Boen San Bio: Ibadah, Sejarah, dan Kerukunan di Tangerang - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Klenteng_Boen_San_Bio_1200.jpg

Boen San Bio: Ibadah, Sejarah, dan Kerukunan di Tangerang

Berusia ratusan tahun tapi masih elok, Kelenteng Boen San Bio jadi simbol kerukunan umat beragama di Tangerang.

Pariwisata

Kelenteng Boen San Bio, yang juga dikenal sebagai Wihara Nimmala, tampak mencolok dibanding bangunan lain di sekitarnya. Dominasi warna merah terlihat jelas, dengan sentuhan biru dan kuning pada bagian tembok dan genteng yang memperkuat nuansa khas arsitektur Tionghoa.

Di atap gerbang, terdapat patung burung phoenix (fenghuang atau hong) dan naga, simbol pelindung dan kemakmuran. Di sisi kiri halaman, berdiri rumah minyak yang menyimpan botol-botol minyak untuk keperluan sembahyang. Di bagian depan kelenteng, sepasang patung singa penjaga (cioksay) menyambut pengunjung—singa betina digambarkan sedang bermain dengan anaknya, sementara yang jantan memegang bola di bawah cakarnya.

Kelenteng ini dibangun oleh seorang pedagang asal Tiongkok bernama Lim Tau Koen pada tahun 1689, atau sekitar lima tahun setelah berdirinya Kelenteng Boen Tek Bio.

Memasuki koridor utama, pengunjung akan menemukan sebuah hiolo marmer, tempat meletakkan batang hio yang telah dibakar. Ruang-ruang peribadatan tersebar di berbagai sudut kelenteng, lengkap dengan meja altar dan patung-patung dewa yang menjadi pusat penghormatan umat.

Komposisi arsitektur Kelenteng Boen San Bio yang berada di Kota Tangerang, Banten, tampak megah dengan ornamen khas dan warna mencolok. Namun, kelenteng ini dulunya sangat sederhana. Bangunannya berdinding anyaman bambu, beratapkan daun rumbia, dan ditopang oleh tiang kayu. Kelenteng ini dibangun oleh seorang pedagang asal Tiongkok bernama Lim Tau Koen pada tahun 1689, atau sekitar lima tahun setelah berdirinya Kelenteng Boen Tek Bio.

Sejarah Komunitas Tionghoa di Balik Kelenteng Boen San Bio

Sejarah Kelenteng Boen San Bio tak bisa dipisahkan dari kehadiran komunitas Tionghoa di Tangerang. Mereka datang dalam beberapa gelombang migrasi jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Banten, dan banyak yang kemudian menetap serta menikah dengan penduduk setempat. Dari sinilah muncul sebutan unik bagi kelompok ini: Cina Benteng.

Menurut Eddy Prabowo, seorang sinolog dari Universitas Indonesia, istilah “Cina Benteng” muncul pada masa kekuasaan Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC). Setelah menaklukkan Batavia pada tahun 1619, VOC memperluas kekuasaannya ke wilayah sekitar Sungai Cisadane yang sebelumnya merupakan bagian dari Kerajaan Pajajaran. Di area tersebut, VOC membangun benteng sebagai pertahanan terhadap serangan luar. Karena merasa terbatasi oleh keberadaan benteng ini, sebagian masyarakat Tionghoa memilih menetap di luar area pertahanan, seperti di Sewan dan Kampung Melayu—dan dari sanalah istilah “Cina Benteng” berasal.

Sejarah Kelenteng Boen San Bio tak bisa dipisahkan dari kehadiran komunitas Tionghoa di Tangerang.

Keberadaan benteng tersebut membatasi ruang gerak komunitas Tionghoa. Akibatnya, mereka memilih menetap di luar area pertahanan, antara lain di daerah Sewan dan Kampung Melayu. “Dari sinilah muncul istilah ‘Cina Benteng’,” ujar Eddy Prabowo dalam Suara Pembaruan, 18 Agustus 2005.

Menurut Sudemi dalam Jejak Warisan Sejarah Agama Khonghucu Pada Masyarakat Cina Benteng, tesis di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2019, seiring kedatangan orang Tionghoa di Tangerang, masuk pula ajaran Kong Hu Cu. Mereka membangun tempat ibadah yang disebut bio sebagai tempat berlindung dan pengharapan kemajuan perdagangan mereka supaya menghasilkan berkah dan keuntungan. “Di Indonesia, bio lebih dikenal dengan nama kelenteng.”

Bio yang pertama kali dibangun oleh komunitas Tionghoa di wilayah ini memiliki bentuk yang sangat sederhana. Di tempat baru ini, mereka mendirikan permukiman dengan pola petak sembilan, menjadikan bangunan bio sebagai pusatnya. Menurut prinsip tata letak hong shui, kawasan seperti pasar, permukiman, dan tempat ibadah idealnya terletak di dekat aliran sungai dan terlindung oleh perbukitan.

Menurut prinsip tata letak hong shui, kawasan seperti pasar, permukiman, dan tempat ibadah idealnya terletak di dekat aliran sungai dan terlindung oleh perbukitan.

Kelenteng Boen Tek Bio menjadi yang pertama dibangun, sekitar abad ke-16, dengan gaya arsitektur Tiongkok klasik yang sarat pengaruh filosofi ajaran Kong Hu Cu. Menyusul kemudian Kelenteng Boen Hay Bio, Boen San Bio, dan Tjo Soe Kong—yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai Kelenteng Tanjung Kait.

Namun, seiring waktu dan interaksi yang intens dengan masyarakat lokal, sistem kepercayaan orang-orang Cina Benteng pun mengalami percampuran. Melly G. Tan dalam Etnis Tionghoa di Indonesia menyebut bahwa sebagian besar Tionghoa Peranakan tidak secara tegas membedakan ajaran Konfusianisme (Kong Hu Cu), Taoisme, dan Buddhisme. Hal ini juga terjadi pada masyarakat Cina Benteng di Tangerang, yang menjalani praktik keagamaan yang lebih sinkretis.

Ruang Toleransi di Tangerang

Sesama warga Cina Benteng pun bisa memiliki praktik keagamaan yang berbeda. Jemaat Kelenteng Boen San Bio, misalnya, memuja Dewa Bumi atau Kimsin Kongco Hok Tek Tjeng Sin—sosok laki-laki tua berambut panjang, berjenggot putih, dan dikenal dengan ekspresi wajah yang ramah. Sementara itu, jemaat Kelenteng Boen Tek Bio dan Boen Hay Bio lebih dikenal memuja Dewi Kwan Im dan Kong Co Kwang Kon.

Salah satu hal unik dari Kelenteng Boen San Bio adalah keberadaan petilasan Raden Surya Kencana yang terletak di bagian belakang kompleks, berdekatan dengan Ruang Dhammasaka, tempat ibadah umat Buddha. Di sisi kiri pintu masuk Ruang Dhammasaka juga terdapat patung kecil Dewi Kwan Im setinggi sekitar 3 cm.

Kelenteng ini membuka ruang bagi umat Islam untuk menziarahi petilasan Raden Surya Kencana.

Menariknya, kelenteng ini membuka ruang bagi umat Islam untuk menziarahi petilasan Raden Surya Kencana. Bahkan, pengurus kelenteng menyediakan Al-Qur’an bagi para peziarah yang datang.

Raden Surya Kencana sendiri kerap dianggap sebagai salah satu tokoh penyebar Islam di wilayah Tangerang. Dalam tulisannya berjudul The Cult of Surya Kencana in Jakarta, Ingo Wandelt memang menyatakan bahwa data sejarah tentang tokoh ini belum sepenuhnya jelas. Namun, ia menegaskan bahwa Raden Surya Kencana telah memperoleh penghormatan luas dari masyarakat di Tangerang, Jakarta, dan Cileungsi—baik sebagai figur spiritual maupun sebagai simbol keterhubungan antarkultur dan antariman. Tulisan tersebut dimuat dalam buku Chinese Belief and Practices in Southeast Asia.

Bagi warga setempat, keberadaan kisah Raden Surya Kencana justru mempererat hubungan antar komunitas. Sosok ini menjadi titik temu antara kebudayaan dan kepercayaan yang berbeda—menghubungkan tradisi Islam dari luar Tangerang dengan keyakinan masyarakat Cina Benteng. Karena itu, Kelenteng Boen San Bio tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga berperan penting dalam menumbuhkan semangat kerukunan antarumat beragama di kawasan ini.

Kelenteng Boen San Bio tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga berperan penting dalam menumbuhkan semangat kerukunan antarumat beragama di kawasan ini.

Kelenteng Boen San Bio berlokasi di Jalan K.S. Tubun No. 43, Desa Pasar Baru, Kota Tangerang, Banten. Selain menjadi ruang peribadatan bagi masyarakat Tionghoa, kelenteng ini juga dikenal sebagai destinasi wisata budaya dan religi yang menarik untuk dikunjungi.

Bagi pengunjung yang ingin merasakan suasana paling meriah, datanglah menjelang perayaan Imlek. Lilin-lilin merah setinggi satu meter akan menyala tanpa henti selama sebulan penuh, sementara ribuan lampion menghiasi langit-langit, menerangi area kelenteng sekaligus menjadi simbol harapan agar tahun mendatang dipenuhi keberuntungan dan kebahagiaan. Pemandangan yang bukan hanya indah, tetapi juga sarat makna.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Ingo Wandelt. “The Cult of Surya Kencana in Jakarta” dalam Cheu Hock Tong (ed.) Chinese Belief and Practices in Southeast Asia. Selangor: Pelanduk Publications, 1993.
    Melly G. Tan. Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
    Soekamto dan Andrew Nugroho. Yayasan Vihara Nimmala: Boen San Bio Sejak 1689. Tangerang: Waterfall Creative, 2001.
    Suara Pembaruan, 18 Agustus 2005.
    Sudemi. “Jejak Warisan Sejarah Agama Khonghucu Pada Masyarakat Cina Benteng”, tesis di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.