Mari sejenak lupakan rutinitas harian dan bersandar di kursi malas atau tikar yang tergelar di hamparan pasir putih. Saat ombak mulai tenang, semburat jingga perlahan menyapu ujung langit, lalu menghilang di balik lautan lepas. Momen ketika pantai dan senja menyatu dalam warna keemasan menjadi suguhan yang sayang dilewatkan, terutama jika berkunjung ke Pantai Kuta, Bali.
Siapa yang tak kenal ikon wisata ini? Dalam deretan pantai legendaris Bali, Kuta berdiri sejajar dengan Sanur sebagai simbol keindahan Pulau Dewata. Tak heran jika menyebut Bali sebagai “surga terakhir di bumi” rasanya tak lengkap tanpa menyebut nama Kuta.
Dalam deretan pantai legendaris Bali, Kuta berdiri sejajar dengan Sanur sebagai simbol keindahan Pulau Dewata.
Memasuki wilayah pantai, pengunjung akan disambut sebuah gapura megah berbentuk candi bentar. Gapura ini merupakan penanda sisi paling selatan dari kawasan Kuta. Setelahnya, pengunjung akan disuguhi pemandangan pantai yang memanjang sekitar 10 km, pasir putih yang lembut, dan ombak yang ramah untuk berselancar.
Kuta telah lama menjadi salah satu destinasi wajib bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali. Namun siapa sangka, kawasan yang kini ramai dan penuh daya tarik ini dulunya pernah menjadi tempat pembuangan, pelarian, hingga menampung penderita kusta. Pada masa lalu, Kuta juga dikenal sebagai pelabuhan dagang yang cukup sibuk, menjadi titik penting dalam jalur perdagangan pesisir selatan Bali.
Pada masa lalu, Kuta juga dikenal sebagai pelabuhan dagang yang cukup sibuk, menjadi titik penting dalam jalur perdagangan pesisir selatan Bali.
Menurut A.A. Gde Putra Agung dkk dalam Sejarah Kota Denpasar 1945-1967, Pantai Kuta merupakan pelabuhan Kerajaan Badung. Pelabuhan Kuta menjadi ramai karena adanya kegiatan dagang antara Mataram dan Batavia yang melalui pelabuhan ini. Barang-barang yang diperdagangkan di Pelabuhan Kuta antara lain beras, minyak kelapa, kopra, hingga budak. “Mereka yang dijadikan budak adalah orang-orang yang tidak sanggup membayar pajak atau orang-orang hukuman. Perdagangan budak adalah monopoli Raja Badung, akan tetapi sering pula dilaksanakan secara gelap/selundupan oleh pedagang-pedagang Bugis,” tulis A.A. Gde Putra Agung dkk dalam Sejarah Kota Denpasar 1945-1967.
Setelah perdagangan budak dilarang, para penguasa mulai memperdagangkan ternak dan hasil bumi. Saat itulah datang John Mads Lange, pedagang berkebangsaan Denmark, yang mengatur sistem perdagangan antarpulau yang berpusat di Kuta. Berkat usaha Lange, yang membuka kantor dagang, Kuta menjadi pelabuhan sekaligus pusat perdagangan yang sibuk.
Setelah perdagangan budak dilarang, para penguasa mulai memperdagangkan ternak dan hasil bumi.
“Setelah Belanda menguasai Kerajaan Buleleng pada tahun 1849, peran Kuta sebagai pelabuhan mulai mundur karena Belanda mengembangkan Pelabuhan Pabean Buleleng,” tulis A.A. Gde Putra Agung dkk. Berkat Lange pula, sejumlah pejabat dan ilmuwan berkunjung ke Kuta. “Meskipun Lange hampir tidak berkecimpung dalam bisnis pariwisata seperti yang kita ketahui, tamunya memulai proses mempublikasikan Bali yang pada waktunya akan membalik reputasinya sebagai tempat yang berbahaya dan biadab,” ujar Robert Pringle dalam A Short History of Bali: Indonesia’s Hindu Realm.
Pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial mulai mengembangkan Bali sebagai objek wisata. Brosur-brosur wisata mempromosikan Bali sebagai tujuan wisata. Pada 1923 kapal penumpang Belanda mulai melayani Singaraja, dan pada 1928 wisma pemerintah di Denpasar ditingkatkan dan dibuka kembali sebagai Hotel Bali.
Pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial mulai mengembangkan Bali sebagai objek wisata.
Namun, Kuta masih belum mendapat banyak perhatian sampai kedatangan perempuan Inggris-Amerika bernama Vannine Walker alias K’tut Tantri, yang kelak turut dalam Revolusi Indonesia. Dia menceritakan kenangannya tentang Kuta pada 1930-an dalam bukunya Revolusi di Nusa Damai. “Pantai di situ indah sekali, tanpa ada sebuah rumah pun. Bahkan gubuk saja tidak ada! Yang ada hanya beberapa pura, serta perahu nelayan yang banyak sekali jumlahnya. Kalau aku membangun rumah di situ, alangkah nyamannya!” tulis K’tut Tantri.
Pada 1936, pasangan seniman asal Amerika Serikat, Louise Garret dan Robert Koke, diantar K’tut Tantri berkeliling naik sepeda dan menyadari betapa indahnya Pantai Kuta. Mereka lalu membangun beberapa bungalo untuk wisatawan yang mulai bosan dengan suasana Denpasar. Inilah cikal bakal Kuta Beach Hotel, hotel pertama di kawasan tersebut. Namun, K’tut Tantri kemudian keluar dari kerja sama itu dan membangun hotel sendiri bernama Suara Segara. Kedua hotel ini sempat bersaing hingga meletusnya Perang Dunia II, yang menyebabkan keduanya hancur. Dalam catatannya, K’tut Tantri menyebut Jepang sempat menggunakan lapangan udara di dekat Kuta sebagai pangkalan operasi pengeboman.
Meski memiliki sejarah panjang, hingga tahun 1960-an, Pantai Kuta masih relatif sepi dari wisatawan.
Meski memiliki sejarah panjang, hingga tahun 1960-an, Pantai Kuta masih relatif sepi dari wisatawan. Situasi mulai berubah ketika para backpacker mulai berdatangan, mencari alternatif yang lebih murah dari Sanur atau Denpasar. Sejak itulah Pantai Kuta mulai naik daun, dikenal dengan panorama matahari terbenamnya yang memukau. Masyarakat lokal pun mulai ikut ambil bagian, menyewakan kamar dan membuka warung-warung makan yang menyesuaikan selera wisatawan.
“Sejak 1970-an, Kuta telah mengembangkan reputasi untuk suasana santai, apa pun yang menyenangkan. Orang asing yang menyamakan Bali dengan toplessness atau bahkan ketelanjangan beranggapan bahwa Kuta adalah tempat yang ‘asli’,” kata Pringle.
Seiring meningkatnya kunjungan wisatawan, pemerintah setempat mulai melakukan penataan. Aktivitas mandi telanjang dilarang, dan beberapa pelanggar bahkan sempat ditangkap. Di saat yang sama, pembangunan infrastruktur wisata di kawasan ini mulai digiatkan untuk menampung lonjakan wisatawan.
Kini, Kuta telah menjadi salah satu simbol pariwisata Bali, bahkan Indonesia.
Kini, Kuta telah menjadi salah satu simbol pariwisata Bali, bahkan Indonesia. Tak heran jika berbagai fasilitas hiburan dan kebutuhan wisata mudah ditemukan di sepanjang garis pantainya—mulai dari homestay, losmen, hotel mewah, hingga resor. Aneka restoran, gerai makanan cepat saji, bar, dan tempat hiburan malam turut menjamur. Jalan-jalan yang sejajar dengan pantai pun dipenuhi toko cendera mata dan beragam atraksi wisata, menjadikan Kuta semakin semarak dan tak pernah benar-benar tidur.
Pantai Kuta terletak di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, dan merupakan salah satu destinasi paling populer di Bali. Pantai ini hampir tak pernah sepi dari kunjungan wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Selain menawarkan panorama yang memikat, lokasinya juga sangat strategis karena berada tidak jauh dari Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai—hanya sekitar 15 menit perjalanan dengan kendaraan dari bandara menuju pantai.
Selain ombaknya yang menantang, Kuta juga dikenal dengan pemandangan matahari terbenam yang sungguh menawan.
Setibanya di pantai, pengunjung akan disambut hamparan pasir putih yang lembut dan deru ombak yang bergulung. Dari kejauhan, tampak para peselancar berlomba menaklukkan ombak di garis laut. Kuta memang dikenal memiliki karakter ombak yang ideal—cukup menantang namun tetap aman—sehingga sering direkomendasikan sebagai tempat belajar bagi peselancar pemula. Kombinasi akses mudah, keindahan alam, dan aktivitas pantai menjadikan Kuta sebagai salah satu ikon wisata bahari Bali.
Di sekitar pantai terdapat tempat-tempat yang menyediakan jasa penyewaan perlengkapan berselancar—lengkap dengan instruktur lokal uang siap memandu wisatawan yang ingin belajar berselancar.
Selain ombaknya yang menantang, Kuta juga dikenal dengan pemandangan matahari terbenam yang sungguh menawan. Karena itulah, selepas lelah berselancar, para pengunjung dapat melepas lelah sambil menikmati panorama indah ini. Banyak yang menganggap belum lengkap kunjungan ke Pantai Kuta jika belum melihat pemandangan matahari terbenam di pantai ini.