Di tepi Sungai Batanghari, sebuah pemandangan menawan menghidupkan malam di Laman Rangkayo Rajo Laksamana, Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Festival Payung Api, bagian dari Kenduri Swarnabhumi 2024, menjadi panggung budaya yang memadukan tradisi Melayu Jambi dengan seni kontemporer. Pertunjukan ini bukan sekadar hiburan, melainkan wujud nyata pelestarian warisan nenek moyang yang sarat makna.
Payung api merupakan simbol pelindung dan penerang dalam budaya Melayu. “Kebudayaan Melayu tak lapuk kena hujan, tak lekang kena panas. Festival ini membantu mengangkat nilai-nilai kearifan lokal yang terkadang terlupakan,” ungkap kurator lokal, Didin Sirojudin.
Payung api merupakan simbol pelindung dan penerang dalam budaya Melayu.
Festival Payung Api merupakan karya kolaboratif yang menghidupkan kembali elemen-elemen tradisional seperti malam tari inai, besya’ir, dan tari payung api. Di tangan koreografer Fandi Ari, tradisi ini dikemas ulang dengan sentuhan modern tanpa kehilangan nilai filosofisnya.
“Kami ingin menciptakan pertunjukan yang bukan hanya estetis, tetapi juga menyampaikan pesan regenerasi budaya. Nilai-nilai dari malam tari inai, misalnya, kami teruskan melalui karya yang baru,” ujar Fandi.
Makna Mendalam di Balik Payung Api
Festival Payung Api tidak hanya menyampaikan pesan tentang kehidupan, kebersamaan, dan pentingnya pelestarian budaya, tetapi juga menjadi simbol semangat membara yang hidup dalam jiwa pemuda-pemudi Melayu, mencerminkan tekad mereka untuk menjaga dan merayakan tradisi leluhur.
Payung api, dengan desainnya yang unik—rangka payung dihiasi lilin—merupakan simbol yang sarat makna dalam tradisi Melayu. Dahulu, payung api digunakan sebagai penerangan dalam berbagai upacara adat, termasuk pernikahan. Lebih dari sekadar penerangan, payung yang melambangkan pelindung dan api sebagai penerang, mencerminkan harapan dan semangat hidup yang tak pernah padam dalam masyarakat Melayu.
“Lilin yang menerangi pada payung api ini memiliki makna sebagai cahaya kehidupan yang harus dijaga supaya tidak padam dan terus menyala,” ungkap Fandi, saat diwawancarai Sabtu, 10 Agustus 2024.
Proses pembuatannya tidak hanya menekankan keindahan visual dan makna filosofis, tetapi juga nilai gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Melayu. Seperti halnya payung api yang dibuat bersama keluarga mempelai laki-laki dalam prosesi pernikahan, tradisi ini dihidupkan kembali sebagai bagian dari identitas budaya yang terus berkembang.
Semangat gotong royong tersebut juga tercermin dalam proses pertunjukan, yang melibatkan kolaborasi erat antara seniman, pemuda, dan masyarakat setempat. Festival Payung Api bukan sekadar perayaan budaya, melainkan juga simbol regenerasi. Dengan inovasi yang terus dilakukan, tradisi ini membuktikan bahwa seni tradisional mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensi dan maknanya.
Festival Payung Api bukan sekadar perayaan budaya, melainkan juga simbol regenerasi.
Semangat kebersamaan begitu terasa dalam proses penciptaan karya di Festival Payung Api. Kolaborasi yang melibatkan berbagai pihak, termasuk seniman muda seperti Gilang Zildjian, menjadi salah satu contoh nyata. Ia mengungkapkan bahwa pengalaman ini memberinya banyak pelajaran. “Saya belajar tentang pentingnya gotong royong dalam tradisi Melayu. Ini bukan hanya soal bekerja bersama, tetapi juga soal berbagi semangat untuk melestarikan budaya,” tuturnya.
Tak hanya sarat filosofi mendalam, Festival Payung Api juga berperan sebagai momentum penting untuk menjaga tradisi sekaligus memperhatikan keberlanjutan lingkungan, khususnya di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari. Hal ini menunjukkan bagaimana festival ini mengintegrasikan nilai budaya dan kepedulian ekologis dalam satu rangkaian yang saling melengkapi.
Pelestarian Tradisi di DAS Batanghari
Festival Payung Api merupakan salah satu dari 12 festival dalam rangkaian Kenduri Swarnabhumi 2024 yang digelar di sepanjang DAS Batanghari. Menggandeng 10 kabupaten/kota di Provinsi Jambi dan Kabupaten Dharmasraya di Sumatra Barat, Kenduri Swarnabhumi bertujuan untuk menjaga kearifan lokal sekaligus membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian lingkungan.
Didukung oleh Kemendikbudristek melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, festival ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga ajang refleksi. Tradisi kuno seperti payung api mungkin telah kehilangan fungsi praktisnya, namun nilai-nilai kebersamaan, harapan, dan semangat hidup yang diwakilinya tetap relevan hingga kini.
Festival ini membuktikan bahwa seni dan tradisi mampu bertransformasi tanpa kehilangan esensinya. Inovasi yang terus dilakukan, berpadu dengan semangat gotong royong yang kental, menjadikan warisan budaya Melayu tetap hidup dan relevan, ‘menerangi’ perjalanan generasi mendatang.
Festival ini membuktikan bahwa seni dan tradisi mampu bertransformasi tanpa kehilangan esensinya.
Lebih dari sekadar perayaan, Festival Payung Api adalah simbol warisan yang menyala, mengajarkan nilai harapan, kebersamaan, dan semangat untuk menjaga budaya agar tetap bermakna bagi masa depan.