SELAIN sate lilit, ada lagi kuliner dari Bali yang sayang jika tak dicoba. Ada ayam betutu yang cukup populer di seluruh kabupaten di Bali. Bagi Anda yang gemar makanan berbahan ayam, makanan ini merupakan pilihan pas untuk menuntaskan rasa lapar.
I Made Purna dan Kadek Dwikayana dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bali dalam “Betutu Bali: Menuju Kuliner Diplomasi Budaya Indonesia” di jurnal Patanjala, Juni 2019, menjelaskan betutu berasal dari paduan kata “be” yang berarti daging atau ikan. Lalu ditambah kata “tutu” dari kata tunu yang berarti dibakar atau dipanggang.
Betutu dimasak bersama bumbu lengkap atau yang biasa disebut base genep/jangkep. Bumbu-bumbu inilah yang selalu memberi cita rasa khas pada semua masakan Bali. Di dalamnya ada bawang merah, bawang putih, cabe merah besar, cabe rawit, kemiri, kencur, lengkuas, jahe, kunyit, serai, daun jeruk purut, daun salam, ketumbar, pala, merica, gula aren, garam, terasi ditumis dan dihaluskan, serta minyak kelapa.
Sebagaimana arti namanya, ayam yang dimasak betutu disajikan utuh dengan dipanggang. Sebelumnya, base genep yang sudah dihaluskan dibalur ke seluruh permukaan ayam hingga ke bagian rongga dalamnya. Barulah ayam ditunu di atas api atau dipendam dalam api sekam. Di beberapa tempat di Bali ada juga yang lebih dulu dimasak dengan air berbumbu jangkep. Setelahnya baru ditunu.
Menurut I Made Purna dan Kadek Dwikayana, masakan betutu lebih mencerminkan bumbu masakan Jawa Kuno. Bumbunya lebih mirip jamu. Unsur santannya nyaris tak ada. Kalaupun ada, fungsinya bukan sebagai kuah tapi sebagai bumbu. Untuk rasa, bumbu-bumbu yang digunakan lebih tajam aromanya.
“Jenis metode ini dibawa oleh penduduk dan bangsawan Majapahit yang berpindah ke Bali dahulu pada saat terdesaknya agama Hindu oleh agama Islam di Pulau Jawa,” jelas mereka.
Soal bumbu, orang Bali telah menggunakan beragam jenis bumbu dalam masakannya sejak masa kuno. Sekalipun dulu lebih terkait dengan pengolahan makanan yang dipepes. Kata peneliti dari Balai Arkeologi Bali Luh Suwita Utami dalam “Jenis Makanan dalam Prasasti Bali Kuna” di Forum Arkeologi Agustus 2011, dalam Prasasti Trunyan B (911 M) misalnya disebutkan pemakaian bawang merah, jahe, kapulaga, dan kemiri.
“Prasasti Trunyan B memberi keterangan bahwa untuk upacara Bhatara di Trunyan pada setiap hari ke-5 bulan separuh gelap pada bulan Asuji masyarakat Desa Air Rawang diwajibkan untuk mamek base (membuat bumbu),” jelas Luh.
Data prasasti sayangnya tak mengungkap asal-usul betutu. Kata Luh, seperti juga lawar dan babi guling, masyarakat Bali hanya mengenalnya secara turun-temurun. Tak pernah diketahui pasti siapa pembuat maupun daerah asalnya.
Yang jelas, betutu kini sudah lekat dengan orang Bali. Sampai-sampai bukan cuma dijadikan lauk sehari-hari untuk menemani nasi, sajian ini pun menjadi salah satu syarat dalam beberapa upacara adat dan keagamaan. I Made Purna dan Kadek Dwikayana menjelaskan, sajian betutu menjadi pelengkap dalam penyelenggaraan otonan (tergolong upacara manusa yadnya), banyu pinaruh, tumpek uduh, tumpek landep, upacara ngasti dan jika ada yang berkaul (mesaudan), pada sesajen genah bawa, serta pada sesajen prananya.
Khusus untuk upacara, biasanya jenis yang dipersembahkan adalah betutu bebek. Sebab, bebek dianggap suci. Bebek dipandang tak pernah saling berebut makanan. Apalagi saling patuk. Bebek bisa memilah makanan yang pantas dimakan. Karenanya bebek sering dimaknai sebagai hewan simbol kebijakan.
“Hidangan makanan orang suci (brahmana) pada saat penyelenggaraan upacara agama umumnya betutu bebek. Bukan betutu ayam,” jelas I Made Purna dan Kadek Dwikayana.
Ini persis dengan yang disebut Lontar Dharma Caruban, bahwa sebagai sarana upacara, daging bebek dan penyu adalah ulam suci. Menurut Luh Suwita Utami dalam “Aspek Kemasyarakatan di Balik Makanan dalam Prasasti Bali Kuna” di Forum Arkeologi Agustus 2012, kebiasaan semacam ini sudah sejak dulu, yaitu tak memilih makanan dari ayam dan sapi sebagai bahan utama makanan yang dipersembahkan kepada bangunan suci.
Pun halnya dengan cara mengolah. Memasak dengan dipanggang dan dimatangkan dalam keadaan utuh, sebagaimana betutu, biasa dilakukan untuk makanan sesaji upacara. “Masyarakat Bali punya aturan dalam membuat dan menghidangkan makanan yang halal untuk suatu upacara. Hal itu termuat dalam Lontar Dharma Caruban,” jelas dia.
Makanan ini nikmat disantap selagi hangat, karena tak bisa tahan disimpan lama. Kini, ayam betutu telah dikenal dan dirasakan oleh semua etnis, agama maupun bangsa yang tinggal maupun berkunjung ke Bali. “Betutu dapat digolongkan sebagai jenis kuliner yang halal, sekarang merupakan kuliner andalan di seluruh Bali,” tegas I Made Purna dan Kadek Dwikayana.
Jika penasaran dengan rasa kuliner khas yang juga kerap disajikan bagi para dewa-dewi ini, berkunjung saja ke Desa Melinggih, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar. Di sini akan ditemukan banyak peramu ayam betutu.
Ayam betutu bukan saja digemari wisatawan lokal namun kelezatannya dipuja wisatawan mancanegara. Di beberapa hotel dan restauran, makanan ini bahkan menjadi salah satu pilihan yang terdapat pada daftar menu.*