Untuk keempat kalinya, Yayasan Atma Nusvantara Jati (Atsanti Foundation) menggelar Festival Bhumi Atsanti. Kali ini, festival yang menawarkan pertunjukan seni budaya ini berlangsung pada 1-3 Agustus 2025 di Bhumi Atsanti, Borobudur, Jawa Tengah.
Mengusung tema “Manunggaling Karsa”, Festival Bhumi Atsanti IV bertujuan merefleksikan semangat persatuan dalam kehendak dan karya. Festival ini menghadirkan para seniman lokal dan nasional. Pengunjung juga bisa mampir ke Pasar Bhumi yang diisi oleh para pelaku UMKM dari kawasan Borobudur dan sekitarnya.
Untuk tahun ini, Atsanti Foundation juga menghadirkan Pasar Buku yang diisi oleh empat penerbit buku ternama, yaitu KPG, Balai Pustaka, Togamas, dan Media Basis. Setiap penerbit menitipkan kurang lebih 200 buku untuk dijual di Festival Bhumi Atsanti IV.
Pasar Buku merupakan sebuah konsep baru yang bertujuan meningkatkan minat baca dan literasi, khususnya di bidang sastra dan budaya. Pasar buku menjadi pelengkap yang kuat dari sisi edukatif, serta mempertegas peran Bhumi Atsanti sebagai ruang pembelajaran budaya yang inklusif dan mendalam.
Hari pertama Festival Bhumi Atsanti IV dibuka oleh penampilan dari Sanggar Kinara Kinari, sanggar menari yang telah berdiri sejak tahun 2008. Acara kemudian dimeriahkan oleh para penampil lain dari wilayah Borobudur, Magelang, Yogyakarta, Blitar, dan sekitarnya.
Masih pada hari pertama, Festival Bhumi Atsanti IV bekerja sama dengan Gramedia membuka lokakarya menulis bertema “Menulis dengan Rasa”. Penulis sekaligus reporter, Ruhaeni Intan, menjadi pemateri dalam kegiatan ini.
Festival Bhumi Atsanti IV pada hari kedua dibuka dengan Senam Kreasi Budaya yang diikuti oleh warga dari 33 desa setempat. Acara dilanjutkan oleh beberapa penampil, seperti musisi Rachel Zephaniah dari Jakarta, Sanggar Gadhoeng Mlati dari Magelang, Satrio Mudo dari Borobudur, serta musisi sekaligus sastrawan asal Wonogiri, Fajar Merah. Penampilan Kelompok Penyanyi Jalanan Malioboro (KPJM) menjadi penutup istimewa pada hari kedua.
Pada hari terakhir, Festival Bhumi Atsanti IV dibuka dengan seni jatilan. Acara turut dimeriahkan oleh penampil asal Yogyakarta, yaitu penari Joko Sudibyo, musisi Jaeko Siena, dan band Sri Redjeki, serta Sanggar Seni Lemah Urip asal Borobudur.
Atsanti Foundation turut menghadirkan seorang musisi sape asal Kalimantan Utara bernama Uyau Moris yang membagikan pengalamannya dalam berkesenian. Ia juga tampil epik dan berhasil menyihir penonton saat memainkan sape yang merupakan alat musik tradisional Dayak Kenyah.
Masih dalam rangkaian acara pada hari ketiga, Atsanti Foundation menghadirkan penyanyi dan sastrawan terkemuka, Reda Gaudiamo. Ia berbagi cerita mengenai perjalanannya dalam mengarungi dunia musik dan puisi, caranya dalam mengalihwahanakan sebuah puisi menjadi bentuk musikalisasi yang indah, serta pandangan dan cerita personalnya selama terjun di dunia seni. Sarasehan budaya ini diadakan di Melek Huruf, Borobudur, dan diikuti oleh lebih dari 50 peserta dari berbagai usia dan domisili.
Ketua Atsanti Foundation M.F. Nilo Wardhani berharap festival ini mampu menjadi ruang pertemuan antargenerasi, sekaligus rumah yang ramah bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang latar belakang. Ruang ini tidak hanya menawarkan sebuah pertunjukan seni, tetapi juga menjadi ajang interaksi dan pembelajaran budaya yang menginspirasi.