Terbit pertama kali di tahun 1932, Dian yang Tak Kunjung Padam adalah novel karangan Sutan Takdir Alisjahbana. Novel keluaran Balai Pustaka ini mengangkat tema kisah cinta yang terhalang status sosial antara pemuda miskin dan perempuan keturunan bangsawan dengan latar Kota Palembang dan Sungai Musi. Setelah perilisannya, novel ini mendapat apresiasi besar dari masyarakat hingga beberapa kali melakukan cetak ulang. Hingga tahun 1993, Dian yang Tak Kunjung Padam telah dicetak ulang sebanyak 13 kali.
Novel ini mengangkat tema kisah cinta yang terhalang status sosial antara pemuda miskin dan perempuan keturunan bangsawan dengan latar Kota Palembang dan Sungai Musi.
Berkisah tentang Yasin, pemuda “uluan” yang miskin. “Uluan” merujuk pada masyarakat etnis yang berada di luar Palembang, biasanya berasal dari pegunungan di barat Sumatera Selatan. Yasin hanya tinggal bersama sang ibu karena ayahnya telah meninggal. Suatu hari Yasin pergi naik perahu ke Palembang dan tak sengaja bertemu Molek, gadis keturunan bangsawan. Pertemuan sekejap tersebut rupanya meninggalkan bekas mendalam di hati keduanya. Yasin jatuh cinta, kemudian memberanikan diri mengirimkan surat pada Molek yang ia selipkan di tembok tempat Molek biasa mandi.
Keduanya terus saling berbalas surat, hingga akhirnya Yasin melamar Molek pada orang tuanya. Akan tetapi Raden Makhmud, orang tua Molek, menolak lamaran Yasin. Alasannya karena ia merasa Yasin tak sepadan dengan Molek. Kedua orang tua Molek tak ingin kebangsawanan mereka tercemar oleh pria miskin dari pinggiran. Meskipun cintanya pada Yasin besar, Molek merasa harus menaati orang tuanya. Tapi setelah Molek menikahi pria pilihan orang tuanya, ia merasa tidak bahagia, sementara terus bersurat dengan Yasin untuk menumpahkan keluh kesahnya terhadap hidup yang ia rasa sepi.
Nasib memang tak berpihak pada Yasin. Molek akhirnya meninggal dunia. Tak lama ibunya pun sakit dan berpulang. Kehilangan bertubi-tubi ini membuat Yasin sangat terpukul. Ia memilih mengasingkan diri di Gunung Seminung. Ia hidup sendirian, bekerja keras membanting tulang. Yasin merasa dunia tak lagi dapat memberikannya kebahagiaan, maka ia akan meraihnya dengan jiwanya, sekaligus Yasin ingin bersatu lagi dengan Molek meskipun tidak secara fisik.
Menuju akhir kisah, diceritakan bagaimana Yasin di masa tuanya bertemu dengan sosok yang mirip dengan dirinya di masa muda dan masih dimabuk cinta. Adalah Rahman, seorang pemuda yang tersesat dan tak sengaja bertemu Yasin. Pemuda ini membawa kabur perempuan yang dicintainya, karena tidak disetujui oleh orang tua si perempuan. Akhir dari novel ini memang sengaja dibuat open ending, sehingga pembaca bisa membayangkan sendiri bagaimana Molek dan Yasin akhirnya bersatu.
Sutan Takdir Alisjahbana menceritakan kisah Yasin dan Molek dalam alur maju dan mundur dengan gaya bahasa penuh dengan pengandaian dan hiperbola. Sehingga menjadikan alur cerita dalam novel ini indah sekaligus membutuhkan konsentrasi untuk dipahami. Seperti judulnya, mungkin kita akan berpikir makna kata ‘dian’ dalam judul. Rupanya ‘dian’ yang dimaksud adalah lampu teplok yang biasa digunakan sebelum listrik tersedia secara massal. Pada lampu tradisional ini cahaya dihasilkan oleh api yang menyala. Mungkin sang penulis ingin menggambarkan kisah cinta antara Yasin dan Molek layaknya pijar api yang tak kunjung padam. Membakar ke dalam sekaligus menyinari sekelilingnya.
Sutan Takdir Alisjahbana menceritakan kisah Yasin dan Molek dalam alur maju dan mundur dengan gaya bahasa penuh dengan pengandaian dan hiperbola.
Penulis dan Karyanya
Sutan Takdir Alisjahbana merupakan salah seorang sastrawan Indonesia yang dikenal sebagai pelopor era Pujangga Baru bersama dengan Armijn Pane. Pujangga baru termasuk angkatan sastrawan yang muncul di tahun 1933, ditandai terbitnya majalah sastra dan budaya Poedjangga Baroe. Generasi sastrawan ini muncul akibat keresahan para sastrawan terhadap sensor yang kerap dilakukan Balai Pustaka yang masih di bawah kendali pemerintah kolonial. Beberapa karakteristik yang banyak ditemukan dari karya sastra generasi ini adalah tema nasionalisme dan rasa kebangsaan, adanya persoalan emansipasi perempuan, cenderung bertema romansa, dan mulai membawa unsur modernisme dan masa depan Indonesia.
Meskipun Dian yang Tak Kunjung Padam mungkin tak kental nuansa Pujangga Baru dalam tema maupun kisahnya, novel ini tetap mencoba mendobrak kakunya adat dan kelas sosial. Dalam pemikiran Sutan yang modern, perbedaan status dan kelas sosial tak lagi relevan dalam menjalin hubungan.
Dalam pemikiran Sutan yang modern, perbedaan status dan kelas sosial tak lagi relevan dalam menjalin hubungan.
Sutan Takdir Alisjahbana dikenal pro modernisme. Baginya Indonesia harus mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa barat. Dan hal tersebut bisa dicapai melalui Bahasa Indonesia modern yang memayungi segala bidang dan memudahkan penyebaran pengetahuan. Ia kemudian menulis Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia pada 1936 yang masih digunakan hingga sekarang. Selain Dian yang Tak Kunjung Padam, beberapa karya populer lainnya dari Sutan Takdir Alisjahbana antara lain Tak Putus Dirundung Malang (1929), Layar Terkembang (1936), dan Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940).