Tanah Lot: Pura Ikonik di Pesisir Bali yang Kaya Cerita - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

tanah_lot_1290

Tanah Lot: Pura Ikonik di Pesisir Bali yang Kaya Cerita

Berdiri di atas batu karang di barat Bali, Tanah Lot dikenal sebagai pura ikonik sekaligus destinasi populer untuk menikmati matahari terbenam.

Pariwisata

Terletak di bibir pantai yang curam, Pura Tanah Lot menyuguhkan pemandangan yang menakjubkan. Saat air laut pasang, pura ini tampak seperti daratan yang mengambang di tengah lautan. Pengunjung baru dapat menginjakkan kaki ke kawasan pura ketika air mulai surut, menciptakan pengalaman unik sekaligus dramatis.

Di sekitar area pura, terdapat sejumlah gua yang terbentuk akibat kikisan air laut terhadap batuan karang. Gua-gua ini menjadi habitat bagi ular-ular laut jinak yang dipercaya sebagai penjaga kawasan suci. Konon, ular-ular tersebut adalah hewan peliharaan dewa yang mendiami Pura Tanah Lot—karena itu, keberadaannya dihormati dan tidak boleh diganggu.

Pura Tanah Lot sendiri merupakan salah satu tempat ibadah paling disucikan bagi umat Hindu di Bali.

Pura Tanah Lot sendiri merupakan salah satu tempat ibadah paling disucikan bagi umat Hindu di Bali. Berdiri kokoh di atas batu karang di tepi pantai Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, pura ini tidak hanya memiliki nilai spiritual tinggi, tetapi juga kisah sejarah yang menarik. Asal-usulnya dikaitkan dengan legenda seorang brahmana dari Jawa bernama Danghyang Nirartha—juga dikenal sebagai Danghyang Dwijendra atau Pedanda Sakti Wau Rauh—yang hidup pada sekitar abad ke-16.

Disebutkan bahwa Danghyang Nirartha berhasil menarik simpati masyarakat Bali untuk memeluk ajaran Hindu. Keberhasilannya ini menimbulkan kecemburuan Bendesa Beraban, penguasa wilayah Tanah Lot, terlebih karena banyak pengikutnya beralih menjadi pengikut Nirartha. Akibatnya, sang Bendesa memaksa Nirartha untuk meninggalkan Tanah Lot.

Nirartha menerima permintaan tersebut, namun sebelum pergi, ia menunjukkan kesaktiannya dengan memindahkan sebuah batu besar ke tengah pantai dan mendirikan sebuah pura di atasnya. Ia juga dikisahkan mengubah selendangnya menjadi seekor ular sebagai penjaga tempat suci tersebut. Melihat kebesaran spiritual Nirartha, Bendesa akhirnya berbalik menjadi pengikutnya.

Menurut kajian budayawan Universitas Udayana, Ida Bagus Gede Agastia, dalam naskah lontar Bali Dwijendra Tattwa dijelaskan bahwa Nirartha merupakan seorang ahli agama dari Kerajaan Majapahit. Setelah keruntuhan Majapahit, ia melanjutkan perjalanan ke Pasuruhan, Blambangan, hingga akhirnya tiba di Bali. Di sana, ia diangkat sebagai padiksyan (pendeta kerajaan) di Kerajaan Gelgel yang dipimpin oleh Raja Baturenggong. Selama masa pengabdiannya, ia kerap melakukan perjalanan spiritual ke berbagai wilayah, termasuk Bali, Nusa Penida, dan Lombok.

“Perjalanan mengelilingi Bali yang dilakukan Danghyang Nirartha adalah salah satu wujud dari usaha penataan kehidupan keagamaan di pulau ini,” jelas Agastia.

Di beberapa tempat yang disinggahi Nirartha dibangunlah beberapa pura, termasuk Tanah Lot, Pura Uluwatu, dan Pura Rambut Siwi.

Pendirian pura di Tabanan diuraikan dalam Dwijendra Tatwa. Dikisahkan, ketika berada di tepi pantai, Nirartha melihat pulau kecil yang tampaknya sangat suci di tengah samudra. Muncul keinginannya untuk membuat tempat suci di sana. Kepada nelayan yang sedang mencari ikan, dia memberitahu agar masyarakat desa mendirikan tempat suci yang kemudian disebut Pura Pakendungan. Agastia menyebut Pura Pakendungan sekarang lebih dikenal dengan nama Pura Tanah Lot.

A.A. Rai Sita Laksmi, dosen Fakultas Sastra Universitas Warmadewa, dalam tulisannya berjudul Pengelolaan Warisan Budaya Pura Tanah Lot Sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan, yang terbit di Forum Arkeologi Vol. 27 No. 3, November 2014, mempertanyakan uraian dalam naskah Dwijendra Tattwa. Ia menyoroti perbedaan letak antara dua pura yang disebut dalam teks tersebut. Pura Tanah Lot berada di tengah laut, sementara Pura Pakendungan merupakan pura subak yang terletak di daratan, tepatnya di sebelah barat laut Tanah Lot. “Terjadinya perubahan nama dari Pakendungan menjadi Tanah Lot belum diketahui secara jelas,” tegasnya.

Hingga kini, belum ditemukan bukti sejarah yang secara jelas menjelaskan kapan, oleh siapa, dan atas dasar apa Pura Tanah Lot didirikan.

I Made Girinata, dalam karyanya Kawasan Suci Pura Tanah Lot dan Destinasi Wisata, menyebut bahwa hingga kini belum ditemukan bukti sejarah yang secara jelas menjelaskan kapan, oleh siapa, dan atas dasar apa Pura Tanah Lot didirikan. Beberapa sumber, termasuk Dwijendra Tattwa, hanya mengaitkan keberadaan pura ini dengan perjalanan spiritual Danghyang Nirartha, tanpa secara eksplisit menyebutkan bahwa ia adalah pendirinya.

Lebih lanjut, Girinata menambahkan bahwa jauh sebelum kedatangan Nirartha, aktivitas keberagamaan di Bali telah berkembang dengan kuat. Masyarakat kala itu juga telah memiliki pengetahuan untuk mendirikan pura secara mandiri. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan Pura Dasar Gelgel dan Pura Besakih, yang bahkan telah dijadikan bagian dari sad kahyangan—enam pura utama yang menjadi penyangga spiritual seluruh wilayah Bali.

“Terkait dengan Pura Tanah Lot, bukan tidak mungkin bahwa Dang Hyang Nirartha juga lebih mengingatkan lagi masyarakat sekitar Pura Tanah Lot agar lebih memperhatikan kebesaran Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dan segala manifestasi-Nya dengan cara selalu melakukan sujud bakti dan membuatkan tempat-tempat pemujaan,” kata Girinata.

Pura Tanah Lot termasuk dalam kategori dang kahyangan, yaitu tempat suci yang dibangun untuk menghormati para guru spiritual yang pernah datang dan menyebarkan ajaran keagamaan.

Secara struktural, kompleks pura ini terdiri atas dua bagian utama: halaman luar (jabaan) dan halaman dalam (jeroan). Halaman luar merupakan area terbuka tanpa tembok, namun tetap dianggap suci karena tidak semua orang diperbolehkan masuk kecuali untuk keperluan sembahyang. Di area ini terdapat dua pintu masuk, masing-masing berada di sisi timur dan utara.

Sementara itu, halaman dalam dibatasi oleh tembok keliling dan berisi sejumlah bangunan suci atau pelinggih. Di dalamnya juga terdapat peninggalan lain seperti menhir dan fragmen lingga, yang menjadi bagian dari simbol penghormatan dalam tradisi spiritual setempat.

“Menhir merupakan tinggalan tradisi megalitik berupa batu tegak, kasar, dan belum digarap, tetapi diletakkan oleh manusia dengan sengaja di suatu tempat sebagai media penghormatan dan menjadi lambang dari orang-orang yang diperingati,” jelas Rai Sita Laksmi.

Selain nilai spiritualnya, Tanah Lot juga menjadi spot favorit para fotografer, terutama untuk mengabadikan siluet pura yang berpadu indah dengan latar matahari terbenam.

Setiap tahunnya, Tanah Lot dikunjungi oleh jutaan wisatawan, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Tempat ini telah menjelma menjadi salah satu ikon pariwisata Bali yang paling dikenal. Selain nilai spiritualnya, Tanah Lot juga menjadi spot favorit para fotografer, terutama untuk mengabadikan siluet pura yang berpadu indah dengan latar matahari terbenam—pemandangan paling ikonik dari kawasan ini.

Tak jauh dari lokasi utama, terdapat pula beberapa pura berukuran lebih kecil yang turut melengkapi kawasan suci ini. Di antaranya adalah Pura Pakendungan, Pura Penataran, dan Pura Penyawang.

Bagi wisatawan yang ingin berkunjung, Tanah Lot berjarak sekitar 13 kilometer dari pusat Kota Tabanan, sekitar 22 kilometer dari Denpasar, dan kurang lebih 25 kilometer dari Bandara Internasional Ngurah Rai. Perjalanan dari bandara dapat ditempuh dalam waktu sekitar 45 menit, tergantung kondisi lalu lintas.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Tim Indonesia Exploride

  • A.A. Rai Sita Laksmi. “Pengelolaan Warisan Budaya Pura Tanah Lot Sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan”. Forum Arkeologi Vol. 27 No. 3, November 2014.
    Ida Bagus Gede Agastia. Dwijendra Tattwa. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1993.
    I Made Girinata. Kawasan Suci Pura Tanah Lot dan Destinasi Wisata. Denpasar: IHDN Press, 2018.