tersebut ditarikan bersama-sama oleh kaum muda-mudi maupun orang dewasa lainnya.

Panagian tahu bahwa ayah dan ibunya pasti tidak mengizinkan dia untuk pergi ke pesta panen. Tapi Panagian tetap berupaya memohon izin pada ibu dan ayahnya. Sayangnya, Panagian sama sekali tak diizinkan pergi oleh orang tuanya. Jangankan menari Maengket seperti yang ia dambakan, pergi ke pestanya saja pun, Panagian tak diperbolehkan.

Keke Panagian Melanggar Aturan

Hari pesta pun tiba. Suasana di desa begitu ramai dan meriah. Dari pagi, orang-orang memenuhi tanah lapang tempat dihelatnya pesta. Panagian hanya bisa mendengar riuh rendah keramaian dan orang-orang berlalu-lalang dari balik jendela kamarnya. Semakin menjelang malam, suasana semakin ramai. Seakan menghibur diri sendiri, Panagian berganti baju. Ia merias diri dengan baju terbaik dan memulas dirinya dengan begitu menawan.

Tidak sampai di situ, Panagian memberanikan diri menemui ayah dan ibunya. Di bawah bulan purnama yang bulat sempurna dan terang benderang, Panagian kembali mengutarakan keinginannya untuk pergi ke pesta. Namun keputusan orang tuanya tetap sama. Panagian dilarang pergi ke pesta tersebut. Hati Panagian rasanya hancur sekali. Ia kembali ke kamarnya yang sunyi sambil membayangkan meriahnya pesta syukur itu bersama teman-temannya.

Tetiba sebuah cahaya datang memasuki kamarnya. Ketika Panagian membuka jendela kamar, cahaya itu membentuk sebuah jalan lurus tepat ke tanah lapang tempat pesta ucapan syukur panen digelar. Panagian terkesima. Ia berjalan mengikuti cahaya itu dan tepat tiba di keramaian pesta. Semua orang yang berada di tengah keramaian itu seakan melihat putri turun dari langit. Seluruh warga terkesima dengan kehadiran Panagian. Ketika acara menari Maengket dimulai, Panagian pun ikut menari. Lucunya, Panagian menari dengan begitu lihai seakan-akan sudah sering melakukannya padahal inilah kali pertama ia menari Maengket. Pesta yang didatangi Panagian sangat meriah sampai ia pun lupa waktu dan berpesta hingga menjelang fajar.

Lucunya, Panagian menari dengan begitu lihai seakan-akan sudah sering melakukannya padahal inilah kali pertama ia menari Maengket.

Keke Panagian Diusir

Dengan terburu-buru, Panagian pulang ke rumahnya. Dia amat ketakutan. Benar saja, setibanya di rumah, Panagian tak dipersilakan masuk oleh ayah dan ibunya. Mondoringin begitu marah pada Panagian. Ia amat geram karena putri yang paling dia sayangi berani melawan. Mamalauan juga amat kecewa pada Panagian yang tak dapat bersabar dan menahan diri.

Panagian terus memohon dan menangis dari luar rumah. Ia meminta maaf dalam tangis penyesalannya. Namun hati sang ayah dan ibu bergeming. Alih-alih memaafkan dan membiarkannya masuk ke rumah, Mondoringin justru mengusir Panagian.

Perasaan Panagian begitu hancur. Sekuat tenaga ia terus memohon maaf pada orang tuanya tapi ayah dan ibunya tetap tak mau menemuinya. Panagian pun pergi dalam kesedihan. Ia pergi ke rumah bibinya untuk bermalam dan berlindung dari dinginnya malam.

Sang bibi dan paman yang terkejut mendapati kehadiran Panagian prihatin melihatnya. Tapi keduanya juga tak dapat berbuat banyak demi menjaga perasaan ayah dan ibu Panagian. Sang bibi justru menyarankan Panagian kembali ke rumahnya, tidur di kolong rumah sambil menunggu pagi datang. Panagian tak percaya jika ia harus tidur di kolong rumah yang sejatinya adalah tempat ternak. Ia amat bersedih karena tak satupun orang yang dirasanya bisa dijadikan tempat berlindung.

Panagian tak percaya jika ia harus tidur di kolong rumah yang sejatinya adalah tempat ternak.

Tangga Keabadian

Panagian lalu pergi dengan langkah gontai dari rumah bibinya tanpa arah. Tapi kakinya membawa Panagian kembali ke tanah lapang tempat ia menari Maengket semalam. Panagian amat menyesali perbuatannya. Di dalam tangisnya ia terus bertanya-tanya mengapa tak ada seorangpun yang membukakan pintu maaf untuk dirinya.

Air matanya mengalir deras. Ia bersandar di batu tumotowa sambil terus menangis dan meratap. Di tengah tanah lapang yang luas, angin yang tadinya bertiup kencang tiba-tiba berhenti. Bulan yang bersinar terang juga seperti tidak sampai hati melihat penderitaan Panagian dengan bersembunyi di balik awan. Dalam kesunyian itu hanya rintihan Panagian yang terdengar. 

Lalu, ada cahaya tetiba datang dari langit. Keajaiban serupa kembali datang pada Panagian. Sebuah tangga dari cahaya itu turun ke tengah tanah lapang. Seakan bersuara, cahaya itu memanggil Panagian untuk menaikinya. Cahaya itu mengajak Panagian dengan lembut untuk pulang. Panagian seketika diliputi harapan. Ia pun melangkah perlahan menaiki tangga cahaya itu.

Ternyata sedari tadi, keluarga dan teman-temannya mengikuti Panagian dan menyaksikan kesedihannya. Pontohroring dan Mamaluan menyesali perbuatannya yang tak memaafkan Panagian. Mereka meminta Panagian untuk turun dari tangga cahaya itu. Dalam tangis, Mamaluan dan Pontohroring memohon-mohon agar Panagian kembali, tapi Panagian terus naik. Panagian justru menyampaikan salam perpisahannya seraya terus beranjak ke atas hingga langit bertaburan bintang-bintang.

Sejak itu, penduduk desa Wanua Uner percaya bahwa setiap kali bulan purnama, Panagian menikmati pesta pengucapan syukur melalui sinar bulan.

Sejak itu, penduduk desa Wanua Uner percaya bahwa setiap kali bulan purnama, Panagian menikmati pesta pengucapan syukur melalui sinar bulan.

Pesan Moral Kisah Keke Panagian

Dari cerita Keke Panagian, kita bisa belajar bahwa hubungan orang tua dan anak adalah hubungan dua arah. Sebagai orang tua, memaksakan kehendak hanya akan memberi jarak dalam hubungan dengan anak. Anak juga tidak sejahtera bersama orang tuanya.

Kemauan anak memang tidak semua patut dituruti tapi larangan juga tidak menjadi solusi mentah-mentah untuk melindungi anak. Kuncinya adalah seiring anak bertambah, orang tua juga harus semakin mampu berdiskusi dengan bijak.

Kuncinya adalah seiring anak bertambah, orang tua juga harus semakin mampu berdiskusi dengan bijak.

Terakhir, penyesalan selalu datang terlambat. Jangan sampai kita memuaskan ego semata sampai lupa mendengar kata hati. Selagi kita mampu memberi maaf, kita tidak hanya memberi kesempatan orang yang bersalah pada kita untuk lebih baik, tapi juga membuat diri dan hati kita sendiri lebih tenang. Sebuah kesalahan yang dibuat seorang bukan berarti ia tidak berhak diberi maaf dan kesempatan baru.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Kemendikbud, Spread News Manado,