Cari dengan kata kunci

1290-x-430-desa-sawai.jpg

Sawai, Desa Tua yang Bahagia

Desa tertua di Maluku ini banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan Arab, dari musik hingga baju. Bahkan, banyak warga desa yang memiliki hidung mancung dan berwajah seperti orang Arab.

Pariwisata

Suara burung terdengar bersahutan di antara pepohonan hutan Taman Nasional Manusela. Matahari mulai tampak sedikit demi sedikit memancarkan sinarnya. Udara yang sejuk terasa sangat segar meresap ke dalam tiap pori-pori kulit tubuh ini. Mata pun mulai terpicing dan terbuka ketika menyadari perjalanan kami menuju Desa Sawai sudah mendekati akhir.

Jalanan kelok “SS” yang terkenal itu memang sedikit membuat perut kami mual. Namun, ketika sang pengemudi menyampaikan bahwa sebentar lagi kami akan sampai di Desa Sawai maka rasa mual itu pun sirna seketika. Kami memang sangat bersemangat untuk mengunjungi Desa Sawai yang konon merupakan desa tertua di seluruh daratan Maluku. Sebuah papan penujuk jalan mengarahkan kami untuk berbelok dari jalan trans Seram menuju jalan yang lebih kecil. Awalnya kami agak ragu karena jalan yang kami lalui ini sangat sepi dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tetapi, ketika dari kejauhan kami melihat beberapa atap rumah dengan berbagai macam warna, kami pun merasa lebih tenang karena kami yakin berada di jalan yang benar.

Jalan yang kami lalui pun semakin mengarahkan kami ke wilayah pelosok. Untuk meyakinkan diri, kami pun memutuskan bertanya kepada beberapa warga desa yang sedang berjalan-jalan di sekitar jalan tersebut. Kami sudah benar dan Desa Sawai kurang lebih kami capai dalam jarak sekitar 1,5 kilometer lagi. Tidak sampai 10 menit, kami pun memasuki sebuah bukit dimana satu desa terletak di kakinya dan kendaraan kami pun segera menuruni bukit tersebut.

Desa Sawai adalah desa tertua di Maluku.

Kami kembali memastikan pada penduduk desa yang kami temui dan memang benar bahwa kami sudah sampai di Desa Sawai, desa tertua di Maluku. Tujuan pertama kami di Desa Sawai adalah menemukan tempat kami menginap yang bernama Lisar Bahari. Untuk mencapai tempat ini memang kendaraan kami harus melalui jalan-jalan kecil desa yang hanya cukup 1 mobil. Penginapan ini terletak di sudut desa paling ujung yang langsung berbatasan dengan pesisir. Pak Ali, sang pemiliknya langsung menyambut kami begitu kami sampai di Lisar Bahari.

Sejenak kami beristirahat dan merapikan barang bawaan kami, Pak Ali pun langsung menemui kami di penginapan yang berbentuk bungalo rumah panggung. Ia menanyakan program wisata kami di Sawai dan sekitarnya, termasuk Pantai Ora yang terkenal itu. Setelah berdiskusi 30 menit, Pak Ali pun mempersilakan kami untuk berjalan-jalan di sekitar desa dan berinteraksi dengan warga setempat. Kami sangat tertarik untuk melakukan ini, kamera pun segera siap di tangan dan kami pun segera berkeliling desa dengan berjalan kaki.

Keluar dari wilayah penginapan, banyak warga terlihat sedang melakukan berbagai aktifitas. Mereka tampak tidak terganggu sama sekali dengan kehadiran kami, kami pun ingat bahwa Pak Ali sempat mengatakan jika warga Desa Sawai memang sudah terbiasa dengan wisatawan yang datang, terutama setelah penginapan Lisar Bahari berdiri. Pemandangan pedesaan semakin membius kami untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang desa indah ini.

Mayoritas penduduk Desa Sawai adalah nelayan yang menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan.

Mayoritas penduduk Desa Sawai adalah nelayan yang menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan. Biasanya mereka mencari ikan tidak hanya dengan cara memancing, namun juga menggunakan sebuah tradisi yang bernama kalawai. Kalawai adalah cara menangkap ikan dengan menggunakan tombak khusus yang umumnya dilakukan pada malam hari. Selain nelayan, para penduduk Desa Sawai juga banyak yang berkebun di wilayah sekitar desa. Adapun hasil perkebunan mereka adalah palawija dan buah-buahan.

Berjalan tanpa terasa, kami akhirnya sampai di satu parit kecil yang menyita perhatian. Parit tersebut memang kecil, namun digunakan untuk banyak aktivitas seperti mencuci bahkan mandi. Lebih terkejutnya lagi, ternyata bagian pinggir parit yang berbatas langsung dengan perumahan warga ini telah dipercantik dengan ubin keramik sehingga sekilas kami sedang menyaksikan miniatur sungai di Venezia, Italia. Kami pun semakin menyusuri parit ini hingga menemukan sebuah kolam besar di tengah desa yang merupakan sumber air tawar dari bukit di batas belakang Desa Sawai. Banyak anak kecil yang bermain air di tempat ini, sedangkan ibu mereka mencuci baju dan berbagai perabot rumah tangga. Rupanya, sumber air bersih ini merupakan pusat kehidupan Desa Sawai yang sudah menghidupi desa ini sejak dahulu kala. Warga desa sangat menghormati keberadaan mata air ini dan mereka menggunakan sumber air ini secara bertanggung jawab dan bersama-sama.

Bicara mengenai tuanya Desa Sawai tidak lepas dari asal muasal terbentuknya desa untuk pertama kali. Memang tidak ada literatur resmi yang menyebutkan tahun pasti desa ini terbentuk, namun masyarakat setempat mengatakan bahwa Desa Sawai pertama kali dibangun oleh para pedagang Arab yang datang ke Pulau Seram jauh sebelum masa Spanyol, Portugis, bahkan Belanda datang ke Seram untuk memonopoli rempah-rempah. Oleh sebab itu, tidak heran bila budaya masyarakat Desa Sawai juga banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan Arab seperti musik gambus, baju gamis, bahkan banyak warga desa yang memiliki hidung mancung dan berwajah seperti orang Arab.

Desa Sawai dibangun oleh para pedagang Arab yang datang ke Pulau Seram, jauh sebelum Spanyol, Portugis, dan Belanda datang untuk memonopoli rempah-rempah.

Desa Sawai adalah desa yang sangat unik dan memiliki banyak sekali daya tarik. Jalan-jalan di Desa Sawai ini kami lanjutkan hingga ke alun-alun tengah Desa, di sana kami melihat satu masjid besar yang menjadi pusat ibadah seluruh warga desa. Keberadaan masjid ini menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Sawai beragama Islam dan hal ini semakin meyakinkan kami tentang kebenaran sejarah nenek moyang penduduk Sawai yang berasal dari Arab. Rumah-rumah di Desa Sawai pun tampak berbeda dari desa modern pada umumnya. Perpaduan arsitektur Mediterania dan Eropa tampak menonjol pada bangunan rumah-rumah penduduk Sawai. Namun, sayangnya keunikan ini kurang dijaga sehingga banyak bangunan yang sudah terlihat usang.

Terakhir, kami sampai di sebuah dermaga yang merupakan dermaga utama Desa Sawai. Biasanya, para nelayan berlabuh di dermaga ini dan menurunkan hasil tangkapannya di dermaga ini. Banyak anak-anak yang bermain di dermaga, mereka sangat fasih melompat dengan berbagai gaya ke dalam air. Mulai dari anak umur 5 tahun hingga para pemuda yang sudah berumur belasa tahun, semua memiliki kemampuan atraksi melompat dari dermaga ke dalam air. Wajah mereka tampak sangat bahagia dan terlihat menikmati hidup mereka. Desa Sawai tidak hanya desa tua yang unik, namun juga tampak sangat bahagia dengan apa adanya kondisi penduduknya. [Phosphone/IndonesiaKaya]

Informasi Selengkapnya
  • Elsa Dwi Lestari

  • Indonesia Kaya

This will close in 10 seconds