Angklung kerap menjadi simbol yang melekat dengan identitas budaya Jawa Barat. Alat musik bernada ganda ini tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Sunda, tidak sekadar sebagai hiburan, tetapi juga sebagai bagian dari praktik spiritual. Dalam tradisi Sunda masa lampau, alat musik ini berfungsi sebagai alat ritual keagamaan—digunakan untuk memanggil kehadiran Nyai Sri Pohaci atau Dewi Sri, dewi padi yang melambangkan kemakmuran dan kesuburan.
Dalam karya Kehidupan Masyarakat Kanekes, Saleh Danasasmita mencatat bahwa menanam benih padi di tanah Kanekes dipandang sebagai bentuk “perkawinan” antara Nyi Pohaci dan bumi. Prosesi sakral ini selalu diiringi oleh alunan angklung. Demikian pula saat upacara seren taun—ritual panen padi—permainan angklung menjadi persembahan utama sebagai bentuk rasa syukur atas hasil bumi.
Dalam tradisi Sunda masa lampau, alat musik ini berfungsi sebagai alat ritual keagamaan.
Secara fisik, alat musik tradisional khas Jawa Barat ini terbuat dari potongan bambu. Terdiri dari dua hingga empat tabung bambu yang dirangkai menjadi satu dengan tali rotan, setiap bagian dipahat dan dipotong secara presisi untuk menghasilkan nada saat bingkai bambu digoyangkan. Jenis bambu yang umum digunakan antara lain bambu temen (wulung), belang, dan tali; untuk angklung berukuran besar, kadang digunakan bambu surat.
Jejak Sejarah dari Abad ke-11
Dalam klasifikasi musik, instrumen ini termasuk dalam kelompok idiophone—yakni alat musik yang menghasilkan bunyi dari tubuhnya sendiri saat disentuh, digoyang, atau dipukul.
“Karena bentuknya tegak lurus, maka angklung ini dimainkan (dibunyikan) dengan cara digoyang, tidak dipukul,” tulis Helius Sjamsuddin dan Hidayat Winitasasmita dalam Daeng Soetigna: Bapak Angklung Indonesia. Ketika dimainkan, alat musik ini ada yang berfungsi memainkan melodi lagu, dan ada juga sebagai angklung pengiring (pengiring lagu).
Kata “angklung” sendiri berasal dari bahasa Sunda angkleung-angkleungan, yang merujuk pada gerakan tubuh pemain saat memainkan alat musik ini, serta dari suara khas “klung” yang muncul ketika bambu digoyangkan. Nama tersebut merefleksikan dua elemen utama yang menjadi ciri khasnya: gerak dan bunyi.
Usianya yang begitu tua menjadi bukti bahwa angklung memegang peranan penting dalam perjalanan budaya masyarakat Sunda.
Tidak ada catatan pasti yang menjelaskan kapan alat musik khas masyarakat Sunda ini pertama kali dikenal atau dimainkan. Namun, diperkirakan keberadaannya sudah muncul sebelum masa Kerajaan Sunda, sekitar abad ke-11. Usianya yang begitu tua menjadi bukti bahwa angklung memegang peranan penting dalam perjalanan budaya masyarakat Sunda.
Nada Sakral dari Tanah Sunda
Secara umum, instrumen ini terbagi dalam dua kategori: versi tradisional dan modern. Varian yang mengakar pada budaya leluhur memiliki keterikatan erat dengan nilai-nilai spiritual dan mitos masyarakat Sunda, khususnya yang berkaitan dengan Nyai Sri Pohaci atau Dewi Sri—dewi padi yang melambangkan kesuburan dan kemakmuran.
Dalam konteks adat, versi tradisional ini biasa dimainkan dalam berbagai upacara, seperti pesta panen, turun bumi, seren taun, hingga saat menyambut tamu kehormatan. Ciri khasnya terletak pada penggunaan tangga nada pentatonik (da–mi–na–ti–la), serta iringan alat musik seperti dogdog, kendang, dan gong, yang memperkuat nuansa sakral dan kebersamaan dalam setiap pertunjukan.
Ciri khasnya terletak pada penggunaan tangga nada pentatonik (da–mi–na–ti–la).
Beberapa jenis angklung tradisional masih lestari di lingkungan masyarakat Sunda, terutama di wilayah Jawa Barat dan Banten. Dalam buku Ketika Musik Bambu Dibicarakan, tercatat berbagai jenis angklung yang masih dimainkan hingga kini. Di antaranya adalah angklung buhun dari Desa Kanekes (Banten), angklung bungko dari Desa Bungko (perbatasan Cirebon dan Indramayu), angklung gubrag dari Desa Cipining (Bogor), angklung dogdog lojor dari Kasepuhan Pancer Pangawinan (Banten), serta angklung badeng dari Desa Sanding (Garut). Selain itu, ada pula angklung buncis dari Desa Baros (Bandung), angklung badud dari Priangan Timur (Ciamis), dan angklung ciusul dari wilayah Banten.
Dari Kuningan ke UNESCO
Munculnya versi modern dari alat musik bambu ini tak lepas dari peran besar Daeng Soetigna. Pada tahun 1938, saat masih menjadi guru di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) Kuningan, Jawa Barat, Daeng terinspirasi oleh seorang pengemis tua yang memainkan angklung buncis. Terpukau oleh permainannya, ia membeli instrumen tersebut dan mulai mempelajarinya secara serius. Pencariannya kemudian mempertemukannya dengan Pak Djaja, seorang pengrajin yang ia anggap sebagai “guru besar”. Dari sinilah ia mulai mendalami lebih dalam seluk-beluk angklung tradisional.
Berkat ketekunannya, Daeng Soetigna berhasil memodifikasi alat musik tradisional ini dari yang semula menggunakan tangga nada pentatonik menjadi diatonik kromatik (do – di – re – ri – mi – fa – fi – sol – sel – la – li – ti – do). Inovasi tersebut memungkinkan permainan lagu-lagu modern lintas genre dan membuka jalan menuju panggung yang lebih luas, termasuk dunia pendidikan. Hasil pengembangan ini kemudian dikenal sebagai “angklung modern” atau “angklung padaeng”—sebuah bentuk penghormatan yang mengabadikan namanya. Atas kontribusi besarnya, Daeng Soetigna pun dijuluki sebagai “Bapak Angklung Indonesia”.
Munculnya versi modern dari alat musik bambu ini tak lepas dari peran besar Daeng Soetigna.
Sejak saat itu, alat musik bambu ini terus berevolusi. Ia mulai dikolaborasikan dengan instrumen modern seperti piano, gitar, dan drum, bahkan tampil dalam format orkestra. Kolaborasi lintas genre menjadikannya semakin dinamis dan relevan, hingga mampu hadir di berbagai panggung musik—dari pertunjukan lokal hingga kancah internasional.
Estafet pengembangan kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Mang Udjo Ngalagena. Pada tahun 1967, ia mendirikan Saung Angklung Mang Udjo di kawasan Padasuka, Cicaheum, Bandung—sebuah pusat pelestarian dan pengembangan seni yang menjadi ruang hidup bagi tradisi dan inovasi. Di tempat ini, pengunjung dapat menyaksikan proses pembuatan alat musik tersebut, belajar memainkannya, dan menikmati pertunjukan yang merayakan kekayaan budaya Nusantara.
Pada November 2010, UNESCO menetapkannya sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia
Berkat dedikasi para seniman yang terus berinovasi, alat musik bambu khas Sunda ini berhasil menembus batas budaya dan meraih pengakuan dunia. Pada November 2010, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkannya sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia—sebuah penghargaan internasional atas nilai budaya yang terus hidup dan berkembang di tengah masyarakat.
Menjaga Identitas dalam Inovasi
Sebagai instrumen musik sekaligus seni pertunjukan, eksistensinya telah mengalami perkembangan yang signifikan. Kini, ia tidak lagi sekadar bagian dari tradisi, tetapi juga menjadi medium ekspresi modern melalui beragam inovasi. Dari proses kreatif inilah lahir bentuk-bentuk baru seperti angklung piano, angklung toel, hingga versi robotik—menunjukkan kemampuannya untuk terus beradaptasi dengan zaman.
Meski demikian, inovasi tidak boleh berhenti. Tanpa pengembangan yang berkelanjutan, statusnya sebagai warisan budaya dunia bisa menjadi pedang bermata dua. Sebab, pasca pengakuan UNESCO, siapa pun—termasuk negara lain—memiliki hak untuk mengembangkan dan mengadaptasi instrumen ini. Bila Indonesia lengah, bukan tak mungkin identitas budaya tersebut perlahan bergeser dari tangan asalnya.