Sejak dulu, daun lontar memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan tradisi dan kebudayaan nusantara. Daun yang dihasilkan dari pohon silawan atau yang bernama latin Borassus flabellifer ini memang banyak tumbuh di beberapa daerah di nusantara, seperti Jawa, Bali, NTB, dan NTT. Tak heran jika daun lontar sering dipakai dalam berbagai ritual adat, bahkan dijadikan sebagai media penulisan naskah-naskah kuno pada zaman kedinastian di nusantara.
Suku Dawan merupakan salah satu suku tertua dan terbesar yang ada di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Tanah Dawan, begitu sebutan bagi wilayah tempat tinggal suku ini, merupakan kawasan yang kering dengan curah hujan yang sangat rendah tiap tahunnya. Meski begitu, Nusa Tenggara Timur menjadi salah satu kawasan yang dipenuhi oleh pohon silawan. Karenanya, daun lontar memiliki kedudukan khusus dalam berbagai bentuk kesenian dan tradisi masyarakat adat Suku Dawan.
Tari atoni meto, misalnya. Tari kreasi yang menggambarkan pemuda Suku Dawan yang pandai berburu ini juga tidak terlepas dari daun lontar. Di awal pementasan, pemuda Suku Dawan yang berambut panjang digambarkan sebagai manusia yang pandai berburu. Masyarakat Suku Dawan percaya bahwa rambut panjang akan menyimpan kekuatan yang bisa digunakan dalam berburu. Hal tersebut juga menjadi alasan rambut digunakan sebagai hiasan senjata tradisional Suku Dawan, sumpit.
Di tengah pementasan, muncul beberapa wanita penari yang seolah bergembira dengan hasil buruan yang didapat oleh pemuda Suku Dawan. Mereka berbaur dalam kegembiraan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil buruan yang melimpah. Wujud rasa syukur tersebut dipersembahkan kepada Uis Neno, yang diyakini sebagai raja langit dan penguasa matahari. Kegembiraan tersebut menggambarkan sifat komunal yang terdapat di kebudayaan Suku Dawan.
Secara umum, tari kreasi atoni meto merupakan tari muda-mudi yang dipentaskan oleh 4-6 pasang pria dan wanita. Para penari mengenakan pakaian adat Nusa Tenggara Timur yang sudah dimodifikasi di beberapa bagiannya. Daun lontar menjadi properti utama yang bisa diubah fungsi menjadi pelengkap pakaian yang digunakan penari. Hal tersebut terlihat ketika properti wadah air yang terbuat dari daun lontar berubah fungsi menjadi hiasan kepala wanita penari.
Gerak tari atoni meto bertumpu pada gerakan kaki yang dinamis dan ritmis disesuaikan dengan irama musik pengiringnya yang cenderung menghentak dan bersemangat. Tari kreasi ini secara umum menggambarkan keceriaan, semangat pemuda, dan keeksotisan Suku Dawan yang lekat hubungannya dengan kebudayaan lontar. Tari kreasi atoni meto merupakan bentuk kesenian baru yang mempertahankan tradisi lama, sebagai upaya untuk terus melestarikan daun lontar sebagai sesuatu yang memiliki keterkaitan erat dengan masyarakat nusantara.