Gua Lawah, Pura Penjaga Keseimbangan Alam dan Tradisi Bali - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Pura_Gua_Lawah_1200.jpg

Gua Lawah, Pura Penjaga Keseimbangan Alam dan Tradisi Bali

Dari riuh kelelawar hingga kaitannya dengan Besakih, Gua Lawah berdiri sebagai penyangga alam dan budaya Bali.

Pariwisata

Tepat menghadap laut di Kusamba, sisi selatan Klungkung, terdapat sebuah pura kuno bernama Gua Lawah yang telah berusia 10 abad. Seperti namanya, pura ini berwujud sebuah gua alam yang dikelilingi beberapa bangunan pelinggih. Statusnya sebagai satu dari sembilan pura penyangga mata angin atau Pura Kahyangan Padma Bhuwana menjadikan pura yang terletak di Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Klungkung, ini salah satu pura terpenting bagi masyarakat Bali. Pura Gua Lawah dalam kepercayaan Hindu Bali diposisikan sebagai pura penyangga arah tenggara (gneya) dari daratan Bali.

Menurut sejumlah sumber sejarah, termasuk lontar Usana Bali dan lontar Babad Pasek, Pura Gua Lawah diperkirakan didirikan pada abad ke-11 Masehi. Pura ini dibangun pada tahun 929 Saka atau 1007 Masehi atas prakarsa Mpu Kuturan, seorang tokoh spiritual yang juga menjadi penasihat Raja Anak Wungsu.

Pura Gua Lawah dalam kepercayaan Hindu Bali diposisikan sebagai pura penyangga arah tenggara (gneya) dari daratan Bali.

Catatan lain menyebutkan bahwa pada abad ke-14 Masehi, pura ini mengalami proses pemugaran dan perluasan kompleks. Selain nilai sejarahnya, masyarakat setempat juga meyakini bahwa lorong gua di pura ini terhubung langsung dengan mulut Gua Raja di Kompleks Pura Besakih, yang berjarak sekitar 30 kilometer. Namun, jalur tersebut diyakini runtuh akibat gempa besar yang terjadi pada tahun 1917.

Salah satu hal menarik dari Gua Lawah adalah keberadaan kawanan kelelawar yang memenuhi lorong gua. Kelelawar-kelelawar ini dilindungi oleh aturan adat setempat dan tidak boleh diburu atau ditangkap. Perlindungan ini membuat keberadaan koloni hewan nokturnal tersebut menjadi pemandangan khas yang dapat dinikmati para pengunjung, lengkap dengan suara riuh yang menjadi bagian dari pengalaman berkunjung ke situs ini.

Kelelawar memiliki kedudukan khusus dalam konteks spiritual dan budaya Gua Lawah.

Simbol kelelawar bahkan diabadikan dalam bentuk relief pada salah satu gerbang, atau Candi Gelung, yang memisahkan halaman tengah (jaba tengah) dengan halaman dalam (jeroan) pura. Keberadaan relief ini menegaskan bahwa kelelawar memiliki kedudukan khusus dalam konteks spiritual dan budaya Gua Lawah.

Gua Lawah memiliki kaitan yang sangat erat dengan Pura Besakih di lereng Gunung Agung, yang dikenal sebagai pura induk (mother temple) bagi seluruh umat Hindu Bali. Dalam lontar Prekempa Gunung Agung disebutkan bahwa Pura Gua Lawah merepresentasikan kepala dari Naga Basuki, sedangkan Pura Gua Raja di Kompleks Pura Besakih melambangkan ekornya. Dalam mitologi Hindu Bali, Naga Basuki merupakan salah satu dari tiga naga jelmaan dewa yang diturunkan untuk menjaga keseimbangan dunia. Ia menjadi simbol dari siklus alam: air menguap dari laut, turun sebagai hujan di gunung, lalu mengalir kembali ke laut—mewakili siklus harmonis antara laut dan daratan.

Gua Lawah memiliki kaitan yang sangat erat dengan Pura Besakih di lereng Gunung Agung, yang dikenal sebagai pura induk (mother temple) bagi seluruh umat Hindu Bali.

Konsep keseimbangan alam inilah yang menjadikan Gua Lawah sebagai pusat pemujaan terhadap Bhatara Tengahing Segara, manifestasi Tuhan sebagai pemelihara lautan. Selain itu, pura ini juga menjadi tempat pemujaan Dewa Maheswara, penguasa arah tenggara dalam kepercayaan Hindu Bali.

Hubungan antara Gua Lawah dan Pura Besakih tak hanya bersifat mitologis, tetapi juga tercermin dalam praktik keagamaan masyarakat. Dalam tradisi upacara ngaben, umat Hindu biasanya melakukan sembahyang terlebih dahulu di Gua Lawah. Setelah itu, mereka melanjutkan persembahyangan ke Pura Besakih sebagai bentuk rasa syukur atas kelancaran prosesi tersebut.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya