Novel Gadis Kretek menghadirkan cerita yang sangat sinematik. Tak heran, novel ini diadaptasi menjadi serial orisinal oleh Netflix, dengan Dian Sastrowardoyo yang memerankan sang gadis keretek. Unsur sejarahnya pun sangat kental, tak hanya menyingkap sejarah rokok keretek di Indonesia, tetapi juga melibatkan dua peristiwa bersejarah lainnya, yaitu masa penjajahan Jepang dan G30S.
Siapa sangka aksi melinting rokok bisa dibuat begitu memikat, terutama ketika dilakukan oleh seorang gadis yang menjadi judul novel ini. Setelah bertahun-tahun mengamati dan mempraktikkannya, akhirnya ia mampu menciptakan sebatang rokok istimewa yang digemari banyak orang. Rahasianya? Air liurnya yang ‘manis’, yang menjadi pengganti perekat pada kertas.
Setelah bertahun-tahun mengamati dan mempraktikkannya, akhirnya ia mampu menciptakan sebatang rokok istimewa yang digemari banyak orang.
Bagian yang paling melekat dalam ingatan tersebut merupakan salah satu keunggulan novel Gadis Kretek (2012) karya Ratih Kumala. Cerita ini terinspirasi dari kisah Putri Roro Mendhut (juga disebutkan oleh salah satu tokoh dalam novel). Ratih juga tidak bermaksud untuk memunculkan kesan seksi atau keren dalam kebiasaan merokok. Hal ini dibuktikan dengan adanya disclaimer (pernyataan) pada awal bab, seperti yang terdapat pada kemasan rokok. Tujuan Ratih lebih kepada menyingkap sisi tradisi, sejarah, dan humanisme di balik kepulan asap rokok.
Dari segi genre, novel yang masuk dalam shortlist bergengsi Kusala Sastra Khatulistiwa ini bisa disebut sebagai fiksi sejarah, seperti Gadis Pantai karangan Pramoedya Ananta Toer atau Pulang karya Leila S. Chudori. Dikategorikan sebagai historical karena memuat elemen sejarah perkembangan industri rokok keretek, khususnya di Jawa. Elemen fiksi, di sisi lain, terwujud dalam jalinan roman dan drama keluarga yang menghidupkan alur cerita.
Dari Kelobot ke Keretek
Novel terbitan Gramedia Pustaka Utama ini kaya akan karakter, namun alur ceritanya lebih berfokus pada plot. Meski digerakkan oleh ucapan satu karakter, lanskap latar Gadis Kretek telah terbentang sejak awal dengan plot maju-mundur yang berpindah antara masa kini dan masa lalu. Dimulai dari lantunan nama asing “Jeng Yah” yang diucapkan Pak Raja pada saat-saat terakhir hidupnya.
Nama itu membangkitkan rasa penasaran tiga anak laki-laki Pak Raja, terutama si bungsu yang bernama Lebas. Meskipun awalnya ditentang kedua kakaknya, Tegar dan Karim, ia tetap yakin bahwa itu mungkin permintaan terakhir sang ayah. Setelah berhasil meyakinkan Tegar dan Karim, Lebas pun melakukan perjalanan darat ke Kota Malang, tempat ayah mereka pertama kali merintis usaha rokok keretek.
Lantas, cerita berkilas balik ke tahun 1940, mengikuti perjalanan hidup Idrus Moeria, “seorang buruh giling yang kerjanya cuma melinting dan tak bisa baca-tulis”. Kendati demikian, ia memberanikan diri untuk memiliki merek rokoknya sendiri, yang pada masa itu berupa rokok kelobot yang dibungkus dengan daun jagung. Salah satu alasan Idrus ingin berwirausaha adalah karena rasa cintanya kepada Romaesa—kemandirian finansial menjadi salah satu syarat yang diajukan orang tua Romaesa jika ia ingin meminangnya. Kemudian, melalui keahlian otodidak dan pengalamannya sebagai buruh linting, Idrus berhasil membuat racikan rokok kelobotnya sendiri, lengkap dengan foto profilnya yang terpampang pada kemasan (atau yang disebut etiket).
Tapi, Idrus memiliki saingan: Soejadgat, rekan sesama buruh linting. Ketidaksukaan Soejadgat terhadap Idrus semakin menguat ketika Romaesa, wanita idamannya, memilih Idrus. Soejadgat pun kerap meniru produk rokok kelobot Idrus, meski Idrus tidak dapat membuktikannya.
Dari pernikahannya dengan Romaesa, lahirlah Dasiyah dan Rukayah. Seiring waktu, bisnis rokok Idrus semakin sukses dan ia pun memiliki pabrik rokok yang ia dirikan di Kota M. Pabrik tersebut menjadi semacam rumah kedua Dasiyah di mana ia sesekali membantu proses pemilihan dan pengolahan tembakau. Alhasil, ia tumbuh menjadi wanita yang memiliki pengetahuan mendalam tentang pembuatan rokok keretek. Dan tanpa sengaja, ia membuat rokok racikannya sendiri yang terbuat dari sari tembakau yang dilintingnya untuk ayahnya. Rokok yang direkatkannya dengan liurnya yang ‘manis’.
Rokok yang direkatkannya dengan liurnya yang ‘manis’.
Rokok buatan Dasiyah menjadi favorit Idrus. Kejelian bisnis Idrus pun muncul dan ia memutuskan untuk menjual rokok buatan Dasiyah, meskipun dalam jumlah terbatas. Rokok istimewa itu ia beri nama “Kretek Gadis”, terinspirasi dari sosok anak perempuannya, Dasiyah, yang akrab disapa Jeng Yah.
Cerita Sinematik
Sinopsis di atas mungkin terkesan mengandung spoiler. Namun, penyingkapan tersebut bukan merupakan twist (perubahan alur), karena alur cerita itu terjadi di pertengahan novel. Kejutan yang sebenarnya baru akan terungkap di akhir cerita.
Novel Gadis Kretek, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Arab-Mesir, merupakan sebuah novel Indonesia yang ambisius. Hal ini didasari oleh riset mendalam yang dilakukan sang pengarang tentang sejarah rokok di Indonesia, mulai dari era kelobot hingga transisi ke rokok keretek dan penggunaan “saus”, yang menjadi bagian integral dalam kehidupan Idrus. Beberapa bab awal novel ini bahkan dilengkapi dengan gambar etiket kemasan rokok Idrus yang bernuansa semangat nasionalisme.
Meski hanya menjadi latar, peristiwa masa penjajahan Jepang dan G30S memegang peran penting dalam cerita Gadis Kretek. Saat Idrus ditangkap oleh Jepang dan dipenjara di Soerabaia selama dua tahun, ia baru mengetahui tentang inovasi penggunaan saus pada rokok. Sementara itu, peristiwa G30S mengubah alur hidup Dasiyah selamanya.
Yang pasti, Gadis Kretek menghadirkan cerita yang memadukan berbagai ‘saus’, dengan fokus pada tema kekeluargaan, romansa, dan sejarah. Ratih Kumala menunjukkan kenyamanan dan kealamian dalam gaya penulisannya. Tidak terlalu prosaik, namun tetap mendalam; modern namun tetap menjunjung tradisi; romantis namun tidak cengeng; dan berwawasan luas tanpa terkesan menggurui. Ia juga berhasil membangun karakter perempuan yang kuat dan cerdas dalam diri Dasiyah (dan, dalam porsi yang lebih kecil, Roemaisa) tanpa membuatnya terkesan idealistis. Hal ini karena Dasiyah digambarkan hidup dalam konteks zamannya, dengan segala keterbatasan ruang gerak yang dihadapi perempuan pada masa itu. Meskipun Dasiyah memiliki sikap dan kebiasaan yang berbeda dari perempuan pada umumnya, ia tetap harus berhadapan dengan dunia patriarki yang mendominasi, sehingga potensinya untuk berkembang pun terbatas.
Yang pasti, Gadis Kretek menghadirkan cerita yang memadukan berbagai ‘saus’, dengan fokus pada tema kekeluargaan, romansa, dan sejarah.
Walau begitu, plot maju-mundur novel Gadis Kretek tak sepenuhnya berjalan mulus. Terkadang, ceritanya terasa terlalu padat karakter dan alur cerita, dengan plot kilas balik yang lebih menarik dibandingkan masa kini. Masa kini lebih banyak menampilkan perseteruan antara Lebas, si bungsu berandal yang berprofesi sebagai pembuat film dokumenter, dan Tegar, sang kakak tertua yang berkarakter super serius karena sejak muda telah memikul beban sebagai penerus bisnis rokok keretek ayahnya.
Ironisnya, meski berjudul Gadis Kretek, novel ini memberikan porsi cerita yang terbatas kepada sang gadis. Dasiyah, yang seharusnya menjadi pemeran utama, harus berbagi ‘panggung’ dengan karakter lain. Alur cerita novel ini bisa saja dipimpin oleh Dasiyah sejak awal, seperti yang ditunjukkan dalam adaptasi serial Netflix. Dasiyah sendiri baru muncul di pertengahan cerita, dan kisah pribadinya terpecah antara perannya dalam bisnis rokok sang ayah serta jalinan cintanya dengan seorang buruh linting.
Namun, keunggulan novel yang telah dicetak ulang sebanyak 12 kali ini tak terbantahkan. Perpaduan elemen sejarah dan fiksi yang memikat terjalin seimbang, dan penggambaran karakterisasi para tokoh utama sangatlah baik. Inspirasi cerita Gadis Kretek sendiri berasal dari keluarga sang penulis. Almarhum kakek Ratih Kumala merupakan pendiri sebuah perusahaan rokok keretek—yang sudah vakum lama—di kota Muntilan (yang kemungkinan besar merupakan Kota M pada cerita. Istri dari novelis Eka Kurniawan (Cantik itu Luka) ini bahkan melakukan riset selama empat tahun untuk memetakan kompleksitas cerita Gadis Kretek.
Pemetaan yang sangat ambisius ini menghasilkan sebuah novel Indonesia yang tak kalah ambisius.