Pada tahun 1511 saat Malaka jatuh ke tangan Portugis, menyebabkan pedagang muslim yang berasal dari daerah Arab, Persia, dan Gujarat enggan untuk berlabuh dan singgah di sana.
Hal ini menyebabkan daerah Banten yang terletak di ujung barat bagian Jawa menjadi pilihan. Para pedagang mengalihkan pelayaran melewati Banten yang dinilai memiliki nilai ekonomis dan geografis yang bagus. Terlebih lagi para pedagang tidak menyukai Portugis yang saat itu sudah menguasai wilayah Malaka. Maka lahirlah sebuah pelabuhan yang besar dengan nama Pelabuhan karangantu.
Pelabuhan Karangantu merupakan pelabuhan terbesar kedua setelah Pelabuhan Sunda Kelapa di Jayakarta ungkap Tom Pires, seorang pedagang yang juga ahli obat-obatan dari Portugal. Hal ini tercatat dalam buku “Mengenal Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kota Banten Lama” oleh Uka Tjandrasasmita, Hasan M Ambary, dan Hawany Michrob.
Berkunjung ke Cagar Budaya Vihara Avalokitesvara yang Tertua di Banten
Pada abad 16, pelabuhan ini menjadi tempat persinggahan para pedagang sebelum melanjutkan perjalanan ke benua Australia. Bahkan, Belanda saat pertama kali masuk ke Pulau Jawa pada tahun 1596 memakai jasa pelabuhan ini untuk berlabuh.
Masih dari buku yang sama, disebutkan Gubernur Belanda Jan Piterzoon Coen pernah membuat catatan soal perahu Tiongkok yang membawa barang senilai 300.000 real di Karangantu.
Pelabuhan Karangantu tidak hanya tercatat dalam buku, namun peninggalan barang berharga yang pernah diperjualbelikan dapat dilihat di Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama. Di banten juga bisa anda temukan wihara tertua di banten.
Nama Karangantu sendiri menurut mitos yang beredar di masyarakat lahir karena saat itu ada seorang Belanda yang membawa guci berisikan hantu. Hingga suatu hari guci itu pecah dan hantu yang di dalamnya keluar. Mulai saat itulah pelabuhan yang telah berganti menjadi kampung nelayan ini diberi nama Pelabuhan Karangantu.
[Riky/IndonesiaKaya]