Di sekitar kawasan Dataran Tinggi Dieng, terdapat sebuah tembok besar. Tembok ini berdiri mengelilingi kawasan Dieng, menjadi batas antara tempat yang disucikan dengan tempat tinggal masyarakat umum. Masyarakat sekitar menyebut tembok besar ini Watu Kelir.
Saat pertama ditemukan, bersamaan dengan ditemukan kawasan candi di Dieng, Watu Kelir diperkirakan memiliki panjang sekitar 600 meter dengan tinggi sekitar 5 meter.
Masyarakat sekitar memberikan nama “watu kelir” pada tembok besar ini karena bentuknya mengingatkan pada kelir (layar) pada pertunjukan wayang kulit. Walau begitu, tembok ini sama sekali tidak berhubungan dengan pertunjukan wayang kulit.
Yang disayangkan, saat ini, dari panjang sekitar 600 meter ketika pertama ditemukan, Watu Kelir yang tersisa hanya sekitar 50 meter. Meski sudah dimasukkan sebagai cagar budaya dan dilindungi undang-undang, masyarakat banyak mengambil bagian Watu Kelir sebagai bahan bangunan.
Di bagian atas Watu Kelir, terdapat peninggalan lain yang tak kalah penting. Peninggalan tersebut disebut Siti Hinggil. Secara etimologi, “siti” berarti tanah, sementara “hinggil” berarti tinggi. Pada masa lalu, Siti Hinggil merupakan tempat untuk menerima tamu yang datang dari luar daerah. Konon, Siti Hinggil juga menjadi tempat favorit anggota keluarga kerajaan untuk menikmati keindahan Dataran Tinggi Dieng.
Setali tiga uang dengan Watu Kelir, kondisi Siti Hinggil pun sangat tidak terawat. Tidak ada sisa peninggalan bangunan yang dapat ditemukan di sini. Keberadaannya sudah beralih fungsi menjadi tanah pemukiman atau ladang pertanian warga.