Setelah Kerajaan Sriwijaya runtuh di abad ke-13, Sumatera Selatan sempat menjadi wilayah tak bertuan dan menjadi tempat bersarangnya bajak laut. Palembang menjadi kota yang sepi, tidak seperti kala Kerajaan Sriwijaya berkuasa. Beberapa tahun pasca runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, kemudian berdirilah Kesultanan Palembang yang bernuansa Islam dan berpusat di Kota Palembang.
Kesultanan Palembang Darussalam merupakan kerajaan Islam yang besar pengaruhnya di dalam pengembangan ajaran Islam di nusantara. Dari kesultanan yang sudah berdiri sejak tahun 1700-an ini lahir beberapa tokoh Islam yang berpengaruh dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda, salah satunya adalah Sultan Mahmud Badaruddin II.
Selain meninggalkan ajaran Islam, Kesultanan Palembang juga meninggalkan beberapa bangunan bersejarah yang hingga kini masih bisa disaksikan. Bangunan bersejarah tersebut antara lain seperti Museum Sultan Mahmud Badaruddin II dan Benteng Kuto Besak di sebelah baratnya. Keberadaan Benteng Kuto Besak tidak lepas dari Kesultanan Palembang, mengingat tujuan utama berdirinya benteng ini dimaksudkan sebagai pertahanan dari serangan penjajah asing.
Benteng Kuto Besak mempunyai ukuran panjang sekitar 288 meter dan lebar lebih dari 187 meter, ukuran tersebut digunakan untuk melindungi keberadaan Keraton Kuto Baru dan Keraton Kuto Lama yang ada di dalamnya. Benteng Kuto Besak mulai dibangun sejak 1780 pada masa kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin I yang berkuasa pada rentang waktu tahun 1776-1803. Setelah masa kekuasaannya berakhir, pembangunan Benteng Kuto Besak kemudian dilanjutkan oleh Sultan Mahmud Badaruddin II hingga akhirnya selesai dibangun pada 1821.
Benteng Kuto Besak secara umum mengadopsi gaya arsitektur bangunan Perancis. Uniknya benteng pertahanan ini dibangun menggunakan bahan baku berupa batu kapur yang langsung didatangkan dari Kabupaten Ogan Komering Ilir. Kini, bagian dalam benteng bersejarah tersebut digunakan sebagai ruang perkantoran Komando Daerah Militer (Kodam) Sriwijaya. Dengan status tersebut, Benteng Kuto Besak tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang, padahal di dalamnya banyak informasi sejarah yang perlu diketahui oleh masyarakat umum. [AhmadIbo/IndonesiaKaya]