Wihara Tri Dharma Bumi Raya, berdiri sejak 1878, menjadi saksi sejarah dan ikon Kota Singkawang.
Wihara Tri Dharma Bumi Raya menjadi pusat perhatian saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Umat Tri Dharma dari Kota Singkawang, kota-kota lain di Kalimantan Barat, bahkan mancanegara, berbondong-bondong mengunjungi wihara ini.
Sore hari sebelum Cap Go Meh, para tatung atau loya (sebutan bagi dukun Tionghoa) akan datang ke wihara untuk meminta izin dan restu kepada Dewa Bumi Raya. Barulah kemudian mereka berkeliling kota untuk menjalankan ritual pembersihan roh jahat.
Ritual Pawai Tatung, yang merupakan perpaduan menarik antara budaya Tionghoa dan Dayak, selalu menjadi daya tarik tersendiri. Dalam acara ini, para tatung akan menampilkan atraksi ekstrem dengan menusukkan berbagai benda tajam ke tubuh mereka.
“Ritual tersebut untuk menghindarkan diri dari bahaya, yang kemudian disebut pantang harimau putih oleh warga Tionghoa,” tutur Alung, salah satu pengurus Wihara Tri Dharma Bumi Raya.
Para pengunjung yang ingin bersembahyang biasanya mendaftarkan diri ke petugas dengan menyebutkan nama dan keinginan mereka. Petugas akan mengarahkan ke satu tempat untuk bersembahyang. Petugas inilah yang kemudian “berdialog” dengan dewa.
Sambil membakar dupa, pengunjung melakukan sembahyang kepada dewa-dewa, memohon keselamatan dan perlindungan dari roh-roh jahat. Setelah selesai, mereka keluar lewat sisi kanan kuil sambil membawa kertas kuning. Kertas itu kemudian dimasukkan ke dalam ruang pembakaran berbentuk seperti kuil bertingkat yang menjulang tinggi.
Di sisi kanan kuil ada taman kecil dengan lukisan kehidupan masyarakat Tionghoa. Lukisan itu menggambarkan keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan.
Pagar wihara ini dihiasi dengan berbagai simbol yang sarat makna bagi masyarakat Tionghoa. Bunga teratai, yang mampu hidup di tiga alam, melambangkan kesempurnaan. Selain itu, terdapat pula gambar naga, simbol kekuatan, serta koin yang dikelilingi kelelawar sebagai lambang kemakmuran.
Wihara Tri Dharma Bumi Raya, yang berdiri megah sejak 1878, merupakan saksi bisu sejarah dan menjadi ikon Kota Singkawang. Sebagai tempat peribadatan tertua bagi umat Tri Dharma (Buddha, Tao, dan Konghucu) di Kalimantan Barat, wihara ini menyimpan nilai-nilai budaya yang kaya.
Sejak dahulu, Singkawang telah dikenal sebagai kota dengan banyak sekali kelenteng atau wihara. Tak heran jika kota ini kemudian dijuluki “Kota Seribu Lampion” dan “Kota Seribu Kelenteng”, menggambarkan kekayaan budaya Tionghoa yang begitu kental.
Tapi, sebelum berkembang menjadi kota seperti sekarang, Singkawang pada awalnya adalah sebuah desa kecil di bawah kekuasaan Kesultanan Sambas. Desa ini berfungsi sebagai tempat persinggahan bagi para pedagang dan penambang emas yang berasal dari Monterado, sebuah kawasan yang saat ini berada di wilayah Kabupaten Bengkayang.
Any Rahmayani dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Pontianak dalam “Montrado 1818-1858, Dinamika Kota Tambang Emas” pada Jurnal Patanjala Vol. 7 No. 2, Juni 2015, dalam catatan para pejabat kolonial, Montrado sering disebut sebagai bekas kota tambang besar di Borneo Barat.
Singkawang pada awalnya adalah sebuah desa kecil di bawah kekuasaan Kesultanan Sambas.
Umumnya, para penambang emas berasal dari Tiongkok, terutama dari suku Hakka. Mereka membentuk pemukiman dan kongsi-kongsi emas di Montrado. Singkawang memiliki kelengkapan yang sempurna bagi pusat kongsi pertambangan emas di Montrado. “Oleh karena itu Singkawang dikatakan sebagai kota satelit bagi Montrado,” catatnya.
Karel Juniardi dan Emusti Rivasintha Marjito, sejarawan IKIP PGRI Pontianak, dalam “Urgensi Pendidikan Multikultural dalam Masyarakat Plural (Studi Kasus di Kota Singkawang)” pada Jurnal Handep, Vol. 1, No. 2, Juni 2018, menyebutkan bahwa sebelum menuju Monterado mereka terlebih dulu beristirahat di Singkawang. Begitu pula para penambang emas di Monterado sering beristirahat di Singkawang untuk melepas penat.
“Para pendatang dari etnis Tionghoa ini membaur dengan penduduk yang telah menetap lebih dahulu di sekitar Singkawang, yakni penduduk Melayu dan Dayak,” jelasnya.
Pada abad ke-19, Montrado mengalami masa kejayaannya. Namun, para penambang kemudian pindah ke Singkawang dan beralih profesi menjadi petani dan pedagang. Di tempat yang baru ini, mereka tetap melestarikan tradisi dan budaya leluhur dengan mendirikan kelenteng atau wihara.
“Di Singkawang, kelenteng atau wihara yang terkenal adalah Wihara Tri Dharma Bumi Raya,” tulis Karel Juniardi dan Emusti Rivasintha Marjito.
Kebutuhan akan tempat ibadah juga timbul karena kondisi Singkawang masih berupa hutan belantara. Menurut kepercayaan orang Tionghoa, setiap hutan konon memiliki roh penjaga yang melindungi kawasan itu.
“Maka wihara untuk peribadatan terhadap Dewa Bumi Raya (Tua Peh Kong) dibangun sebagai pelindungnya. Orang pandai menjalankan ritual keagamaan asal Tiongkok bersama Lie Shie dipercaya membawa patung Dewa Bumi Raya dari daratan Tiongkok dan membangun kelenteng,” kisah Alung.
Wihara Tri Dharma Bumi Raya terletak di Jalan Kelurahan Melayu, Kecamatan Singkawang Barat. Awalnya, tempat ini hanyalah sebuah pondok sederhana yang berfungsi sebagai tempat singgah bagi pendatang. Sekitar tahun 1920, pondok tersebut dibongkar dan diganti dengan bangunan wihara yang permanen.
Wihara ini pernah ludes terbakar dalam peristiwa besar di Singkawang pada tahun 1930-an. Meski sempat dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda, wihara tersebut dibangun kembali. Patung Tua Peh Kong dan istrinya, yang berhasil selamat dari kebakaran, menjadi penghuni utama di wihara baru. Di sisi kiri dan kanannya, terdapat patung Dewa Kok Sing Bong dan On Chi Siu Bong, sedangkan di tengah berdiri megah patung Buddha Gautama.
Wihara ini pernah ludes terbakar dalam peristiwa besar di Singkawang pada tahun 1930-an.
Menurut pendiri Yayasan Wihara Tri Dharma Bumi Raya, yang membedakan wihara ini dengan yang lain adalah keberadaan Ru Yi atau simbol kekuasaan dan keberuntungan di tangan kanan patung Tua Peh Kong. Sementara di wihara lain, patung Tua Peh Kong membawa tongkat dengan botol arak.
Menurut M. Ikhsan Tanggok dalam Agama dan Kebudayaan Orang Hakka di Singkawang, sebagian besar orang Hakka di Singkawang menganut agama Buddha. Namun, dalam keseharian mereka masih mempraktikkan ajaran Konghucu dan Tao. Ketiga ajaran ini saling mengisi dan melengkapi dan dijadikan pedoman hidup. Sebagian besar kelenteng di Singkawang bercorak Tri Dharma, yang dapat difungsikan umat Tao, Konghucu, dan Buddha untuk beribadah.
“Ini menunjukkan bahwa orang Hakka di Singkawang sangat toleran terhadap agama-agama di luar keyakinan mereka,” catat M. Ikhsan Tanggok.