Bagi pencinta sejarah, Rumah Cut Nyak Dhien di Aceh menjadi salah satu destinasi penting yang patut dikunjungi. Rumah ini bukan hanya saksi bisu perjuangan, tetapi juga ruang yang memperkaya wawasan tentang semangat perlawanan rakyat Aceh. Terletak di jalur antara pusat kota Banda Aceh menuju kawasan Lampuuk, rumah bersejarah ini bisa disambangi sambil menikmati perjalanan melewati wilayah pesisir yang dikenal akan keindahan pantainya.
Rumah ini menyimpan banyak kisah tentang keteguhan Cut Nyak Dhien bersama suaminya, Teuku Umar, dalam melawan kolonialisme Hindia Belanda. Di sinilah berbagai rapat rahasia kerap digelar, mempertemukan Teuku Umar dengan para pejuang Aceh lainnya. Salah satu peristiwa penting yang terjadi di tempat ini adalah ketika Teuku Umar dan para panglima berdebat keras sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali mengangkat senjata melawan Belanda, pada 30 Maret 1896.
Di sinilah berbagai rapat rahasia kerap digelar, mempertemukan Teuku Umar dengan para pejuang Aceh lainnya.
Pada saat itu, Teuku Umar membawa seluruh pasukan di bawah komandonya, lengkap dengan 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kilogram amunisi, serta uang sebesar 18.000 dolar AS—sebuah keputusan strategis yang menjadi tonggak penting dalam sejarah perlawanan Aceh.
Rumah yang kini berdiri di Jalan Cut Nyak Dhien, Desa Lampisang, Peukan Bada, Aceh Besar, bukanlah bangunan asli milik sang pahlawan nasional. Rumah panggung kayu tersebut merupakan hasil rekonstruksi dari rumah asli Cut Nyak Dhien yang telah hangus dibakar oleh Belanda pada tahun 1896. Tindakan pembakaran dilakukan sebagai respons atas manuver Teuku Umar—yang secara mengejutkan berbalik melawan Belanda dengan membawa serta persenjataan, amunisi, logistik, dan pasukan.
Replika rumah ini dibangun kembali pada kurun waktu 1981–1982, sebagai upaya pelestarian memori perjuangan Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Meski hanya replika, bentuk rumah dipertahankan menyerupai versi aslinya, mencerminkan arsitektur rumah panggung khas Aceh yang sarat nilai budaya.
Meski hanya replika, bentuk rumah dipertahankan menyerupai versi aslinya, mencerminkan arsitektur rumah panggung khas Aceh yang sarat nilai budaya.
Melalui selasar depannya, bagian kanan rumah membawa pengunjung menuju serambi utama. Di ruang ini, terpajang sejumlah foto dokumentasi yang merekam pendudukan Belanda di Aceh, termasuk potret tokoh-tokoh penting yang memainkan peran dalam sejarah perlawanan di tanah rencong tersebut.
Melanjutkan langkah ke bagian dalam rumah, sebuah lorong kecil akan mengantar menuju serambi belakang. Sama halnya dengan serambi depan, ruang ini dipenuhi foto-foto dokumentasi yang merekam masa-masa perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan. Setiap gambar menjadi penanda peristiwa yang pernah mengguncang Tanah Rencong dan menegaskan keberanian para pejuangnya.
Setiap gambar menjadi penanda peristiwa yang pernah mengguncang Tanah Rencong dan menegaskan keberanian para pejuangnya.
Dari serambi, alur kunjungan berlanjut ke ruang makan dan dapur. Di sini, beberapa replika senjata yang digunakan para pejuang Aceh turut dipajang—menjadi pengingat betapa gigihnya perlawanan yang pernah terjadi. Di sisi kiri bangunan, terdapat kamar tidur yang diyakini sebagai milik Cut Nyak Dhien, berdampingan dengan ruang tamu tempat para pejuang dulu merancang siasat dan strategi.
Tak jauh dari area utama rumah, terdapat deretan toko oleh-oleh yang menjajakan berbagai produk khas Aceh. Selain kerajinan tangan dan makanan ringan, kopi Aceh menjadi salah satu yang paling banyak diburu. Harga yang ditawarkan di sentra oleh-oleh ini pun relatif lebih terjangkau dibandingkan dengan yang ada di pusat kota Banda Aceh.