Di tepi Jalan Raya Cigugur tepatnya di Kampung Wage, Kelurahan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat terdapat sebuah bangunan cagar budaya yang sudah berdiri sejak 1840. Masyarakat sekitar mengenalnya dengan nama Paseban Tri Panca Tunggal.
Bangunan cagar budaya ini memiliki atap bertingkat disertai tonggak besi berkelopak bunga dibagian ujungnya. Paseban Tri Panca Tunggal telah lama menjadi bagian dari upacara adat Seren Taun, yaitu upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Sunda sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang berlimpah.
Paseban Tri Panca Tunggal didirikan oleh Pangeran Sadewa Madrais atau yang lebih dikenal dengan Kyai Madrais. Beliau adalah pewaris tahta Kerajaan Gebang di Cirebon yang telah dibumi hanguskan oleh pasukan VOC. Saat terjadi pembumihangusan Kyai Madrais masih balita. Kemudian setelah dewasa, beliau mendirikan padepokan yang hingga kini masih berdiri.
Bangunan Paseban Tri Panca Tunggal memiliki bentuk yang membujur dari timur ke barat. Ini menggambarkan perjalanan hidup manusia bahwa ada awal mula kedatangan dan ada akhir untuk kembali. Semua bagian Paseban Tri Panca Tunggal tidak lepas dari makna filosofisnya masing-masing, begitu juga dengan nama Paseban Tri Panca Tunggal.
Secara etimologi, nama Paseban Tri Panca Tunggal berasal dari kata Paseban yang berarti tempat bertemu atau berkumpul. Tri berasal dari bahasa Sangsekerta yang dapat dimaknai sebagai rasa, budi, dan pikir. Sedangkan Panca adalah panca indra, dan tunggal adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Maka bila diartikan secara harfiah, Paseban Tri Panca Tunggal adalah tempat untuk mempersatukan tiga kehendak yaitu Cipta, Rasa, dan Karsa yang diwujudkan dalam sikap perilaku. Lalu diterjemahkan melalui panca indera ketika mendengar, melihat, berbicara, bersikap, bertindak, dan melangkah, untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Tunggal.
Di dalam Paseban Tri Panca Tunggal terdapat pendopo yang ditopang oleh 11 pilar disekelilingnya. Pada bagian tengah terdapat lambang burung Garuda mengepakan sayap, berdiri di atas lingkaran bertuliskan huruf Sunda “Purna Wisada”. Burung Garuda ini disangga oleh sepasang naga bermahkota, yang ekornya saling mengait. Di tengah lingkaran terdapat simbol yang merupakan lambang Tri Panca Tunggal.
Selain itu, di dalam Paseban Tri Panca Tunggal juga terdapat beberapa ruangan lain, seperti ruang Jinem, Pasengetan, Pagelaran, Sri Manganti, Mega Mendung (ruang kerja Pangeran Djatikusumah), dan Dapur Ageng.
Khusus Ruang Sri Manganti, ruangan yang terletak di ujung bagian dalam ini berfungsi sebagai tempat pertemuan dan persiapan upacara Seren Taun yang diadakan setiap tahun.
Selain berfungsi sebagai salah satu tujuan wisata sejarah di Kuningan, Paseban Tri Panca Tunggal juga kerap digunakan sebagai padepokan. Di padepokan inilah masyarakat sekitar diperkenalkan berbagai seni dan budaya Kuningan, agar kebudayaan tetap terjaga dan lestari.
Hal ini dapat dilihat dari batik-batik hasil karya masyarakat yang terpajang di salah satu sudut ruangan. Tidak hanya itu, Paseban juga kerap digunakan sebagai sanggar tari dan tempat tinggal sultan beserta keluarganya.