Habis Gelap, Terbitlah Terang, Kumpulan Surat R.A. Kartini - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

habis gelap terbitlah terang

Habis Gelap, Terbitlah Terang, Kumpulan Surat R.A. Kartini

Kegiatan surat-menyurat Kartini yang menyingkap angannya akan kesetaraan pendidikan bagi perempuan.

Kesenian

Perayaan Hari Kartini tidak ada urusannya dengan Raden Ajeng Kartini atau cita-cita yang tertuang dalam surat-suratnya. Aku mulai bertanya-tanya, apakah sebetulnya mereka yang merayakan Hari Kartini ini sudah membaca surat-suratnya dan memahami problem pendidikan yang dikemukakan perempuan Jawa itu, yang pemikirannya sudah maju pada zamannya.

Pernyataan yang dicetuskan oleh salah satu karakter dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori itu, meski sekilas, cukup mengusik. Apakah kita, sebagai ‘manusia modern’, benar-benar memahami dan menghayati makna Hari Kartini setiap tanggal 21 April?

Hari Kartini sering kali hanya dianggap sebagai peringatan tahunan. Padahal, pemikiran-pemikiran progresif Kartini (21 April 1879 – 17 September 1904) yang tertuang dalam buku Habis Gelap, Terbitlah Terang, masih relevan hingga kini.

Pemikiran progresif Kartini cukup mengejutkan, mengingat ia tumbuh pada akhir abad 19 dalam keluarga Jawa ningrat. Meski termasuk kaum terpelajar (ayahnya adalah Bupati Jepara) dan mendapatkan akses pengetahuan melalui buku, keluarga Kartini tetap mematuhi tradisi, seperti tradisi pingit, di mana anak perempuan tidak boleh keluar rumah sampai siap menikah dengan pasangan yang dipilih orang tua.

Di dunia Jawa, cinta merupakan khayalan. Bagaimana seorang laki-laki dan seorang wanita dapat saling mencintai, kalau pertemuan pertama kalinya terjadi setelah mereka saling terikat oleh pernikahan secara sungguh-sungguh? Dan apakah kamu membayangkan siksaan yang harus diderita seorang wanita, jika suaminya pulang bersama wanita lain? Suami dapat menyiksanya sampai mati, menyakitinya semaunya. Kalau suaminya tidak mau menceraikannya, sampai mati pun wanita itu tidak akan memperoleh hak!”

Di dunia Jawa, cinta merupakan khayalan.

Dalam suratnya yang ditulis pada tanggal 6 November 1899 kepada Nona E.H. Zeehandelaar, seorang aktivis sosial berkebangsaan Belanda sekaligus sahabat penanya yang beragama Yahudi, Kartini dengan jujur mengungkapkan tuntutan masa depan bagi perempuan tanah Bumiputera dalam sistem patriarki. Kekecewaannya terhadap sistem tersebut bahkan sempat membuatnya melontarkan pernyataan pahit, “Saya teramat benci pernikahan. Pekerjaan yang serendah-rendahnya akan saya kerjakan dengan rasa syukur dan rasa cinta, asal saya bebas dari keharusan menikah.

Gadis Modern

Meski begitu, tidak semua korespondensinya sarat dengan ratapan. Kartini menyadari bahwa ia berasal dari keluarga yang cukup beruntung, dibandingkan dengan kebanyakan masyarakat pada zamannya. Keluarganya relatif harmonis dan mendukung pendidikan perempuan. Namun, ia juga sadar bahwa pada akhirnya, tradisi akan membatasi kebebasannya. “Semua orang tahu dan mengerti bahwa suatu ketika kami harus juga kembali ke masyarakat, di mana kami tidak akan merasa berbahagia lagi.”

Tidak dapat dimungkiri, Raden Ajeng Kartini merupakan sosok modern yang lahir dari era kolonialisme Hindia Belanda. Ia melihat modernisasi sebagai salah satu cara untuk memajukan peradaban, terutama melalui peningkatan akses pendidikan bagi perempuan. Namun, hingga kini, masih menjadi perdebatan apakah perjuangan Kartini semata-mata untuk perempuan Jawa atau untuk seluruh perempuan Indonesia.

Bisa dimaklumi jika pada saat itu, dalam pikirannya, hanya terbayang sosok perempuan Jawa. Karena, hanya di situlah ruang lingkup kehidupan dan kematian Kartini terbentang. Namun, dalam salah satu surat yang ia tulis di Jepara pada 29 Mei 1899 kepada Nona Zeehandelaar, Kartini memberikan sedikit pencerahan mengenai sikap keberpihakannya

Saya ingin sekali berkenalan dengan seorang ‘gadis modern’, yang berani, yang dapat berdiri sendiri, yang menempuh jalan hidupnya dengan langkah cepat, tegap, riang dan gembira, penuh semangat, dan keasyikan. Gadis yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan kebahagiaan dirinya sendiri, tetapi berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan sesama. Hati saya menyala-nyala karena semangat yang menggelora akan zaman baru.

Tentu dapat diinterpretasikan bahwa Kartini berangan-angan menjadi ‘gadis modern’ tersebut; seorang gadis yang tidak hanya dibatasi oleh urusan perjodohan, melainkan juga memiliki kesempatan untuk berkarier. Modernitas yang dimaksud Kartini jelas terinspirasi oleh budaya barat, meskipun ia tidak secara eksplisit menjelaskan siapa yang ia maksud dengan ‘masyarakat luas’. Akan tetapi, melalui analisis terhadap surat-suratnya, dapat disimpulkan bahwa fokus utama pemikirannya adalah pada kesejahteraan perempuan.

Melalui analisis terhadap surat-suratnya, dapat disimpulkan bahwa fokus utama pemikirannya adalah pada kesejahteraan perempuan.

Tujuan cita-cita ingin belajar di Eropa ialah: memberikan yang baik dari peradaban Belanda kepada bangsa kami, untuk memuliakan adat-istiadatnya. Jalan yang kami harapkan untuk mencapai tujuan itu ialah: mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan Jawa.”

Sayangnya, keinginan Kartini untuk menimba ilmu di Belanda tak kunjung terwujud. Sebagian besar surat-suratnya ditujukan kepada pasangan suami istri, J.H. Abendanon dan Rosa Abendanon. Mereka sudah saling mengenal sejak J.H. menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.

J.H. Abendanon, seorang pejabat pemerintah yang moderat dan mendukung politik etis, kemudian merangkum surat-surat Kartini dan menerbitkannya secara posthumously (setelah kematian) pada tahun 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht. Konon, ia merasa bersalah karena telah menentang keinginan Kartini untuk bersekolah di Belanda. Abendanon khawatir tindakan Kartini bisa memicu sentimen anti-kolonial di kalangan rakyat Indonesia.

Judul Door Duisternis tot Lich kemudian diubah menjadi Habis Gelap, Terbitlah Terang terbitan Balai Pustaka yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu pada 1922 oleh empat penulis yang melabelkan diri sebagai Empat Saudara, yaitu Bagindo Dahlan Abdullah, Zainuddin Rasad, Sutan Muhammad Zain, dan Djamaloedin Rasad. 

Pada tahun 1938, penulis Armijn Pane kemudian menerjemahkannya ke bahasa Indonesia dan mengatur runutan surat-surat Kartini, sehingga menjadi lebih kohesif, kronologis, dan lebih mencerminkan progresi alur kehidupan Kartini. Buku berjenis epistolary (atau berformat surat-menyurat) ini tampaknya sangat memengaruhi novel klasik karya Armijn Pane, Belenggu, yang meskipun ber-setting modern juga bercerita soal belenggu hukum tradisi yang menjerat tokoh perempuan utamanya. 

Pergolakan Emosi

Membaca buku Habis Gelap, Terbitlah Terang yang seluruhnya merupakan kumpulan surat-surat Kartini kepada sahabat penanya di Belanda memberikan pengalaman yang sangat personal. Setiap lembaran surat tidak hanya memuat pemikiran-pemikiran progresif Kartini, seperti feminisme dan emansipasi, tetapi juga mengungkapkan segala pergolakan emosi yang dialaminya. Mulai dari kesedihan, kebahagiaan, kemarahan, hingga angan dan harapan, semuanya tertuang dengan jujur. Terkadang, Kartini bahkan berbagi cerita hangat tentang kehidupan sehari-harinya, termasuk detail mengenai tradisi pernikahan Jawa seperti midodareni dan prosesi dandan pengantin.

Setiap lembaran surat tidak hanya memuat pemikiran-pemikiran progresif Kartini, seperti feminisme dan emansipasi, tetapi juga mengungkapkan segala pergolakan emosi yang dialaminya.

Kartini menyampaikan semua itu bak sastrawan veteran karena gaya penulisan yang mengalir dan menyerupai prosa. Mengenai pengalaman di kebun mawar setelah hujan, ia menulis, “Hujan, hujanlah yang perlu bagi jiwa. Supaya tumbuh dan berkembang. Sekarang kami tahu. Air mata kami yang sekarang menitik ini semata-mata supaya bibit itu bertunas, agar di kemudian hari berbuah menjadi kegembiraan hidup yang baru dan murni.”

Selama masa pingit, Kartini tekun membaca berbagai buku yang kemudian mengasah bakatnya dalam menulis. Bakat ini diwujudkan dalam sejumlah karya tulis, antara lain karangan Upacara Perkawinan pada Suku Koja yang dimuat di majalah Hollandsche Lelie, serta tulisan mengenai seni membatik yang disumbangkan untuk acara Pameran Karya Wanita.

Pada akhirnya, sesuai dengan kodrat perempuan pada zamannya, Kartini dinikahkan dengan pria pilihan orang tuanya. Meski demikian, dari surat-suratnya yang terakhir, tampak bahwa ia menemukan kebahagiaan dalam pernikahannya. Sayangnya, Kartini meninggal dunia pada usia 25 tahun, tahun 1904, setelah melahirkan anak pertamanya.

Entah apa yang akan kita saksikan jika Kartini tidak meninggal muda. Mungkin ia akan menjadi penulis ulung, mendirikan sekolah khusus perempuan yang selalu menjadi impiannya, atau bahkan menjadi seorang ibu rumah tangga yang penuh dedikasi. Semua kemungkinan itu sama baiknya, karena yang terpenting bagi Kartini adalah kebebasan perempuan untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Setelah kepergiannya, banyak sekolah khusus perempuan didirikan sebagai penghormatan atas perjuangannya.

Surat-surat Kartini sudah sering diteliti dan ditelaah oleh para pengamat literatur mancanegara, dengan yang paling mendalam oleh Agnes Louise Symmers melalui buku The Letters of R.A. Kartini: A Pioneer in the Emancipation of Indonesian Women. Di dunia seni peran, sosok Kartini juga diangkat dalam film tahun 2017 yang dibintangi Dian Sastrowardoyo.

Pada tahun 1964, Kartini dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soekarno. Suatu pencapaian mengesankan mengingat ia meraihnya hanya melalui buah pikiran progresif dan cara pandang visioner yang menginginkan kesetaraan peluang pendidikan bagi perempuan. Semua itu, kurang lebih, sudah tercapai. Tak hanya di Jawa, tapi di seluruh Indonesia. 

Itulah yang setidaknya patut kita ingat saat merayakan Hari Kartini setiap tanggal 21 April. Kalimatnya yang sederhana dalam sebuah surat, “Belumlah menjadi apa-apa, tapi sudah boleh menjadi apa-apa,” begitu merangkum semangat Kartini tentang potensi seorang perempuan untuk menjadi apa pun yang ia inginkan.

Belumlah menjadi apa-apa, tapi sudah boleh menjadi apa-apa

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya