Orang-Orang Bloomington: Buku Antologi Cerpen Surealis Karya Budi Darma - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

orang-orang bloomington

Orang-Orang Bloomington: Buku Antologi Cerpen Surealis Karya Budi Darma

Antologi cerpen yang menguak sisi gelap perilaku manusia melalui kisah-kisah surealis dan penokohan absurd.

Kesenian

Janganlah mengurusi kepentingan orang lain dan janganlah mempunyai keinginan tahu tentang orang lain. Hanya dengan jalan demikian, kita dapat tenang.”

Sepintas, gaya berkisah Budi Darma dalam novel Orang-Orang Bloomington (1980) tampak sederhana. Alur ceritanya mengalir tanpa riasan prosa yang berlebihan. Namun, seiring perjalanan, unsur-unsur absurd mulai bermunculan (Bloomington sendiri adalah sebuah kota kecil di wilayah Indianapolis, Amerika, tempat Budi Darma pernah menekuni studi program S2 dan S3 di Indianna University).

Ada seorang kakek misterius yang membidik-bidikkan senapan dari kamar loteng (Laki-Laki Tua Tanpa Nama). 

Ada pemuda buruk rupa penyakitan yang jago menulis puisi (Joshua Karabis).

Ada lelaki yang memasang mesin-mesin Coca-Cola di sekitar apartemen tempat ia tinggalsupaya anak kecil yang ia benci terluka karena pecahan beling botol (Keluarga M).

Ada anak cacat yang berperilaku seperti binatang buas (Orez). 

Ada surat kaleng yang ditujukan ke seorang penyakitan (Ny. Elberhart).

Dan ada pria yang kemudian diperbudak oleh seorang tua, yang baru ia tahu kemudian adalah ayahnya (Charles Lebourne). 

Tabiat orang-orang Bloomington tampak sangat aneh, dingin, acuh tak acuh, kesepian, kejam, obsesif, dan voyeuristic (rasa yang berhubungan dengan kenikmatan seksual yang berasal dari melihat orang lain telanjang atau berhubungan intim). Keunikan perilaku mereka tentu menjadi bahan menarik untuk diangkat dalam sebuah karya tulis.

Tabiat orang-orang Bloomington tampak sangat aneh, dingin, acuh tak acuh, kesepian, kejam, obsesif, dan voyeuristic.

Orang-Orang Posesif

Kebiasaan voyeuristic pada umumnya bersifat seksual. Namun, kata tersebut juga bisa mengacu pada rasa ingin tahu berlebihan (atau dalam istilah kekinian, “kepo”)—sifat yang bisa disimpulkan sebagai benang merah dalam novel Orang-Orang Bloomington.

Setiap kisah dalam novel Orang-Orang Bloomington berlatar belakang akhir tahun 1970-an dan secara konsisten menggunakan sudut pandang orang pertama. Dalam enam cerpen, narator tidak disebutkan namanya dan hanya dirujuk sebagai “saya”. Cerita dimulai dengan “Laki-Laki Tua Tanpa Nama”, yang mengisahkan tentang “saya” (seorang pemuda yang kuliah di Bloomington) yang baru pindah ke sebuah kamar loteng di rumah Nyonya McMillan.

Meski tak pernah mengakuinya, pemuda itu jelas dilanda kesepian. Apalagi, sang induk semang bukanlah orang yang suka berinteraksi. Oleh karena itu, melalui jendela kamar lotengnya, ia kerap mengamati perilaku para tetangga. Dua tetangga yang menarik perhatiannya adalah Ny. Nolan, yang gemar membunuh hewan-hewan di pekarangannya dengan batu, termasuk burung-burung di pohon, dan Ny. Casper, yang ia penasaran mengidap penyakit apa karena terlihat lemah. Namun, ada sosok lain yang kemudian lebih menarik perhatiannya, yaitu orang tua yang menyewa kamar loteng Ny. Casper. Terutama karena orang tua itu suka mengarahkan senapan ke objek-objek di jalan dari jendela loteng. Pengaduannya kepada ketiga nyonya tak dihiraukan dengan alasan, selama tidak merugikan, janganlah mencampuri urusan orang lain.

Selama tidak merugikan, janganlah mencampuri urusan orang lain.

Namun, kepo berlebihan itulah yang senantiasa mengusik pikiran kebanyakan tokoh-tokoh utama Orang-Orang Bloomington. Tokoh “saya” dalam cerita “Joshua Karabis” pada awalnya tidak memiliki perilaku tersebut. Ia bersikap cuek dan menerima sosok Joshua Karabis apa adanya, meskipun fisiknya tidak menarik (“kepalanya yang benjol, matanya yang selalu tampak memelesat dari sarangnya, dan mulutnya yang seolah-olah tidak dapat dikatupkan”), dan bahkan menyetujui permintaannya untuk menjadi teman seapartemen. 

Mulanya, ia mungkin mengagumi Joshua Karabis atas bakatnya sebagai penulis puisi. Namun, lama-kelamaan, ia merasa terganggu dengan kehadiran Joshua, terutama setelah mengetahui bahwa Joshua mengidap suatu penyakit. Ketakutan tertular penyakit pun membuatnya menjadi paranoid. Saat mengetahui Joshua meninggal di rumah ibunya, ia segera berkonsultasi dengan beberapa dokter. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa ia dalam kondisi sehat.

Dalam “Keluarga M”, sang penulis semakin mempertegas elemen paranoid melalui penggambaran tokoh yang sangat tidak simpatik, bahkan cenderung psikopat. Tokoh “saya”, seorang penghuni apartemen, mencurigai dua anak kecil kakak-beradik sebagai pelaku yang menggores mobilnya.

Ia lantas mengintai mereka dengan diam-diam. Meski sudah mengetahui bahwa mereka berasal dari keluarga sederhana yang tampak tidak mampu menyediakan mainan, pakaian, atau makanan yang layak (mereka sering tidak diberi makan jika pulang terlambat), “saya” sama sekali tidak merasa iba. Sebaliknya, dia ingin kedua anak kecil itu tertimpa musibah, seperti terluka oleh pecahan botol Coca-Cola (rencana yang sangat terstruktur), menggemboskan ban mobil mereka agar mereka dan orang tuanya mengalami kecelakaan, dan bahkan, pada satu kesempatan, dia melemparkan batu ke anak yang terkecil. Baru ketika keluarga M benar-benar mengalami musibah, dia merasakan secercah penyesalan.

Dalam cerpen “Orez”, kembali diceritakan sosok anak kecil yang cacat. Anak itu terlahir dengan “kepala besar, benjol-benjol. Tangan dan kakinya juga terlalu besar, tapi tubuhnya terlalu kecil. Dan, setiap kali dia menangis, seluruh kota serasa mengalami gempa bumi hebat”. Sebagai seorang ayah, tokoh “saya” sebenarnya sudah diperingatkan sejak awal oleh calon mertuanya bahwa secara genetik ada yang tidak beres dalam keturunan keluarganya. Keluarga mereka selalu melahirkan anak yang cacat, tetapi dia tidak gentar. Bahkan ketika sang istri sedang hamil, sang calon mertua memintanya untuk menggugurkan kandungan dengan cara-cara absurd seperti “memperlakukan perutnya seperti bola sepak”, tetapi dia tidak kuasa melakukannya. Hingga lahirlah Orez, yang tumbuh menjadi anak yang berperilaku seperti binatang buas.

Dalam kisah “Yorrick”, tokoh “saya” kembali terjebak dalam obsesi yang tidak sehat. Ia jatuh cinta pada seorang perempuan bernama Catherine yang tinggal di sebuah kamar loteng. Demi mendekatinya, ia menyewa kamar loteng di rumah seberang. Namun, setelah berkali-kali bertemu dan berinteraksi dengan Catherine di jalan, jelas terlihat bahwa perempuan itu tidak tertarik padanya. Ironisnya, Catherine justru terpikat oleh Yorrick, seorang pelari yang tinggal di kamar sebelah “saya”. Meskipun penampilannya terlihat seperti tengkorak—menurut perspektif “saya”—tampaknya Yorrick memiliki karisma yang membuatnya disukai semua orang. Hal ini membuatnya heran, karena dia tahu bahwa Yorrick jorok dan tidak pandai merawat kamarnya. Rasa benci “saya” terhadap Yorrick pun semakin menjadi-jadi, terutama setelah perempuan terbaru yang dia kagumi, Caroline, juga terpesona oleh Yorrick.

Konsisten Absurd

Hampir semua kisah dalam kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington (yang terbilang panjang) memiliki elemen-elemen absurditas yang konsisten. Hal ini terlihat dari penggambaran tokoh-tokoh yang penyakitan, memiliki cacat fisik, melakukan tindakan—atau memiliki niat aneh untuk—menggemboskan ban mobil, dan tinggal di apartemen atau kamar loteng. Keanehan juga ditunjukkan melalui perilaku mereka, seperti niat buruk untuk melukai anak kecil dan tidak segan untuk meludahi atau mengencingi barang milik orang yang mereka benci.

Tampaknya, keramahan dan kebaikan sulit ditemukan di antara orang-orang Bloomington. Pertanyaannya, apakah semua kejadian pahit itu benar-benar dialami sang penulis selama masa kuliahnya di Bloomington, atau memang lazim terjadi di sana? Kebaikan sebetulnya masih ada, tapi lebih banyak ditemui dalam tokoh-tokoh minor. Contohnya, tetangga-tetangga yang tidak pernah mengolok-olok penampilan Orez dan penghuni apartemen yang selalu siap membantu Keluarga M saat mereka mengalami musibah.

Namun, justru absurditas itulah yang menjadi daya tarik utama Orang-Orang Bloomington. Absurditas ini sering kali terpicu oleh rasa ingin tahu yang berlebihan. Bisa jadi, Budi Darma memang terobsesi dengan sisi kelam manusia, sisi yang timbul akibat rasa keterasingan dengan dunia luar. Hal ini terutama terlihat pada karakter-karakter yang berdomisili di apartemen atau rumah loteng, tempat tinggal yang memungkinkan penghuninya untuk memata-matai perilaku orang lain.

Absurditas itulah yang menjadi daya tarik utama Orang-Orang Bloomington.

Novel ini pas untuk mereka yang voyeuristic. Dan bagi seorang penulis. 

Sastra Surealis

Sebagai penulis, Budi Darma dikenal dengan ciri khas karyanya yang mengangkat tema absurd dan surealis, dengan novel Orang-Orang Bloomington sebagai salah satu contoh terbaiknya. Bersama Putu Wijaya dan Iwan Simatupang, ia menjadi pelopor sastra surealis yang berkembang pesat pada era 1970-an hingga 1980-an. Lahir di Rembang, Jawa Tengah, Budi Darma juga diakui atas karya-karya sastra lainnya seperti novel Olenka (1983), Rafilus (1988), Nyonya Talis (2006), dan kumpulan cerpen Kritikus Adinan (2002).

Diterbitkan oleh Sinar Harapan pada 1980, antologi cerpen Orang-Orang Bloomington menerima sambutan hangat dari para pecinta sastra. Namun, secara komersial, antologi cerpen ini tidak terlalu sukses di kalangan pembaca, meskipun pernah mendapatkan penghargaan Southeast Asian Writers Award dari pemerintah Thailand pada 1984.

Novel Orang-Orang Bloomington mendapatkan kesempatan kedua untuk diterbitkan oleh Metafor Intermedia Indonesia pada 2004. Kemudian, Noura Books mengambil alih hak ciptanya dan menerbitkannya kembali pada 2016. Hingga tahun 2024, buku ini telah dicetak ulang sebanyak empat kali. Pada 2022, versi bahasa Inggrisnya, “People from Bloomington”, diterbitkan oleh penerbit internasional ternama Penguin Classics.

Tak diragukan lagi, Orang-Orang Bloomington merupakan sebuah karya tulis yang unik dan absurd. Seiring perjalanan waktu, karya ini “kembali ditemukan” dan digemari oleh para pecinta sastra generasi baru. Salah satu pengagumnya adalah Leila S. Chudori, yang memuji cerita-cerita Budi Darma dalam kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington sebagai karya klasik yang abadi. Cerita-ceritanya menjadi bukti bahwa cerita pendek dapat menghadirkan dunia yang menggairahkan dan meledakkan emosi dalam waktu singkat. Kini, pada kemunculannya kembali, Joshua Karabish, Oez, Yorrick, Ny. Elberhart, dan para karakter Orang-Orang Bloomington lainnya, siap untuk menjadi bagian dari kosakata sastra masa kini.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya