Masyarakat adat Lampung Pepadun adalah salah satu dari dua kelompok adat besar dalam masyarakat Lampung. Masyarakat ini mendiami daerah pedalaman atau daerah dataran tinggi Lampung. Berdasarkan sejarah perkembangannya, masyarakat Pepadun awalnya berkembang di daerah Abung, Way Kanan, dan Way Seputih (Pubian). Kelompok adat ini memiliki kekhasan dalam hal tatanan masyarakat dan tradisi yang berlangsung dalam masyarakat secara turun-temurun.
Masyarakat Pepadun menganut sistem kekerabatan patrilineal yang mengikuti garis keturunan bapak. Dalam suatu keluarga, kedudukan adat tertinggi berada pada anak laki-laki tertua dari keturunan tertua, yang disebut “Penyimbang”. Gelar Penyimbang ini sangat dihormati dalam adat Pepadun karena menjadi penentu dalam proses pengambilan keputusan. Status kepemimpinan adat ini akan diturunkan kepada anak laki-laki tertua dari Penyimbang, dan seperti itu seterusnya.
Berbeda dengan suku Lampung pesisir Saibatin yang memiliki budaya kebangsawanan yang kuat, Pepadun cenderung berkembang lebih egaliter dan demokratis. Status sosial dalam masyarakat Pepadun tidak semata-mata ditentukan oleh garis keturunan. Setiap orang memiliki peluang untuk memiliki status sosial tertentu, selama orang tersebut dapat menyelenggarakan upacara adat Cakak Pepadun. Gelar atau status sosial yang dapat diperoleh melalui Cakak Pepadun di antaranya gelar Suttan, Raja, Pangeran, dan Dalom.
Nama “Pepadun” berasal dari perangkat adat yang digunakan dalam prosesi Cakak Pepadun. “Pepadun” adalah bangku atau singgasana kayu yang merupakan simbol status sosial tertentu dalam keluarga. Prosesi pemberian gelar adat “Juluk Adok” dilakukan di atas singgasana ini. Dalam upacara tersebut, anggota masyarakat yang ingin menaikkan statusnya harus membayarkan sejumlah uang “Dau” dan memotong sejumlah kerbau. Prosesi Cakak Pepadun ini diselenggarakan di Rumah Sessat dan dipimpin oleh seorang Penyimbang atau pimpinan adat yang posisinya paling tinggi.