Beluluh, Ritual Penyucian Sang Sultan di Festival Erau - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

beluluh_1200.jpg

Beluluh, Ritual Penyucian Sang Sultan di Festival Erau

Ritual penyucian Sultan Kutai ini menjadi salah satu prosesi paling sakral dalam Festival Erau, yang dipercaya mampu menetralisir energi negatif dan memulihkan harmoni spiritual.

Tradisi

Selama Festival Erau berlangsung, setiap hari digelar sebuah ritual khusus di selasar depan Keraton Kutai, yang kini dikenal sebagai Museum Mulawarman. Ritual ini dikenal dengan nama beluluh, sebuah upacara penyucian yang ditujukan kepada Sultan Kutai atau Putra Mahkota. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dari berbagai unsur jahat, baik yang tampak secara kasat mata maupun yang bersifat gaib. Biasa dilaksanakan pada sore hari, prosesi ini diawali dengan sultan yang didudukkan di sebuah balai bambu dan menjalani serangkaian tahapan ritual.

Nama beluluh sendiri berasal dari gabungan kata “buluh” yang berarti batang bambu dan “luluh” yang berarti musnah. Penamaan ini merujuk pada balai bambu bertingkat tiga yang digunakan sebagai singgasana selama upacara berlangsung. Balai tersebut diletakkan di atas sebuah lukisan tambak karang, sementara kaki-kakinya dihiasi daun kelapa. Di setiap sudutnya, diletakkan sesajian yang disebut peduduk. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, segala unsur jahat yang mengitari sultan harus diluluhkan di atas balai bambu ini, sebagai bagian dari proses penyucian diri.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, segala unsur jahat yang mengitari sultan harus diluluhkan di atas balai bambu ini, sebagai bagian dari proses penyucian diri.

Saat ritual beluluh dimulai, Sultan atau Putra Mahkota terlebih dahulu didudukkan sejenak di atas tilam kasturi sebagai bagian dari tahap pembukaan. Tak lama kemudian, keduanya akan bangkit dan menaiki balai bambu, dengan terlebih dahulu memijak pusaka batu tijakan sebagai simbol awal penyucian diri. Sultan lalu mengambil tempat di bagian tertinggi balai, tepat di bawah ikatan daun beringin (rendu), dan diselimuti selembar kain kuning yang disebut kirab tuhing.

Setelah posisi Sultan mantap, prosesi tepong tawar pun dilangsungkan. Dalam prosesi ini, seorang dewa (wanita pengabdi ritual) memercikkan air kembang ke sekeliling Sultan sebagai lambang pembersihan dari unsur-unsur negatif. Selanjutnya, Sultan mengusap kepalanya dengan air tersebut, lalu dewa menaburkan beras kuning ke arahnya sebagai bentuk doa dan restu.

Tradisi ini diyakini membawa keberkahan bagi siapa pun yang berhasil mendapatkannya.

Usai prosesi tepong tawar, dilanjutkan dengan prosesi menarik ketikai lepas. Ketikai lepas merupakan anyaman dari daun kelapa yang dirancang agar terurai saat kedua ujungnya ditarik. Pada bagian ini, Sultan memegang salah satu ujung anyaman, sementara ujung lainnya ditarik oleh tamu kehormatan—biasanya seorang pejabat daerah atau sosok yang ditunjuk khusus oleh pihak keraton. Prosesi ini menandai puncak sekaligus penutup dari rangkaian ritual beluluh, melambangkan pelepasan segala unsur jahat yang telah diluluhkan.

Setelah seluruh prosesi selesai, lukisan tambak karang yang menjadi alas balai bambu akan dibawa keluar menuju jalanan di depan tangga masuk keraton. Di luar, masyarakat sudah berkumpul, menanti abdi keraton membawa gulungan tikar berisi beras aneka warna. Begitu tikar dibuka di tengah kerumunan, masyarakat akan berebut menangkap beras-beras berwarna yang berjatuhan. Tradisi ini diyakini membawa keberkahan bagi siapa pun yang berhasil mendapatkannya.

Informasi Selengkapnya
  • Elsa Dwi Lestari

  • Indonesia Kaya