Anak Perawan di Sarang Penyamun, Buku Karya Sutan Takdir Alisjahbana - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Anak Perawan di Sarang Penyamun, Buku Karya Sutan Takdir Alisjahbana

Anak Perawan di Sarang Penyamun, Buku Karya Sutan Takdir Alisjahbana

Novel Indonesia klasik yang menampilkan kisah cinta antara penyamun dan sanderanya.

Kesenian

Acapkali, orang-orang mengucapkan sesuatu secara spontan tanpa mengetahui asal-usul kata-kata tersebut. Seorang perempuan tinggal di tengah segerombolan laki-laki? Kita kerap berkelakar bahwa perempuan tersebut adalah “anak perawan di sarang para penyamun.”

Ekspresi tersebut telah eksis sejak tahun 1930-an, ketika seorang pengarang muda bernama Sutan Takdir Alisjahbana menulis rangkaian cerita bersambung yang dirajut menjadi satu kesatuan novel Indonesia klasik bertajuk Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940)Kata-kata yang ada di novel tersebut memang terasa kolot, tapi setiap lembar halamannya mampu membuat para pembaca terkejut lantaran ceritanya yang tak lekang oleh waktu. 

Menyamun Cinta

Ada berbagai tema yang berbaur dalam novel Anak Perawan di Sarang Penyamun—secuil tentang keluarga, sekilas tentang persahabatan, setitik religi, dan sejumput aksi petualangan. Namun, “jualan” utamanya adalah romansa antara dua protagonis cerita, yaitu Medasing, sang kepala penyamun dengan julukan Raja Rimba yang “besar dan buas,” serta Sayu, sang gadis lemah lembut dengan muka seperti “batu pualam.”

Ada berbagai tema yang berbaur dalam novel Anak Perawan di Sarang Penyamun—secuil tentang keluarga, sekilas tentang persahabatan, setitik religi, dan sejumput aksi petualangan.

Sayu adalah sandera Medasing. Sebelumnya, Medasing telah membunuh dan merampas harta milik keluarga ayah Sayu, Haji Sahak. Aksi menyamun tersebut memang jadi pekerjaan utama Medasing beserta komplotannya yang terdiri dari Sohan, Sanip, Tusin, Amat, dan Samad. Medasing dan gerombolan siberatnya tinggal nomaden di tengah hutan belantara, di sebuah pondok yang sewaktu-waktu bisa mereka tinggalkan lalu bangun kembali di tempat lain.

Kehadiran Sayu, sesuai dugaan, mampu menimbulkan gejolak emosi yang menyeruak di antara dua penyamun—Samad, intel yang bertugas di kota untuk mencari tahu keberadaan orang kaya yang bakal melakukan perjalanan, dan Medasing sendiri. Meski telah beristri dan memiliki dua anak (yang tampaknya tak mencintainya lantaran kerap absen dari rumah), Samad memiliki hasrat terpendam untuk memiliki Sayu dengan cara tak terhormat. Sementara itu, Medasing memiliki perasaan yang lebih tulus, yaitu perasaan yang bisa menjinakkan kebuasannya meski hanya sekejap.

Alam Berkarakter

Zuber Usman, kritikus sastra ternama Indonesia, tak salah dalam ulasannya soal Anak Perawan di Sarang Penyamun, dengan mengatakan bahwa salah satu kekuatan dari novel ketiga Sutan Takdir Alisjahbana ini adalah “lukisan alamnya.” Pada novel ini, alam seolah-olah menjadi karakter tersendiri yang menaungi karakter manusia. Narasi novel mengalir bak air dengan deskripsi alam hutan yang begitu rinci dan ampuh menempatkan pembaca dalam set cerita yang terletak di tengah hutan Pasemah, Palembang.

Narasi novel mengalir bak air dengan deskripsi alam hutan yang begitu rinci dan ampuh menempatkan pembaca dalam set cerita yang terletak di tengah hutan Pasemah, Palembang. 

Ceritanya sendiri minim dialog, namun sarat aksi dan kontemplasi pemikiran dari ketiga tokoh utama. Kontemplasi kompleks yang kerap menyinggung soal moralitas dan penerimaan jati diri serta situasi hidup. Contohnya ada pada tokoh Medasing yang sewaktu kecil diceritakan telah diculik oleh komplotan penyamun yang kemudian—atas kebutuhan bertahan hidup—menerima evolusinya sebagai bagian dari kawanan penyamun. Ia bahkan menjadi kepala penyamun generasi baru. Sejak awal, penulis sudah menggiring pembaca untuk menaruh rasa iba pada kisah hidupnya yang pelik melalui kalimat, “Pekerjaan menyamun yang mula-mula amat ngeri pada matanya, kesudahannya menjadi biasa dan matilah perlahan-lahan hasrat di dalam hatinya untuk meninggalkan penghidupan yang tiada halal itu.” Di situ, Medasing dikisahkan tak punya pilihan hidup selain menjadi penyamun. 

Selintas, Sayu memiliki nasib yang sama. Karena gendernya, pilihan hidupnya tak jauh-jauh dari menjadi istri salah seorang penyamun. Namun, Sutan Takdir Alisjahbana tak mau berlarut-larut menggambarkan Sayu sebagai korban tak berdaya yang senantiasa histeris (layaknya stereotip seorang perempuan yang sedang kesusahan dan perlu diselamatkan). Sebaliknya, Sayu diwujudkan sebagai perempuan introspektif dan cermat, terutama ketika berhadapan dengan Samad yang ia endus memiliki intensi tak baik. Dan tak dimungkiri bahwa karakterisasi Sayu dan Medasing cenderung stereotipikal—pria maskulin yang garang dan wanita feminin yang pengasih. Hebatnya, dalam konteks cerita Anak Perawan dalam Sarang Penyamun, hal tersebut justru jadi keunggulan dan tak terasa klise. 

Ibu Sayu pun mendapatkan porsi cerita yang signifikan. Setelah ditinggal mati sang suami dan kehilangan anak satu-satunya, Nyai Haji Andun terpaksa menjual rumah demi membayar utang titipan harta beberapa orang yang dirampas oleh Medasing. Walau hanya menghuni dua bab pada novel, penggambaran tokoh Nyai Haji Andun lumayan membekas. Ia adalah figur wanita setengah baya yang mampu menjadi mandiri menjalani hidup, meski awalnya sempat kelimpungan. Ia juga menjalani situasi hidup dalam keadaan baik maupun susahyang disertai keteguhan hati dan harapan akan perubahan, seperti yang dialami Medasing.

Selain karakterisasi tokoh yang kuat, keunggulan lain dari novel Anak Perawan dalam Sarang Penyamun adalah perguliran aksi yang begitu rinci, sehingga para pembaca sangat mudah untuk memvisualisasikan ceritanya. Bab yang menjadi favorit para pembaca adalah bad kedua, yaitu ketika Medasing dan anak buahnya hendak meluncurkan aksi merampas rombongan Haji Sahak—dimulai dari perjalanan mereka yang bertolak dari pondok, hingga penerobosan hutan pada malam hari yang ditemani desis-desis ular, auman harimau, dan derau air mengalir. Hutan yang mencekam digambarkan pada kalimat “Dalam malam gelap-gulita tampaklah sekalian pohon sebagai suatu pergumulan raksasa yang maha bebat. Tapi, tenanglah, karena kelima penyamun tersebut sesungguhnyalah raja belukar, tak suatu apa juapun dari segala penduduk hutan yang luas ini berani menghalangi.”

Bab yang menjadi favorit para pembaca adalah bad kedua, yaitu ketika Medasing dan anak buahnya hendak meluncurkan aksi merampas rombongan Haji Sahak

Lalu, tibalah mereka di pondokan tempat Haji Sahak bermalam, dan di situlah adegan aksi penyergapan berlangsung dengan lembing dan pistol dikerahkan. Aksi tersebut juga tak tergolong mudah, karena Haji Sahak juga membawa beberapa anak buah yang berani melawan, hingga akhirnya berhasil mencederai beberapa anak buah Medasing. 

Bab ini merupakan salah satu hal yang disorot pada novel Anak Perawan di Sarang Penyamun, dan merupakan contoh cemerlang dari kepandaian sang pengarang dalam menyajikan cerita yang sarat aksi dengan ringkas dan seru. 

Neo-Romantisme ala Alisjahbana

Pada 1962, novel Anak Perawan di Sarang Penyamun sempat diangkat menjadi film layar lebar oleh Usmar Ismail. Film ini cukup sukses saat rilis, meski banyak plot cerita yang diubah dan dikembangkan. Demi menarik penonton pria dan wanita, film tersebut lebih banyak menonjolkan aspek romansa antara Medasing dan Sayu.

Entah, cerita versi mana yang paling disukai audiens. Yang jelas, Sutan Takdir Alisjahbana telah sukses menyajikan sepenggal kisah ringkas namun mengena ke dalam novel yang beraliran neo-romantisme ini. Dalam kiprahnya sebagai penulis, pria kelahiran Natal, Sumatera Utara, ini memang dikenal dengan karya-karya beraliran serupa—seperti pada novel Layar Terkembang dan Dian yang Tak Kunjung Padamserta pemikirannya yang liberal dan berkiblat ke benua barat. Ia juga dianggap sebagai pelopor Angkatan Pujangga Baru, bersama Armijn Pane, Hamka, dan Roestam Effendi.

Novel Anak Perawan dalam Sarang Penyamun sudah dicetak ulang sebanyak tujuh kali. Terakhir oleh penerbit Dian Rakyat, yang menunjukkan bahwa minat pembaca terhadap novel ini tetap tinggi. Salah satu warisan sastra Indonesia ini mungkin tak mengandung elemen sejarah atau budaya Indonesia, namun narasi yang simpel dan penekanan ekstra pada “lukisan alamnya” telah sukses membingkai karya ini sebagai salah satu novel Indonesia klasik yang patut dibaca.

Narasi yang simpel dan penekanan ekstra pada “lukisan alamnya” telah sukses membingkai karya ini sebagai salah satu novel Indonesia klasik yang patut dibaca. 

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Pramana Widodo Putra

  • Ensiklopedia Sastra Indonesia – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia