Pasar Triwindu sudah berdiri selama lebih dari tujuh dasawarsa. Dibangun pada tahun 1939, Pasar Triwindu telah berganti wajah beberapa kali. Dahulu, pasar ini dibangun bertepatan dengan 24 tahun Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara VII bertahta. Namanya, Triwindu yang berarti delapan tahun rangkap tiga, juga dipilih untuk memperingati hari bersejarah tersebut.
Pertama kali dibangun, pasar ini hanyalah lahan kecil dengan meja-meja penjaja sederhana. Para pedagang menjual kue-kue tradisional, pakaian, majalah ataupun koran. Seiring dengan waktu, banyak para penjaja yang membangun kios sendiri, dan pasar sederhana yang tadinya menjual kebutuhan sehari-hari pun berubah menjadi tempat jual beli barang antik.
Peran pasar barang antik yang dirasa bukan sebagai konsumsi utama masyarakat ini ada pada masa penjajahan Jepang. Saat itu, karena keadaan ekonomi yang sulit, banyak bangsawan yang menjual benda-benda antik dan koleksi seni mereka disini untuk menghidupi diri, sehingga Pasar Triwindu menjadi salah satu pasar terpenting di Solo pada masa itu.
Bagi banyak pedagang disana, Pasar Triwindu sudah seperti rumah sendiri. Jarang ada pedagang yang datang dan pergi. Kebanyakan dari tempat berjualan di Pasar Triwindu akan diwariskan sang pedagang ke anak dan cucunya, yang kemudian mengambil alih bisnis barang antik keluarga.
Pada Juli 2008 lalu, pasar ini dipugar mengikuti arsitektur di sekitar Solo. Lahan berjualan yang tadinya hanya satu lantai sekarang dibangun bertingkat dua oleh pemerintah Solo, sehingga para pedagang yang tadinya berhimpit-himpitan mendapatkan tempat yang lebih luas dan nyaman untuk berjualan. Mengikuti peremajaan tersebut, nama pasar ini sempat berubah menjadi Pasar Windujenar, walaupun akhirnya, di tahun 2011 pasar kecil ini kembali ke nama sarat makna yang diberikan pada saat lahirnya- Triwindu.
Baca juga: Pasar Ceplak, Pusatnya Jajanan dan Kuliner Warga Garut