“Ini adalah motif ikan, melambangkan kehidupan masyarakat Asei yang bergantung pada ikan untuk makanan sehari-hari…”
Kalimat di atas terucap dari mulut Pak John, seorang pelukis kulit kayu dari Kampung Asei, Asei Besar, Danau Sentani, Kabupaten Jayapura. Ia bercerita tentang motif lukisan yang sedang dikerjakannya. Sambil mengunyah buah pinang di mulutnya, Pak John terus melanjutkan kerajinan lukisan pada kulit kayu yang dibuatnya.
Lukisan kulit kayu adalah kerajinan asli Papua yang dihasilkan oleh masyarakat Kampung Asei. Lukisan ini merupakan sebuah tradisi yang diajarkan secara turun-temurun oleh leluhur masyarakat Asei dan tidak sembarang orang bisa melakukannya. Pada mulanya, lukisan dibuat sebagai simbol dan peringatan atas segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan kampung tersebut. Misalnya, lukisan ikan sebagai simbol bahan makanan utama, motif karang yang melambangkan tempat perlindungan bagi leluhur Asei, atau gambar tombak serta kail yang melambangkan mata pencaharian utama warga Asei sebagai nelayan.
Lukisan kulit kayu adalah kerajinan asli Papua yang dihasilkan oleh masyarakat Kampung Asei.
Tetapi, seiring perkembangan zaman yang semakin modern, tradisi ini bergeser menjadi kesenian dengan nilai yang cukup tinggi. Kini, hampir semua pria Asei mampu melukis pada kulit kayu. Motif-motifnya pun sudah semakin kaya dan banyak mengalami modifikasi layaknya tifa maupun burung cendrawasih. Meski begitu, warga Asei tetap menjaga kualitas, keaslian, dan nilai autentik dari lukisan yang menjadi ciri khas mereka ini.
Sambil asyik melukis, Pak John melanjutkan penjelasan mengenai lukisan kulit kayu. “Umumnya, kami melukis dengan warna-warna alami. Warna merah, kami ambil dari sari buah merah, hitam dari arang, dan putih dari kapur, sama seperti yang kami pakai untuk mengunyah pinang.” Warna, adalah salah satu keaslian yang dipertahankan oleh warga Asei dalam melukis kulit kayu. Namun, asal warna yang dipakai kini tidak terbatas pada bahan alami seperti masa lalu. Hitam mereka dapatkan dari cat penghitam rambut, merah didapat dari pewarna pakaian, dan putih tetap berasal dari kapur. Hal ini dilakukan demi meningkatkan produktivitas lukisan mereka yang sudah terkenal hingga ke mancanegara.
Lukisan asli masyarakat Asei selalu menggunakan batang tunas kelapa.
Keunikan lain yang terdapat pada lukisan kulit kayu ini adalah cara mereka melukis dengan memakai batang tunas kelapa yang masih muda. Alat alami ini mereka peroleh dari pohon-pohon kelapa yang tersebar di seluruh Pulau Asei. Menurut mereka, penggunaan batang tunas ini akan memengaruhi guratan lukisan yang mereka buat. Lukisan asli masyarakat Asei selalu menggunakan batang tunas kelapa.
Dari guratannya, mereka dapat membedakan lukisan kulit kayu tiruan dengan lukisan kulit kayu asli masyarakat Asei. Lukisan kulit kayu ini tentu saja menggunakan kulit kayu sebagai media utamanya. Kulit kayu yang dipakai, diambil dari pohon khombouw yang sering dijumpai di sekitar Pulau Asei. “Kami memakai kulit kayu dari bagian batang pohon yang tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis. Jadi, mudah untuk dilukis.” Pak John menjelaskan, setelah dikupas, kulit kayu akan dijemur dan dibiarkan kering. Setelah kering, kulit kayu sudah siap untuk dilukis.
Lukisan kulit kayu ini tentu saja menggunakan kulit kayu sebagai media utamanya.
Lukisan kulit kayu khas Asei kini sudah dikenal luas hingga ke mancanegara. Tidak jarang, Pak John dan warga Asei lainnya mendapat pesanan lukisan yang banyak, baik dari dalam maupun luar Indonesia. Harga lukisannya pun beragam, mulai dari Rp5.000 hingga Rp500.000, tergantung besarnya ukuran lukisan. Lukisan kulit kayu yang tadinya merupakan konsumsi pribadi warga Asei, kini sudah bisa dijadikan sumber pemasukan uang bagi mereka.
“Sekarang, masa depan lukisan kulit kayu ini ada pada generasi setelah kami. Mau melanjutkan atau berhenti sampai di sini? Hehehe,” celoteh tawa Pak John sembari terus mengguratkan lukisannya pada kulit kayu. [@phosphone/IndonesiaKaya]