Elly Kasim: Bundo Kanduang Musik Pop Minang - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Elly Kasim: Bundo Kanduang Musik Pop Minang

elly kasim

Elly Kasim: Bundo Kanduang Musik Pop Minang

Dari senandungnya, Elly Kasim melahirkan lagu-lagu pop Minang terlaris. Dialah ibu kandung musik Minang modern.

Mini Biografi

Tidak perlu menjadi orang Minang untuk mengenal Elly Kasim. Legenda pop Minang ini telah menjadi sosok yang begitu populer selama lebih dari 60 tahun. Bahkan, pada tahun 2007, Elly Kasim masih sempat merilis album musik ke-100. Saking banyaknya lagu yang telah ia rekam, julukan ‘Ratu Lagu Minang’ pun melekat padanya.

Elly Kasim telah berkiprah di blantika musik Tanah Air sejak awal 1960-an. Debutnya dimulai bersama band Kumbang Tjari melalui lagu-lagu pop berbahasa Minang, seperti Bareh Solok dan Lamang Tapai. Kelompok ini merupakan generasi pertama musik modern dari Sumatra Barat yang sedang berkembang pada masa itu.

Berbekal cengkok Melayu yang khas, Elly Kasim tidak membatasi dirinya pada lagu-lagu Minang. Melalui proses kreatif yang cepat dan cermat, ia berhasil merambah musik populer dengan banyak kolaborasi. Selain itu, ia juga menyumbangkan suara merdunya untuk lagu-lagu berbahasa Indonesia seperti Bertemu KekasihTiada Seindah Cintaku, dan duet dengan Nuskan Syarif dalam lagu Asmara Dara.

Elly Kasim, yang tutup usia pada usia 77 tahun, memiliki banyak julukan semasa hidupnya. Berkat kemampuannya menarik kerumunan di berbagai daerah, media lokal pernah memberinya julukan “tambang wilayah”. Selain itu, penerima penghargaan dari Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada tahun 1974 ini juga dikenal sebagai “kutilang Minang” dan “penyanyi seribu lagu”.

Berkat kemampuannya menarik kerumunan di berbagai daerah, media lokal pernah memberinya julukan “tambang wilayah”.

Agusli Taher, dalam bukunya Perjalanan Panjang Musik Minang Modern (2016), menyebut Elly Kasim sebagai “bundo kanduang”. Pengamat musik dan pencipta lagu-lagu Minang ini berpendapat bahwa peran utama Elly dalam perkembangan musik pop Minang sejalan dengan peran ibu adat dalam budaya Minangkabau. Tak sedikit lika-liku kehidupan Elly Kasim yang kemudian mengilhami penciptaan lagu, layaknya sosok ibu yang memberi inspirasi bagi anak-anaknya.

“Sebagai figur sentral, banyak karya cipta lahir dari kehidupan Elly Kasim,” tulis Taher menyimpulkan hasil wawancaranya dengan sang biduanita pada tahun 2004. “Ia berperan sebagai gudang ilham dan pemancing ide dalam sebuah proses penciptaan lagu,” imbuhnya.

Proses Berkarya yang Tidak Biasa

Putri tunggal Elly Kasim, Risalina Mustika, membenarkan bahwa mendiang ibunya sangat lekat dengan lagu-lagu tentang kehidupan. Lagu debut bersama Kumbang Tjari yang berjudul Bareh Solok menjadi salah satunya.

Lagu Bareh Solok bercerita tentang seseorang yang ketagihan makan beras solok, sampai-sampai lupa akan sekitarnya. Tidak jauh berbeda dengan Elly Kasim sendiri. Nenek tiga cucu itu sangat menyukai sajian beras khas Sumatra Barat yang disantap bersama sambalado dan talua barendo (telur dadar khas Padang).

Nenek tiga cucu itu sangat menyukai sajian beras khas Sumatra Barat yang disantap bersama sambalado dan talua barendo (telur dadar khas Padang).

Risalina, yang akrab disapa Sally, menuturkan bahwa sebenarnya ibunya tidak pernah membatasi diri soal tema dan genre lagu. Selain lagu tentang kehidupan, Elly juga piawai membawakan lagu-lagu bertema asmara dan cinta yang tak sampai. Bahkan, lagu-lagu tradisional Sunda pun dia kuasai. Hal ini tidak terlepas dari kebiasaan bersenandung sebagai salah satu hobi sang ibu. Tidak sedikit lagu-lagu orisinal yang kemudian lahir dari kebiasaan tersebut.

“Mama orangnya sangat gembira, dia bisa tiba-tiba nyanyi-nyanyi sendirian. Dari awalnya cuma la la la li li li, begitu aja, nanti jadi lagu beneran,” ungkap Sally saat ditemui di rumahnya di kawasan Jakarta Timur.

Dalam proses berkarya, Elly Kasim memang tergolong sebagai seniman yang unik. Agusli Taher dalam bukunya menyebutkan bahwa pelantun lagu Kudaku Lari ini sebenarnya tidak mahir menulis lagu. Namun, melodi yang tampaknya keluar secara spontan dari mulutnya selalu berhasil menjadi lagu yang populer.

“Beberapa lagu yang pernah ditolak musisi, bahkan berubah menjadi lagu hit saat Elly Kasim mulai turun tangan merevisi lagu-lagu tersebut,” catat Taher. 

Berbeda dengan kebanyakan penyanyi yang patuh menuruti keinginan pemusik dan pencipta lagu, Elly Kasim justru berperangai lain. Ia kerap membuat sayembara di antara pencipta-pencipta pilihannya untuk berkompetisi membuat lagu sebanyak-banyaknya. Para pencipta yang dimarkaskan Elly di paviliun rumahnya di kawasan Senen kemudian saling berebut melodi-melodi baru yang meluncur dari senandung sang diva.

Di awal debut solonya sebagai penyanyi, sebagian besar lagu yang melambungkan nama Elly Kasim diciptakan oleh Tarun Yusuf dan Masrul Mamudja. Tarun diketahui pernah menciptakan lagu Tinggalah KampuangAmpun Madeh, dan Bugih Lamo, yang menerima penghargaan sebagai “Lagu Daerah Sepanjang Masa” dalam Anugerah HDX (sekarang Anugerah Musik Indonesia) pada tahun 1996. Sementara itu, dari sekitar 300 judul lagu yang diciptakan Masrul, 100 di antaranya dibawakan oleh Elly Kasim.

Sepanjang dasawarsa 1970-an, setiap dua-tiga bulan Elly akan pergi ke Singapura dan Hong Kong untuk merekam suara ke piringan hitam. Sekali proses rekaman biasanya menghasilkan empat sampai lima album sekaligus. Meskipun sebagian lagu-lagunya dibuat dengan sistem “kejar tayang”, hampir semua album Elly Kasim sukses di bursa musik Tanah Air.

Sepanjang dasawarsa 1970-an, setiap dua-tiga bulan Elly akan pergi ke Singapura dan Hong Kong untuk merekam suara ke piringan hitam.

Agusli Taher menuturkan bahwa kesuksesan lagu-lagu Elly Kasim kemungkinan besar terjadi karena para pendengar dapat merasakan penghayatan sang penyanyi, seolah-olah kisah hidupnya sedang dituturkan melalui lagu. Hal ini menunjukkan kedalaman emosional yang dimiliki Elly dalam setiap penampilannya. Tak jarang, permintaan untuk membuat lagu berdasarkan pengalaman pribadi datang langsung dari Elly, terutama saat ia tengah menghadapi masa-masa sulit. Salah satu kisah asmaranya yang bertepuk sebelah tangan bahkan mengilhami terciptanya lagu Kasiah Tak Sampai.

Kasiah Tak Sampai itu sebenarnya lahir dari perlawanan jiwa Uni (sebutan untuk kakak perempuan dalam Bahasa Minang). Karena itu, Uni minta kepada penciptanya, Tarun Yusuf, untuk membuat lagu tersebut,” ungkap Elly Kasim dalam program Edriana Views yang mengudara di kanal YouTube.

Lagu Kasiah Tak Sampai memang lahir dari petikan senar gitar Tarun Yusuf, tetapi bagian terpentingnya keluar langsung dari mulut Elly. Waktu itu, ia meminta secara spesifik untuk memasukan kalimat ‘cinto den indak ado duonyo’ yang berarti ‘cintaku tiada duanya’ pada bagian chorus dan ending. Keduanya merupakan bagian terpenting dari sebuah lagu.

Cinto den indak ado duonyo

Cinto den hanyo ka uda surang

Bia mengamuak topan jo badai

Cinto den indak ado duonyo

Bia di dunia kasiah tak sampai

Yo di akhirat den nanti juo

Uda den nanti dalam sarugo

(Terjemahan Bahasa Indonesia)

Cintaku tiada duanya

Cintaku hanya untukmu seorang

Biarlah topan dan badai mengamuk

Cintaku tiada duanya

Biarlah di dunia perasaan ini tak tercapai

Di akhirat akan ku nantikan

Akan ku tunggu dirimu di dalam surga

Benar saja, bagian-bagian yang diracik sendiri oleh Elly berhasil mengantarkan Kasiah Tak Sampai menjadi salah satu single pop Minang paling fenomenal. Bahkan, penciptanya, Tarun Yusuf, sampai bilang bahwa lagu tersebut telah menyelamatkan kariernya sebagai seniman.

Sejak pertama kali mengudara pada tahun 1970, Kasiah Tak Sampai telah dinyanyikan dan diaransemen ulang berkali-kali oleh penyanyi lintas generasi. Aransemen terbarunya kemudian menjadi soundtrack serial web musikal Nurbaya yang tayang pada tahun 2021.

Sejak pertama kali mengudara pada tahun 1970, Kasiah Tak Sampai telah dinyanyikan dan diaransemen ulang berkali-kali oleh penyanyi lintas generasi

Elly Kasim bukan tanpa alasan terus menyanyikan lagu-lagu bertema patah hati. Karena, tahun 1970 bukanlah tahun yang baik bagi kehidupan asmaranya. Kala itu, Elly dikabarkan baru saja berpisah dengan pasangan pertamanya. Namun, selang beberapa waktu hatinya tertambat pada seorang pria bernama Nazif Basir Sutan Pamenan, seorang wartawan yang ditemuinya setelah tampil di Kota Padang. Tak ingin hubungan mereka menjadi berlarut-larut, keduanya sepakat untuk menghabiskan waktu sebentar sambil menikmati suasana syahdu Pantai Padang.

Kenangan antara Elly dan Nazif lantas mengilhami penciptaan lagu Pantai Padang oleh Masrul Mamudja. Lagi-lagi, atas permintaan dari Elly sendiri. Serangkaian lagu-lagu sendu lainnya menyusul pada era yang sama. Ada lagu Batanam MumbangAia Mato Mandeh dan Japuiklah Denai yang dinyanyikan secara duet bersama Tiar Ramon.

Setelah melantunkan berbagai lagu bertema patah hati, Elly Kasim akhirnya menikah dengan Nazif Basir pada tahun 1971. Pasangan ini dikaruniai seorang putri setelah lebih dari satu dekade menanti momongan. Bersama sang suami, yang juga berperan sebagai manajer dan kurator lagu-lagu pop Minang, Elly mendirikan label rekaman P’rindu.

Tak hanya berfokus pada musik, Elly dan Nazif juga berkomitmen melestarikan seni budaya Minang melalui pendirian Sanggar Tari Nasional (Sangrina) Bunda pada tahun 1978. Sanggar tari tradisional ini bahkan pernah mengemban misi kebudayaan hingga ke 35 negara pada tahun 2008. Hingga kini, Sangrina Bunda masih aktif meskipun kegiatannya sudah sangat terbatas.

Tak hanya berfokus pada musik, Elly dan Nazif juga berkomitmen melestarikan seni budaya Minang melalui pendirian Sanggar Tari Nasional (Sangrina) Bunda pada tahun 1978.

Masa Pra-Bintang

Elly Kasim, yang memiliki nama asli Elimar, berasal dari Tiku, Tanjung Mutiara, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, dan dilahirkan pada 27 September 1943. Keluarganya sangat taat adat, sehingga sulit bagi mereka untuk merelakan anak gadisnya berkarier sebagai biduan. Karena itu, Elly harus mengasah bakat musiknya secara diam-diam.

Ketika Elly berusia satu tahun, ayah dan ibunya berpisah. Sang ibu merantau ke Pekanbaru dan menikah lagi dengan pria asal Minang bernama Mohammad Kasim. Sementara itu, Elly kecil diasuh oleh neneknya, seorang guru sekolah dasar.

Kepada majalah Tempo (28/8/2021), Elly Kasim menuturkan bahwa kecintaannya kepada musik bisa bertunas berkat jasa pamannya yang bernama Yanuar. Sejak usia tiga tahun, Elly sudah diajar menyanyi oleh sang paman yang ternyata seorang penggemar berat musik Melayu. 

Saat menginjak usia 15 tahun, Elly memberanikan diri mengikuti kompetisi menyanyi di Radio RRI Pekanbaru, dan dengan mudah tampil sebagai pemenang. Keberhasilannya di dunia tarik suara tidak berhenti di situ, karena Elly juga memiliki beragam bakat lainnya. Selain menyanyi, ia mahir berdeklamasi, aktif dalam kelompok sandiwara sekolah, dan bahkan pernah meraih gelar juara tari tingkat pelajar pada tahun 1958.

Suatu kali pada tahun 1959, Elly diajak pamannya ke Jakarta untuk menonton pertunjukan Orkes Gumarang yang digawangi duet Asbon Madjid dan Nurseha. Siapa sangka, itu adalah persentuhan pertamanya dengan musik Minang. Kehebatan vokal Nurseha ternyata membangkitkan rasa kagum dalam diri Elly, tetapi juga membuatnya besar kepala.

“Kalau hanya seperti itu, saya juga bisa,” kata Elly penuh percaya diri.

Kepada Agusli Taher, Elly Kasim menyatakan bahwa lagu-lagu yang dilantunkan Nurseha masih kurang mampu membangkitkan emosi. Dari situ, ia bertekad untuk tampil berbeda. Caranya adalah dengan menciptakan kreasi cengkok irama khasnya sendiri yang terinspirasi dari nuansa garinyiak dan bansi. Keduanya merupakan alat musik tiup asli Minangkabau yang mampu menghasilkan melodi yang tenang dan mendayu-dayu.

Elly Kasim memang dikaruniai bakat melimpah. Meski sejak kecil ia tumbuh jauh dari lagu-lagu khas Minang, ia mampu menciptakan cengkok yang berasal dari tanah kelahirannya dengan sempurna. Suara emasnya yang khas kemudian menarik perhatian orkes Ganto Rio. Band yang dipimpin oleh Syamsul Arifin itu mengajak Elly manggung di acara-acara kenduri kelompok diaspora Minang di Ibu Kota saat usianya baru 16 tahun.

Meski sejak kecil ia tumbuh jauh dari lagu-lagu khas Minang, ia mampu menciptakan cengkok yang berasal dari tanah kelahirannya dengan sempurna.

Waktu lantas mempertemukan Elly dengan Nuskan Syarif, penanggung jawab baru Ganto Rio. Keduanya sepakat beralih nama menjadi Kumbang Tjari, lalu masuk ke dapur rekaman. Atas nasihat Nuskan pula, Elimar mengganti namanya menjadi Elly Kasim. Diambil dari nama belakang sang ayah sambung yang sudah mengasuh Elly sejak usia tiga tahun.

Dalam waktu singkat, Kumbang Tjari melesat ke puncak tangga lagu pop Tanah Air era 1960-an. Kelompok ini memilih pengaruh rock ‘n roll yang sedang populer di kalangan kawula muda pada masa itu. Alih-alih terkena cekal akibat larangan mempertunjukan musik-musik dansa di era Orde Lama, nuansa Minang yang lahir dari kombinasi tema lokal dan vokal khas Elly Kasim justru jadi penyelamat.

Sepanjang era 1960-an, Kumbang Tjari sukses membawakan lagu-lagu modern menggunakan bahasa Minang. Salah satu puncaknya adalah popularitas lagu Bareh Solok, yang berhasil bersanding dengan lagu-lagu pop berbahasa Indonesia lainnya dalam album bertajuk Bertemu Kekasih (1964). Dalam album tersebut, Elly Kasim terpilih untuk membawakan lagu utama yang berjudul sama, yang diciptakan oleh M. Jusuf.

Sepanjang era 1960-an, Kumbang Tjari sukses membawakan lagu-lagu modern menggunakan bahasa Minang.

“Harus Gue!”

Proklamator Bung Hatta pernah menyebut sosok H. Agus Salim, diplomat nyentrik asal Minang yang wafat pada tahun 1954, sebagai “jenis manusia yang dilahirkan hanya satu dalam satu abad”. Pribadi yang unik dan umumnya tidak pernah bisa diam memang identik dengan orang Minang perantauan. Dengan segala kelebihan dan keistimewaan di bidang musik, Elly Kasim mungkin juga termasuk ke dalam golongan ini.

Di balik kesuksesan sebagai penyanyi, ada etos kerja yang sangat tinggi dalam diri Elly Kasim. Hal ini dituturkan langsung oleh sang putri, Sally, yang mendeskripsikan ibunya sebagai orang yang tidak suka berpangku tangan. “Mama orangnya gigih. Selalu punya jalan untuk memenuhi keinginan,” katanya.

Putri tunggal Elly Kasim dan Nazif Basir itu menceritakan bahwa ibunya memiliki kebiasaan unik, yaitu selalu berdandan meskipun tidak akan bepergian. Selain itu, Elly juga gemar mengumpulkan banyak orang di rumahnya. Kebiasaan-kebiasaan ini mencerminkan kepribadiannya yang terbentuk dari kehidupan sebagai bintang panggung, yang membuatnya dikenal sebagai sosok yang seperti pelangi: ceplas-ceplos dan berenergi tinggi.

Kehidupan Elly Kasim yang penuh energi dan kreativitas tidak hanya tercermin dalam dunia musik, tetapi juga dalam dunia usaha. Elly mewarisi usaha wedding organizer berkonsep budaya Minang dari neneknya. Pada tahun 1974, ia mendirikan Elly Kasim Collection, sebuah tempat penyewaan pelaminan dan kostum tradisional. Usahanya ini menarik perhatian berbagai kalangan, mulai dari masyarakat umum hingga selebriti dan pejabat. Dalam setiap acara, Elly turun langsung menangani konsep panggung, memilih warna baju, dan merancang dekorasi pengantin.

Dalam bahasa Sally, Elly Kasim adalah seorang “perfeksionis nggak nanggung” jika sudah menyangkut seni dan budaya Minang. Bersama suaminya, Elly juga menulis buku berjudul Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau (1997) yang merangkum semua hasil pekerjaan wedding organizer yang telah ia jalani selama puluhan tahun.

Dalam bahasa Sally, Elly Kasim adalah seorang “perfeksionis nggak nanggung” jika sudah menyangkut seni dan budaya Minang.

Saat kondisi kesehatannya mulai menurun pada 2021, Elly Kasim tengah sibuk mempersiapkan pernikahan seorang penyanyi dangdut dan aktor. Penyakit lambung yang sudah diderita selama bertahun-tahun sempat membuat Elly tumbang, tetapi dia bersikeras ingin mengurus semuanya sendiri.

“Pokoknya harus gue!” demikian Sally menirukan sang ibu. Elly bukannya tidak percaya pada orang lain, tetapi seperti dituturkan oleh Sally bahwa ibunya merupakan “tipe orang yang harus puas diri dulu, baru ke orang lain.”

Pada tanggal 27 Agustus 2021, pukul 3 dini hari, Elly Kasim kalah dari penyakitnya. Jasadnya dimakamkan di Al Azhar Memorial Garden, Karawang, Jawa Barat, atas wasiatnya sendiri. Sebelum tutup usia, Elly masih sempat mewujudkan salah satu cita-citanya, yakni menggelar konser tunggal bertajuk Menjulang Bintang: 57 Tahun Elly Kasim Berdendang, yang digelar pada tanggal 29 Juli 2017 di Taman Ismail Marzuki (TIM).

Serial musikal Nurbaya yang rilis tahun 2021 di kanal YouTube Indonesia Kaya lantas menjadi pentas musik Elly Kasim yang terakhir. Dalam serial web sepanjang enam episode itu, Elly berperan sebagai cameo yang membawakan lagu tema Kasiah Tak Sampai di hadapan Siti Nurbaya yang tengah bersedih akibat perkawinan paksa. Ibarat bundo kanduang, Elly berpesan bahwa rintangan tidak sepantasnya membuat cinta berkurang, karena baginya, cinta tersebut tiada duanya.