Di tepi perairan Kampung Laut, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, hidup suku Duano, sebuah komunitas yang erat kaitannya dengan laut. Dikenal sebagai “Orang Laut,” mereka mendiami pesisir timur Jambi dan menggantungkan hidup pada sumber daya perairan. Di antara berbagai tradisi yang mereka lestarikan, arakan pompong menjadi salah satu kegiatan budaya yang paling menarik dan sekaligus simbol identitas suku ini.
Arakan pompong merupakan bagian dari Festival Bedak Sejuk Duano yang diselenggarakan pada bulan Juli 2024. Tradisi ini melibatkan seluruh masyarakat suku Duano, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, dan menjadi pengingat akan perjalanan leluhur mereka, yang dahulu menempuh rute dari pesisir Riau menuju Tanjung Jabung Timur menggunakan pompong (perahu) sebagai alat transportasi utama.
Arakan pompong merupakan bagian dari Festival Bedak Sejuk Duano yang diselenggarakan pada bulan Juli 2024.
“Suku Duano memiliki hubungan erat dengan pompong. Perahu kecil ini lebih dari sekadar alat transportasi. Melalui tradisi arakan pompong, masyarakat suku Duano bisa mengenang kembali cerita asal-usul mereka dan peran laut sebagai sumber kehidupan,” jelas Vivi Helmalia Putri, Ketua Komunitas Bedak Sejuk Duano.
Arakan perahu yang meriah ini dilaksanakan di pesisir timur Jambi, tepatnya di perairan dekat pemukiman suku Duano di Kampung Laut, Lorong Trio Perkasa, Kelurahan Tanjung Solok, Kecamatan Kuala Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Untuk mencapai Kampung Laut, dibutuhkan waktu sekitar dua jam perjalanan dari Kota Jambi. Baik melalui jalur darat maupun sungai, perjalanan ini akan membawa pengunjung untuk merasakan langsung keunikan dan dinamika kehidupan masyarakat suku Duano.
Kampung Laut bukanlah pemukiman tepi laut dengan pantai berpasir. Sebaliknya, perkampungan suku Duano terdiri dari rumah-rumah panggung yang berjejer rapi, dengan anak tangga yang langsung menyentuh permukaan air laut yang berubah-ubah warnanya, dari kecokelatan hingga kehitaman. Pompong dan sampan-sampan terikat di tiang-tiang penopang dari kayu nibung, sementara aroma khas laut yang amis tercium saat angin laut berhembus.
Perkampungan suku Duano terdiri dari rumah-rumah panggung yang berjejer rapi, dengan anak tangga yang langsung menyentuh permukaan air laut yang berubah-ubah warnanya, dari kecokelatan hingga kehitaman.
Dalam kesehariannya, suku Duano hidup berdampingan dengan komunitas Bugis, Banjar, Minang, dan Jawa yang menetap di sekitar Kampung Laut. Mereka semua mendiami wilayah pesisir Pantai Timur Sumatra, yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka.
Rumah Kedua Suku Duano
Bagi masyarakat suku Duano, pompong lebih dari sekadar alat transportasi. Perahu kayu bermesin ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka, terutama sebagai nelayan yang menggantungkan penghidupannya pada laut.
“Pompong bukan hanya alat transportasi, tapi rumah kedua bagi mereka,” jelas Vivi Helmalia Putri.
Saat melaut, para nelayan sering menghabiskan waktu berhari-hari di atas perahu kayu bermesin ini, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari aktivitas mereka.
Lebih lanjut, Vivi pun menjelaskan bagaimana suku Duano menggunakan bedak sejuk dan tenggolok yang menjadi ciri khas mereka, terutama saat hendak melaut atau ke beting—sekumpulan pasir atau endapan lumpur yang menggarisi tepi laut.
Suku Duano menggunakan bedak sejuk dan tenggolok yang menjadi ciri khas mereka, terutama saat hendak melaut atau ke beting—sekumpulan pasir atau endapan lumpur yang menggarisi tepi laut.
Bedak sejuk, yang terbuat dari tepung beras, air mawar, dan rempah-rempah khas, juga sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, dan terutama ketika mereka turun ke laut dan ke beting. Fungsinya pun untuk menjaga kulit tidak terbakar kala terpapar sinar matahari. Bedak ini tidak hanya mencerminkan kearifan lokal, tetapi juga menjadi bagian dari identitas budaya suku pesisir ini.
Sedangkan tenggolok, yang terbuat dari kain yang dilipat dan dibentuk secara khusus, berfungsi sebagai penutup kepala yang mencerminkan identitas budaya pemakainya. Biasanya, tenggolok dikenakan saat melaut atau dalam upacara adat sebagai simbol penghormatan terhadap tradisi dan leluhur.
“Suku Duano tidak bisa dipisahkan dengan laut. Bahkan, dalam gerbang pintu masuk pemukiman tertulis duano piakla di dolak yang artinya suku Duano tidak akan hilang di laut. Simbol bahasa yang memiliki makna mendalam,” beber Vivi Helmalia Putri.
Setiap pagi, jika cuaca cerah, para lelaki suku Duano akan mengisi penuh bahan bakar solar pada mesin pompong dan bersiap memburu isi laut. Namun, jika langit menunjukkan tanda-tanda buruk, mereka tetap melaut dengan persiapan yang lebih matang, seperti membawa pelampung, jas hujan, dan obat-obatan.
Pompong menjadi alat transportasi utama bagi suku Duano untuk melaut dan mencari nafkah. Dengan pompong, mereka mencari berbagai jenis hasil laut seperti ikan, udang, dan kerang. Salah satu komoditas yang paling diburu adalah udang kletek, meski populasinya semakin langka.
Suku Duano menggunakan bedak sejuk dan tenggolok yang menjadi ciri khas mereka, terutama saat hendak melaut atau ke beting—sekumpulan pasir atau endapan lumpur yang menggarisi tepi laut.
Selain itu, pompong juga digunakan untuk mencapai beting-beting di laut untuk mencari sumbun, sejenis kerang yang menjadi makanan favorit masyarakat setempat. Kebiasaan menangkap sumbun inilah yang menjadi salah satu ciri khas suku Duano.
Setelah matahari condong ke barat dan arus balik menggiring pompong ke tepian, para nelayan suku Duano pun kembali ke rumah dengan hasil tangkapan masing-masing. Bagi mereka, pompong adalah segalanya—tanpa perahu kayu bermesin ini, mereka tidak bisa melaut dan memperoleh bahan makanan untuk kelangsungan hidup.
Namun, proses melaut bagi suku Duano bukan sekadar pekerjaan. Lebih dari itu, aktivitas ini mencerminkan keterikatan mereka dengan alam. Dengan pompong, mereka menjelajahi perairan yang kadang berbahaya, terutama saat musim angin utara dengan gelombang tinggi.
Pompong juga menjadi simbol daya tahan dan kreativitas bagi suku Duano. Mereka merawat dan memodifikasi pompong agar lebih kuat menghadapi kerasnya lautan. Tradisi melaut ini diwariskan turun-temurun, menjadikan pompong sebagai warisan budaya yang tak ternilai.
Pompong sebagai Ikon Pariwisata
Festival Bedak Sejuk Duano bukan sekadar perayaan, tetapi juga menjadi ajang unjuk gigi keindahan dan keunikan budaya suku Duano. Arakan pompong yang meriah, selain menjadi simbol sejarah, juga menjadi magnet bagi wisatawan yang ingin merasakan langsung kehidupan masyarakat pesisir. Dengan menaiki perahu kayu hias khas suku Duano, pengunjung dapat menyusuri perairan timur Jambi sambil menikmati keindahan alamnya.
Festival Bedak Sejuk Duano bukan sekadar perayaan, tetapi juga menjadi ajang unjuk gigi keindahan dan keunikan budaya suku Duano.
“Pompong bukan sekadar alat. Ini adalah jantung kehidupan orang sini. Semua keluarga nelayan atau kelompok masyarakat di sini pasti punya pompong. Karena tanpanya, orang sini tidak bisa melaut,” kata Riko, salah seorang masyarakat Kampung Laut.
Melalui festival ini, masyarakat suku Duano tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga membuka diri untuk berbagi budaya dengan dunia luar. Wisatawan yang datang tidak hanya dimanjakan dengan perlombaan pompong, tetapi juga diajak untuk merasakan pengalaman autentik, mulai dari mencicipi kuliner khas, menggunakan bedak sejuk, hingga hingga berinteraksi langsung dengan masyarakat setempat.
“Festival Bedak Sejuk Duano diisi dengan berbagai rangkaian kegiatan seperti lomba membelah ikan gulama, lomba menghias tongkah, pawai bedak sejuk, pentas seni, serta arakan pompong. Selama beberapa hari, kegiatan ini dihadiri sekitar 3.000 pengunjung,” pungkas Vivi Helmalia Putri.