Bagi masyarakat Dayak, Panglima Tumbang Anoi adalah sosok teladan yang memiliki semangat tinggi untuk mempersatukan suku-suku Dayak yang telah lama bertikai. Sekitar tahun 1894, suku-suku Dayak di Kalimantan mengalami perpecahan dan saling menyerang, mengakibatkan penderitaan yang mendalam bagi masyarakat. Untuk mengakhiri konflik berkepanjangan ini, para tetua adat dari berbagai suku Dayak kemudian bersatu dan merumuskan sebuah ikrar damai yang dikenal sebagai Perjanjian Tumbang Anoi.
Peristiwa Perjanjian Tumbang Anoi tersebut kemudian menginspirasi lahirnya sebuah tari kreasi yang bernama tari pangkalima tumbang anoi. “Ela buli manggetu hinting bunu panjang, isen mulang manetes rantai kamara ambu”. Secara singkat, tari kreasi pangkalima tumbang anoi ingin menyampaikan pesan perdamaian dan persatuan sehingga masyarakat terus maju dan sejahtera dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tari pangkalima tumbang anoi menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya perdamaian dan persatuan.
Sebagai tari kreasi, gerak tari pangkalima tumbang anoi tidak terlepas dari pengaruh beberapa gerak tari tradisional Kalimantan, seperti tari kanjan dan tari kinyah. Gerak-gerak dari kedua tari tersebut dipadukan dengan gerak melompat dan berputar yang disesuaikan sehingga tidak melenceng dari pesan yang ingin disampaikan.
Meski bernama tari pangkalima tumbang anoi, bukan berarti tari kreasi ini hanya dipentaskan oleh pria. Dalam garapan tari kreasi ini, wanita penari juga turut andil menari layaknya seorang perajurit perang.
Tari Panglima Tumbang Anoi dibawakan oleh 6 hingga 10 penari, baik pria maupun wanita. Para penari mengenakan pakaian adat Kalimantan Tengah yang telah mengalami modifikasi pada beberapa bagian. Pakaian pria disebut ewah sampuluh dale, sementara wanita mengenakan sinjang entang yang dilengkapi berbagai aksesori seperti gelang dan anting.
Dalam budaya Dayak, burung tingang melambangkan kesucian dan kekuatan spiritual.
Sebagai properti, para penari menggunakan mandau, talawang, serta mahkota burung tingang yang dihiasi bulu burung haruei. Dalam budaya Dayak, burung tingang dianggap sebagai simbol kesucian dan kekuatan spiritual. Berbagai properti ini, dipadukan dengan tata rias khusus, bertujuan untuk menonjolkan karakter tegas Panglima Tumbang Anoi sekaligus menciptakan tampilan estetika yang memukau.
Selain kaya akan nilai estetika, tari pangkalima tumbang anoi juga sarat makna moral. Tarian ini mengandung pesan perdamaian dan persatuan, menggambarkan ketangguhan prajurit Dayak. Dalam konteks kekinian, Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang gagah berani dan berwibawa untuk mempersatukan bangsa.