HENING dan menenangkan. Suasana alam sekitarnya masih asri. Pepohonan hijau memenuhi lanskap perbukitan; teduh dan segar. Udara yang sejuk menambah betah siapapun yang berkunjung ke sana. Pemandangan dari atas bukit pun begitu memanja mata.
Itulah kesan yang tertinggal kala menjejakkan kaki di Bukit Keling di Dusun Nilo, Desa Wuli Wutik, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur. Di puncak bukit berdiri dengan agung Patung Maria Bunda Segala Bangsa setinggi 19 meter atau total 28 meter dari permukaan tanah.
Nilo dalam bahasa Sikka berarti terang. Rasanya tepat jika di dusun ini berdiri Patung Maria Bunda Segala Bangsa; untuk memberikan terang bagi umat Katolik yang datang untuk berdoa dan menerangi seluruh penduduk Sikka.
Patung Maria Bunda Segala Bangsa dibangun oleh Kongregasi Pasionis (CP) bekerja sama dengan umat Katolik di sana. CP didirikan di Italia oleh St. Paulus dari Salib tahun 1720. Kongregasi ini berpusat di Roma dan telah menyebar ke berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.
CP masuk ke Indonesia tahun 1946. Kehadirannya dimulai dengan kedatangan tiga misionaris Belanda. Menyusul kemudian misionaris Italia tahun 1962, “karena masalah visa bagi misionaris Belanda,” ujar Karel A. Steenbrink dalam Catholics in Indonesia, 1808-1900.
Para misionaris itu berkarya di Keuskupan Ketapang dan Keuskupan Sanggau – Kalimantan Barat. Sejak 1990-an CP telah berkantor di Jakarta, tapi pekerjaan mereka masih terkonsentrasi di dua keuskupan yaitu Ketapang dan Sanggau.
“Sebagai sebuah ordo religius mereka bersatu. Dari 50 imam mereka pada 2000, hanya lima orang Italia dan dua orang Belanda dan selebihnya semua orang Indonesia,” kata Steenbrink.
Dalam karyanya yang lain, bersama Jan Sihar Aritonang, berjudul A History of Christianity in Indonesia, Steenbrink menyebut biarawati-biarawati CP datang ke Maumere pada 1990. “Dalam lima tahun mereka membangun biara mereka dan dalam sepuluh tahun telah menjadi otonom dengan delapan biarawati Flores dan hanya satu biarawati Italia yang tersisa,” jelas Aritonang dan Steenbrink.
Menurut situs resminya gemapasionis.org, di Indonesia sudah terbentuk satu provinsi dengan nama “Maria Ratu Damai”, penyatuan antara provinsi Mater Sanctae Spei-Belanda dan Maria SS. Della Pieta-Italia, yang berpusat di Jakarta. Kini, CP sudah berkarya di beberapa keuskupan: Ketapang, Sanggau, Pontianak, Malang, Jakarta, Sintang, Palangkaraya, Banjarmasin, Tanjung Karang, Maumere, Larantuka, dan Ende.
Kedatangan mereka ke Flores merupakan hasil kesepakatan kongres CP Indonesia tahun 1998. “Flores menjadi sentral penyebarannya, dan Maumere khususnya Nilo menjadi pilihan utama,” tulis P. Avensius Rosis, CP. “Pusat Spiritualitas Pasionis Nilo”, gemapasionis.org, 26 Mei 2020.
Setelah mendapat restu dari Uskup Agung Ende (alm) Mgr Abdon Longinus da Cunha Pr, Kongregasi Pasionis membangun Pusat Spiritualitas Pasionis (PSP) Nilo dengan Rumah Rohani yang dilengkapi tempat ziarah: stasi-stasi penderitaan Yesus di sepanjang Kampung Nilo, patung Yesus disalib di Bukit Golgota, dan Patung Maria Bunda Segala Bangsa di Bukit Keling. Belum ada informasi mengenai pembangunan tempat-tempat ziarah tersebut.
Dalam skripsi di Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2018 dengan judul “Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Melalui Wisata Religi Patung Bunda Segala Bangsa”, Dedy Dermawan mewawancarai Philipus Sawe, tokoh masyarakat dan lembaga adat Desa Wuli Wutik, mengenai pembangunan Patung Maria Bunda Segala Bangsa.
Awalnya, kata Philipus Sawe, seorang pria asli Desa Wuli Wutik bernama Suibertus Amandus berkunjung ke kampung halaman istrinya di Kabupaten Manggarai untuk bertemu sanak keluarga. Di sana dia bertemu kerabat lamanya, Pater Kamilus. Setelah berbincang cukup lama, dia mengundang Pater Kamilus untuk berkunjung ke Wuli Wutik.
Undangan baik itu berbalas. Pater Kamilus berkunjung ke Maumere dan disambut hangat oleh Philipus Sawe dan beberapa pater Pasionis. Pater Kamilus juga diajak keliling desa dan sampailah di Bukit Golgota.
Di Bukit Golgota terdapat patung Yesus disalib dan biasa dijadikan tempat berdoa bagi umat Kristiani. Di utara Bukit Golgota ada Bukit Keling yang terbilang cukup luas. Muncullah ide dari Pater Kamilus untuk membangun sebuah patung.
Setelah melakukan pendekatan dengan tokoh dan masyarakat setempat serta kerja sama dengan Tarekat Pasionis, dibangunlah Patung Maria Bunda Segala Bangsa di Bukit Keling.
“Patung tersebut dibuat di Kota Malang dan dirancang oleh seorang insinyur dari Bandung,” ujar Philipus Sawe.
Patung terbuat dari bahan tembaga dengan berat empat ton. Patung itu dibagi menjadi empat bagian dan dikirim ke Maumere. Masyarakat setempat bergotong-royong dan membantu pengerjaannya. Uskup Agung Ende memberkati dan membukanya secara resmi sebagai tempat ziarah pada 31 Mei 2005.
Terletak sekitar 7 km dari Maumere, ibukota Kabupaten Sikka, patung ini kerap didatangi pengunjung untuk berdoa. Bukan hanya wisatawan domestik tapi juga dari mancanegara. Biasanya mereka berkunjung pada Mei atau Oktober yang dikenal sebagai bulan devosi (bentuk doa dan praktik-praktik kerohanian) kepada Bunda Maria.
Beribadah sambil berekreasi tentunya akan menjadi rangkaian kegiatan yang menyenangkan. Bisa menenangkan hati dan pikiran. Menikmati keindahan alam sekitar dan pemandangan Kota Maumere dari atas bukit. Tak heran jika Bukit Keling Nilo menjadi salah satu objek wisata rohani yang diminati umat Katolik dari dalam maupun luar kota.*
Baca juga: Bukit Langara, Perpaduan Sempurna Antara Sungai Dan Perbukitan