2 jam sudah kami berlayar dari ibukota Raja Ampat, Waisai. Perjalanan sama sekali tak melelahkan, mengingat begitu indahnya pemandangan yang menemani perjalanan kami. Pulau-pulau indah, air yang jernih, hingga rombongan lumba-lumba mengiringi perjalanan kami menuju sebuah mahakarya Tuhan di muka bumi.
Akhirnya kami mulai memasuki Piaynemo, gugusan pulau karang yang berkelompok di tengah lautan lepas Raja Ampat. Oleh wisatawan, tempat ini sering disebut juga Painemo, namun yang paling tepat adalah Piaynemo. Piaynemo adalah bahasa masyarakat biak yang berarti ujung tombak yang ditusukkan (Piay: Ujung Tombak dan Nemo: ditusukkan). Hal ini menjadi keyakinan masyarakat setempat bahwa keindahan wilayah Piaynemo dan tajamnya pulau karang disana layaknya ujung tombak yang ditusukkan.
Pertama memasuki area Piaynemo yang harus dilakukan adalah melapor ke sebuah pos dermaga yang menjadi tempat tinggal beberapa penduduk lokal penjaga Piaynemo. Mereka dipekerjakan oleh pemerintah daerah untuk menjaga kelestarian dan keindahan Piaynemo. Memang tidak ada kewajiban membayar ketika kami memasuki wilayah Piaynemo, namun dengan kesadaran pribadi kami memutuskan untuk memberikan sedikit sumbangan pada kotak yang disediakan di pos. Hal ini kami lakukan untuk mendukung kelestarian dan perawatan wilayah yang indah ini.
Setelah kami melapor pada penjaga dan mengisi buku tamu yang disediakan, kami memulai petualangan kami di Piaynemo. Tujuan pertama kami adalah bukit bintang. Awalnya kami tidak tahu mengapa pulau kecil di tengah gugusan pulau Piaynemo ini dinamakan bukit bintang. Namun, setelah kami mendaki bukit karang tajam setinggi 10 meter dan mencapai puncaknya, barulah kami tahu alasan bukit tersebut dinamai bukit bintang. Di hadapan kami terlihat sebuah rangkaian pulau-pulau karang yang membentuk perairan di bawah bukit menjadi serupa dengan bintang. Inilah awal mula bukit ini dinamai bukit bintang. Keindahan tidak hanya berhenti sampai disitu, rangkaian pulau karang lainnya begitu mempesona dan membuat kami lupa rasa lelah ketika mendaki bukit karang ini. Luka-luka kecil di tangan dan kaki akibat tergores karang pun tidak kami hiraukan lagi.
15 menit kami berada di ketinggian bukit bintang tidak akan pernah terlupakan. Selanjutnya kami berfoto dan memutuskan untuk turun menuju kapal yang sudah menunggu di kaki bukit. Jalur turun kami terasa lebih ringan, karena kami sudah mulai beradaptasi dengan medan berbatu karang tajam. Kami pun akhirnya sampai di kapal.
Tujuan kami berikutnya adalah balkon di atas bukit yang lebih tinggi lagi. Tidak jauh dari bukit bintang, kami akhirnya sampai di sebuah dermaga yang tampak masih baru dibangun. Ternyata benar dugaan kami, menurut Pak John yang menjadi boat driver kami, lokasi ini baru saja selesai dibangun. Dermaga ini adalah titik awal tangga yang tersusun hingga balkon di puncak bukit. Kami mulai menapaki tangga itu satu demi satu, hingga seluruhnya kurang lebih 150 anak tangga kami lalui.
Sesampainya di balkon yang kami tuju, tepatnya di puncak bukit yang lebih tinggi dari bukit bintang, sejenak kami terdiam. Panorama yang lebih dahsyat dari bukit bintang menjadi menu utama bagi penglihatan kami saat itu. Hampir seluruh wilayah Piaynemo dapat kami nikmati secara mata telanjang. Air laut yang berlapis biru, hijau, hingga biru muda terlihat sangat jelas. Pulau-pulau karang yang tersebar indah dan berwarna hijau memanjakan pandangan kami. Bahkan, kami dapat melihat dengan jelas daratan berpasir yang terendam air pasang. Ini luar biasa dan sudah selayaknya kami bersyukur pada Tuhan atas pemandangan menakjubkan ini.
Rasanya tidak ingin beranjak dari balkon istimewa ini. Bukan karena balkon yang memang dibuat nyaman, namun karena rasa kagum kami yang tak henti-hentinya kami rasakan. Akhirnya, karena waktu yang terbatas dan masih banyaknya tujuan lain yang harus kami datangi, kami pun beranjak kembali ke kapal. Tiap anak tangga kami turuni dengan perasaan yang masih takjub. Indahnya pemandangan itu tidak dapat kami lupakan, mungkin di sepanjang hidup kami. Inilah Piaynemo, Si Ujung Tombak yang ditusukkan.
Baca juga: Menjelajahi Surga Tersembunyi di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo
[@phosphone/IndonesiaKaya]