Cari dengan kata kunci

SAMSUNG CAMERA PICTURES

Benteng Otanaha, Jejak Portugis di Tanah Gorontalo

Dulu tempat berlindung dari serangan musuh, sekarang menjadi daerah tujuan wisata sejarah dan alam.

Pariwisata

Portugis merupakan salah satu negara yang pernah menduduki Indonesia. Salah satu bukti kedatangan Portugis di Indonesia dapat ditemukan di Gorontalo. Salah satunya Benteng Otanaha.

Benteng Otanaha terletak di Kelurahan Dembe I, Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo–pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara tahun 2000. Selain Otanaha sebagai benteng utama, ada dua benteng lainnya di lokasi ini, yakni Otahiya dan Ulupahu. Ketiganya telah menjadi daya tarik wisata di Gorontalo. Letaknya tepat menghadap Danau Limboto.

Ketika berkunjung ke sini, kita akan bertemu lebih dulu dengan Benteng Otahiya. Setelah puas melihat benteng Otahiya, kita bisa mencapai Benteng Otahana dan Ulupahu dengan dua cara. Pertama dengan berjalan kaki menaiki 351 anak tangga. Sebab, letak kedua benteng tersebut berada di atas bukit. Tak perlu khawatir kelelahan, ada empat pos peristirahatan untuk rehat menghirup udara segar. Cara kedua dengan menggunakan mobil atau motor untuk mencapai bukit.

Sesampainya di Benteng Otanaha dan Ulupahu, pemandangan indah terhampar di depan mata. Danau Limboto dan perbukitan hijau di sekitarnya terlihat jelas sehingga menyegarkan mata. Wisata bangunan bersejarah berpadu dengan keindahan bentang alam.

Benteng Otanaha adalah yang paling tua. Berbagai sumber menyebut benteng ini dibangun tahun 1522. Sementara cerita tutur masyarakat menyebut benteng ini ditemukan tahun 1585 oleh Naha, salah satu anak Raja Ilato yang memerintah Kerajaan Limboto.

“Benteng Otanaha sebenarnya berasal dari dua kata ota dan naha. Ota berarti benteng dan naha adalah nama orang yang menemukan,” catat Moh. Karmin Baruadi dan Sunarty Eraku dalam Sejarah Benteng Otanaha.

Naha juga menemukan dua benteng lainnya dan memberi nama sesuai dengan nama istri dan anaknya: Otahiya dan Ulupahu.

Benteng ini merupakan saksi sejarah dari perjuangan masyarakat Gorontalo ketika berperang melawan Portugis.

Pendirian ketiga benteng tersebut tak lepas dari kehadiran Portugis di Gorontalo. Benteng ini merupakan saksi sejarah dari perjuangan masyarakat Gorontalo saat itu ketika berperang melawan Portugis.

Portugis datang ke Nusantara untuk mencari rempah-rempah. Mula-mula mereka merebut pelabuhan strategis di Malaka. Portugis kemudian melanjutkan pelayaran untuk menemukan kepulauan rempah-rempah. Sebagian sampai ke wilayah Ternate. Sebagian lagi tersesat tapi menemukan jalur perdagangan rempah di kawasan timur antara Maluku dan Sulawesi.

“Mereka mulai menelusuri pelabuhan-pelabuhan pesisir barat Sulawesi dalam pelayaran mereka ke Maluku itu,” ungkap Mukhlis Paeni dkk. dalam Sejarah Kebudayaan Sulawesi.

Semula kedatangan Portugis memperoleh sambutan baik. Kerja sama perdagangan pun tercipta. Tapi ketika Portugis ingin memonopoli, serangan dilancarkan kerajaan-kerajaan lokal.

Portugis terusir dari Ternate lalu mencoba mencari tempat berlindung di Kerajaan Limboto, salah satu kerajaan dari konfederasi Lima Pahalaa (Lima Kerajaan) bersama Gorontalo, Boalemo, Atinggola, dan Bone yang akhirnya menjadi Kerajaan Gorontalo di Sulawesi Utara. Atas kesepakatan dan izin dari raja Limboto, mereka mendirikan tiga benteng pertahanan.

“Pada masa didirikannya ketiga benteng tersebut, daerah Gorontalo sebagian dataran masih diliputi air laut sehingga memudahkan pengangkutan bahan-bahan yang akan dibutuhkan untuk mendirikan benteng,” catat Moh. Karmin Baruadi dan Sunarty Eraku. Konon, bahan-bahan yang dipakai terdiri dari batu, pasir, kapur, dan sebagai alat perekat adalah putih telur burung Maleo.

Hubungan Portugis dan Limboto tak berlangsung lama. Kerajaan Limboto menilai Portugis melanggar kedudukan dan adat-istiadat Gorontalo. Maka, Limboto menjalin kerjasama dengan Ternate. “Kerjasama antara kedua kerajaan ini di tingkatkan terutama dalam mengusir penjajahan Portugis,” sebut J.P. Tooy dkk dalam Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Utara.

Portugis akhirnya meninggalkan Sulawesi. Benteng pertahanannya digunakan oleh Limboto dan masih berdiri kokoh hingga saat ini.

Ketiga benteng itu berbentuk bulat tanpa atap. Khusus Otanaha, bentuknya bahkan menyerupai angka delapan. Masing-masing benteng berdiameter sekira 20 meter. Tak cukup besar untuk sebuah benteng tapi cukup strategis dari sudut pandang pertahanan. Di sekeliling dinding benteng terdapat celah untuk mengintai dan membidikkan senjata. Ketiga benteng itu mengalami renovasi untuk memperkuat strukturnya pada 2009. Tapi arsitekturnya tetap dipertahankan sebagaimana aslinya.

Selama ratusan tahun, kawasan Benteng Otanaha juga menjadi tempat berkembang biak berbagai vegetasi dan fauna.

Benteng Otanaha menjadi artefak kehadiran Portugis di Sulawesi dan menjadi salah satu destinasi wisata di Gorontalo. Pemandangan sekitarnya masih alami dan indah. Selama ratusan tahun, kawasan Benteng Otanaha juga menjadi tempat berkembang biak berbagai vegetasi dan fauna seperti burung dan tarsius, sejenis monyet berukuran mungil. Keberadaan mereka menambah daya tarik kawasan ini. Tak heran jika tiap tahun kawasan ini menarik banyak wisatawan.

Karena kawasan Benteng Otanaha sarat nilai sejarah, pengetahuan, dan budaya, pemerintah telah menetapkan kawasan tersebut sebagai cagar budaya pada 2011.

Benteng Otanaha berjarak sekitar 8 km dari pusat Kota Gorontalo. Di tepi Danau Limboto, Anda bisa mengunjungi Museum Pendaratan Pesawat Amfibi Soekarno yang berjarak sekitar 2 km dari Benteng Otanaha. Selain sebagai obyek wisata sejarah, Benteng Otanaha menawarkan spot-spot yang bagus untuk para pengunjung yang gemar berfoto dengan latar Danau Limboto.*

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • J.P. Tooy dkk. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984.
    Moh. Karmin Baruadi dan Sunarty Eraku. Sejarah Benteng Otanaha. Gorontalo: Ideas Publishing, 2017.
    Mukhlis Paeni dkk. Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995.
    Sutrisno Kutoyo dkk. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979