Perjalanan kami ke Papua Barat akhirnya sampai di Kota Sorong. Meski bukan ibu kota provinsi, Sorong adalah kota yang sangat padat dan beragam. Penduduknya berasal dari berbagai suku, seperti Jawa, Buton, Makasar, dan Tionghoa. Meski begitu, toleransi antarumat beragama di sini sangat tinggi. Buktinya, Wihara Buddha Jayanti yang cukup dihormati berdiri kokoh di tengah mayoritas penduduk Muslim dan Nasrani.
Wihara ini terletak di wilayah pusat Kota Sorong, tepatnya di Jalan Jenderal Ahmad Yani No. 49, Sorong. Tempat ibadah umat Buddha ini berada di sebuah bukit dan sudah berdiri dengan megah sejak tahun 1986. Obyek ini tidak jauh dari hotel tempat kami menginap, sehingga hanya membutuhkan beberapa menit saja untuk menempuhnya dengan mobil. Bagi kami, kesan pertama ketika melihat wihara ini adalah menakjubkan karena menjadi bukti toleransi warga Sorong yang begitu tinggi sekalipun umat Budha adalah minoritas di kota ini.
Tempat ibadah umat Buddha ini berada di sebuah bukit dan sudah berdiri dengan megah sejak tahun 1986.
Sesampainya di wihara, kami disambut oleh seorang pengurusnya yang bernama Mahendra. Ia sebenarnya berasal dari Medan dan merupakan keturunan India Tamil. Namun, keluarganya memang beragama Buddha dan ia sudah mendalami Buddha sejak kecil. Mahendra berjanji untuk mendampingi kami berkeliling sambil menceritakan segala informasi yang kami butuhkan. “Memang unik, kan, di tengah Kota Sorong yang minim orang Buddha, tapi ada wihara besar seperti ini,” ucap Mahendra sambil menyambut kedatangan kami.
Seperti yang dikatakan Mahendra, wihara ini memang memiliki ukuran yang cukup megah. Apalagi ditambah dengan adanya sebuah pagoda yang menjulang tinggi ke angkasa dengan indahnya. Warna-warna cerah seperti merah, kuning, dan jingga pun menjadi tampilan yang mencolok di penglihatan kami. Namun, bukannya memberikan kesan norak, warna-warna terang ini justru memberikan kesan khusyuk ketika berpadu dengan megahnya bangunan wihara. Kesan sepi, damai, dan tenang pun sungguh terasa sejak kami pertama kali menginjakkan kaki di halaman wihara. Mungkin kesan ini muncul karena Wihara Buddha Jayanti memang lebih dikenal sebagai tempat ibadah yang berada tinggi di atas bukit ketimbang objek wisata yang banyak dikunjungi wisatawan.
Mahendra pun membuka penjelasannya, ”Wihara Buddha Jayanti ini memang tempat ibadah, tapi nggak menutup diri kalau ada wisatawan yang mau berkunjung ke sini, lho.” Ia menjelaskan bahwa wihara ini sangat terbuka untuk umum, bahkan beberapa instansi pemerintah seperti Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan rombongan Komando Distrik Militer pun sering mengunjungi tempat ini. Mahendra justru berharap, dengan seringnya masyarakat umum mengunjungi wihara ini, akan membuat toleransi antar umat beragama semakin nyata untuk dirasakan.
Beberapa saat bercengkrama di pelataran halaman wihara, rombongan kami pun dipersilahkan untuk menaiki tangga menuju bangunan utama wihara yang terletak agak tinggi. Anak tangga demi anak tangga pun kami naiki sambil mendengarkan penjelasan dari Mahendra. “Wihara ini merupakan inisiatif beberapa tokoh masyarakat Sorong yang beragama Buddha, mereka ingin agar umat Buddha di Sorong punya tempat ibadah selayaknya agama lain di kota ini,” lanjut Mahendra. Para tokoh masyarakat ini pun mengajukan permohonan ke pemerintah kota untuk mendirikan wihara. Awalnya, mereka khawatir perizinan akan dipersulit, mengingat status minoritas yang mereka miliki. Namun, Tuhan berkehendak sebaliknya, izin mendirikan rumah ibadah ini keluar tanpa kesulitan yang berarti dan wihara pun siap dibangun. Inilah sekelumit kisah di balik pembangunan Wihara Buddha Jayanti yang diceritakan Mahendra.
Kami pun tiba di pelataran depan wihara yang sangat luar biasa ini. Hal pertama yang kami lihat ketika kami sampai adalah pemandangan indah Kota Sorong dan birunya lautan yang menghiasi sekitarnya. Kami sungguh takjub dengan apa yang kami lihat, posisi arah barat wihara ini sungguh tepat untuk menyaksikan keindahan Kota Sorong. “Mas, lebih bagus lagi kalau sore-sore waktu matahari mau terbenam. Posisi yang paling cantik itu di sini,” Mahendra menambahkan sambil menunjuk sebuah patung Buddha berwarna emas yang ia yakini sebagai posisi paling tepat ketika melihat matahari terbenam.
Setelah cukup lama mengagumi keindahan panorama yang kami lihat, pandangan kami pun beralih ke sekitar pelataran wihara. Sebuah lonceng, tempat menaruh dupa, dan beberapa ornamen khas Buddha menghiasi pelataran wihara ini, sebelum akhirnya menggiring perhatian kami menuju bagian dalam wihara. Seperti halnya wihara lain, bagian dalam tempat ibadah ini memang hanya dikhususkan bagi umat Buddha yang ingin sembahyang. Kami hanya diperbolehkan melihat saja tanpa memasuki bagian dalam wihara. Tetapi ini sudah sangat cukup untuk kami, atmosfer wihara yang damai dan penuh ketenangan selalu kami rasakan di seluruh bagian wihara. Kami benar-benar menikmati keberadaan kami di tempat ini.
Matahari semakin terik, kami pun menyadari sudah waktunya kami beranjak dan melanjutkan perjalanan. Kunjungan kami ke Wihara Buddha Jayanti telah mengajarkan kami banyak hal, terutama toleransi antar umat beragama yang harus tetap terjaga di Indonesia. Pengetahuan Mahendra yang begitu luas tentang keberadaan wihara ini juga sangat membantu kami untuk semakin paham tentang pentingnya sikap saling menghormati di dalam sebuah masyarakat heterogen seperti Sorong. Setelah berpamitan dan ketika akan meninggalkan tempat ini, Mahendra pun mengucapkan terima kasih sambil berkata, “Sampai ketemu lagi, hati-hati, Tuhan memberkati.”