Sama halnya dengan berbagai suku lainnya di Nusantara, suku Bugis di Sulawesi Selatan juga mempunyai pandangan sendiri terhadap nilai-nilai estetis dan filosofis yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Hal tersebut salah satunya tercermin dari cara masyarakat Bugis dalam membangun rumah. Rumah adat masyarakat Bugis menyerupai anatomi tubuh manusia dan menempati area persegi, yang mereka percayai sebagai alam semesta (sulapak appak).
Anatomi rumah adat tradisional suku Bugis terinspirasi dari tiga bagian tubuh manusia yang terdiri atas bagian bawah (siring atau kolong), dunia bagian tengah (kale balla atau badan rumah), dan dunia bagian atas (pammakkang atau loteng). Siring atau kolong dianalogikan sebagai tempat kotor dan hina karena berada di bagian paling bawah rumah. Pada umumnya, bagian ini difungsikan oleh masyarakat tradisional untuk menyimpan ternak dan alat-alat bertani atau melaut. Tapi, pada masa dulu, bagian dari rumah adat ini oleh para bangsawan difungsikan sebagai tempat tinggal budak atau tempat menahan tahanan kerajaan.
Anatomi rumah adat tradisional suku Bugis terinspirasi dari tiga bagian tubuh manusia.
Kale balla, yang dalam bahasa Makassar berarti inti rumah, merupakan tempat kegiatan para penghuni berlangsung. Di bagian inilah proses perencanaan dan tata kelola kehidupan berada. Kale balla bisa terdiri dari berbagai petak. Bagi masyarakat kelas menengah, petak pada kalle balla dibatasi hanya tiga, yaitu ruang depan, tengah, dan belakang.
Sementara itu, pammakang merupakan bagian atas dari rumah. Dalam bahasa Makassar, pammakang berarti sesuatu hal yang menyenangkan. Bagian ini umumnya digunakan untuk menyimpan hasil panen serta benda-benda kerajinan seperti tikar dan alat-alat tenun. Secara ideologis, pammakkang bisa bermakna sesuatu yang sakral dan mengandung nilai-nilai spiritual karena menempati posisi yang paling tinggi dari bagian rumah.
Struktur bangunan rumah adat Bugis juga mencerminkan stratifikasi sosial penghuninya.
Selain bagian yang ada pada suatu rumah, struktur bangunan rumah adat suku Bugis pun menunjukkan stratifikasi sosial orang yang menempatinya. Hal tersebut terlihat dari jumlah susunan timba silla atau tambulayang. Semakin banyak susunan timba silla, semakin tinggi pula derajat orang yang menempati rumah tersebut.
Susunan timba silla terbagi dalam lima jenis, yaitu timba silla lanta’ lima (5 susun). Susunan ini khusus digunakan untuk istana raja. Tamba silla lanta’ appa (4 susun), yang biasa diperuntukkan bagi kalangan karaeng atau bangsawan. Tamba silla lanta’ tallu (3 susun), yang khusus digunakan oleh keturunan karaeng. Tamba silla lanta’ rua (2 susun), yang biasa digunakan oleh masyarakat umum. Yang terakhir, timba silla lanta’ se’re (1 susun). Susun seperti ini biasa digunakan oleh kalangan hamba sahaya.