Tanpa disadari, romansa dan mortalitas kerap memoles tema literatur dunia. Meski cinta tetap membara dari tiap goresan—atau ketikan—tangan para penulis hingga kini, tetapi penggalian mortalitas manusia tetap jadi topik awet. Seperti Wuthering Heights karya Emily Brontë, dan rangkaian puisi sastrawan Chairil Anwar yang tertampung dalam Aku Ini Binatang Jalang.
Penggemar puisi pasti sudah tak asing lagi dengan kalimat “aku ini binatang jalang” yang menyeruak dari benak indah sang penyair besar angkatan ‘45 itu. Salah satu bait dari puisi berjudul Aku tersebut akhirnya dijadikan judul buku yang berisi kumpulan puisi dan surat Chairil Anwar yang ia tulis dalam rentang tahun produktifnya, 1942 – 1949. Merangkum karya-karya Chairil yang sebelumnya tersebar dalam beberapa buku lainnya seperti Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam yang Terampas dan yang Putus (1949), serta Tiga Menguak Takdir (1950).
Pengaruhnya dalam Kemerdekaan
Dari permukaan mungkin mudah menafsir karya puisi Chairil Anwar (1922-1949) berkisah tentang romansa dan kematian. Soal roman, tak dimungkiri, kerap tertuang dalam sajaknya seperti Sajak Putih dan Senja di Pelabuhan Kecil, dan nuansa mortalitas menghantui sajaknya yang paling dikenal, Aku, tetapi sebetulnya tema perjuangan dan pemberontakan banyak jadi pemicu kreativitasnya.
Hal itu juga dikarenakan hubungan keluarganya dengan Sutan Sjahrir. Chairil Anwar adalah keponakan dari Sutan Sjahrir, pejuang kemerdekaan dan perdana menteri Indonesia yang pertama. Lantas setelah ia merantau dari Medan ke Jakarta pada 1941 ia tinggal di rumah pamannya. Rumah ini juga yang pertama mempertemukannya dengan koleksi buku sastra Belanda dan penyair Eropa lainnya. Selain menjadi teman Chairil beradu pendapat mengenai sastra, Sutan Sjahrir juga yang mengajari Chairil untuk mempelajari kehidupan rakyat lebih dekat jika ingin menjadi sastrawan.
Selain menjadi teman Chairil beradu pendapat mengenai sastra, Sutan Sjahrir juga yang mengajari Chairil untuk mempelajari kehidupan rakyat lebih dekat jika ingin menjadi sastrawan.
Menurut buku karangan Soebadio Sastrosatomo (1995), Chairil Anwar merupakan salah satu sosok penting dalam pencapaian kemerdekaan Indonesia. Di era singkat penjajahan Jepang, yang memutus semua siaran radio dari luar negeri, Sutan Sjahrir mendengar kabar melalui radio yang diberikan secara diam-diam oleh Chairil tentang bom Nagasaki yang melemahkan posisi Jepang dalam perang. Lantas Sutan pun menyuruh Chairil untuk menyampaikan informasi tersebut kepada Soebadio di Komite Bahasa Indonesia yang pada akhirnya berujung pada peristiwa Rengasdengklok serta Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bisa dibilang Chairil Anwar adalah unsung hero dalam perjuangan kemerdekaan.
Oleh karena itulah banyak puisi Chairil mengangkat tema perjuangan yang dikemas napas eksistensial, seperti dalam sajak Krawang-Bekasi. Dari sisi penulisan Chairil juga mendobrak gaya penulis pada masa itu yang terasa kaku, elitis, dan tak jarang jadi corong para penjajah (propaganda). Chairil Anwar, merangkai prosa puitis yang juga terasa realis karena ia memakai bahasa sehari-hari. Lantas tersematlah julukan sang pelopor puisi modern.
Sang Binatang Jalang
Buku Aku Ini Binatang Jalang memuat 82 puisi dan sajak Chairil Anwar serta korespondensi surat-menyurat dengan penulis dan kritikus sastra–yang juga salah satu sahabatnya–H.B. Jassin (surat aslinya tak pernah ditemukan, sebagai gantinya adalah kutipan korespondensi dari buku H.B. Jassin bertajuk Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II).
Beberapa puisi dalam Aku Ini Binatang Jalang telah dimuat dalam buku-buku kumpulan puisi sebelumnya (seperti Aku telah diterbitkan dalam Deru Campur Debu). Lantas buku klasik ini diterbitkan secara posthumous, atau setelah kematian sang penulis, pada 1986 dan hingga kini telah dicetak ulang sebanyak dua puluh delapan kali hingga tahun 2022.
Aku Ini Binatang Jalang, yang bab penutupnya ditulis oleh penyair Indonesia tersohor lainnya, Sapardi Djoko Damono, memang telah jadi buku puisi Chairil Anwar paling dikenal oleh penggemar literatur Indonesia. Seperti telah dibahas sebelumnya, dalam sajak-sajaknya Chairil menulis dengan gaya yang puitis sekaligus realis.
Dalam sajak-sajaknya Chairil menulis dengan gaya yang puitis sekaligus realis.
Tengok saja sajak berjudul Derai-Derai Cemara di mana ia menggambarkan bunyi cemara menderai yang “dipukul angin yang terpendam”, tetapi pada bait terakhir pemilihan kata terasa lebih nyata, seperti berasal dari pengalaman pribadi yang mendalam.
Derai-Derai Cemara, 1949
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Lantas ada juga Tuti Artic—konon nama salah satu wanita idamannya—yang selintas menggambarkan cinta tengah berkembang di suatu hari yang cerah.
Tuti Artic, 1947
Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola
Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.
Kau pintar benar ciuman, ada goresan tinggal terasa
–ketika kita bersepeda kuantar kau pulang—
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.
Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.
Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti + Greet + Amoi..hati terlantar,
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.
Walau terkesan ringan, tetapi puisi tersebut berakhir dengan nada waspada, “cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar”. Saat jatuh cinta, Chairil Anwar dapat menjadi penyair yang romantis, seperti yang bisa dirasakan juga dalam Sajak Putih yang ia persembahkan kepada tunangannya, Mirat.
Sajak Putih, 1944
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah ..
Seperti itulah Chairil Anwar, bahkan dalam puisi cintanya, tetap ada kalimat “Selama kau darah mengalir dari luka, Antara kita Mati datang tidak membelah” yang lagi-lagi menyangkut pada tema kematian yang ia gemari.
Seperti itulah Chairil Anwar, bahkan dalam puisi cintanya, tetap ada kalimat “Selama kau darah mengalir dari luka, Antara kita Mati datang tidak membelah”
Tentu saja, karya Chairil Anwar yang dianggap paling monumental adalah Aku di mana julukan binatang jalang berasal, yang mengabadikan citra sosok Chairil dalam panteon sastrawan Indonesia.
Aku, 1943
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Memang mudah untuk menginterpretasikan pemakaian kata “binatang jalang” sebagai penggambaran karakter sang penulis yang liar, selengean, berjiwa bebas (dan memang ada beberapa testimoni dari orang-orang yang mengitari orbit Chairil yang merincikan hal tersebut), tetapi sebetulnya julukan tersebut bermakna lebih luas.
Sajak Aku yang ditulis Chairil Anwar pada 1943 bisa diinterpretasikan sebagai love letter atas keberanian dan kegigihan para pejuang kemerdekaan Indonesia, yang “biar peluru menembus kulitku, aku tetap meradang menerjang”. Chairil adalah avatar atas kisah para binatang jalang—liar, berjiwa bebas, pemberontak—yang mengorbankan nyawa demi hidup terlepas dari penjajah asing.
Chairil adalah avatar atas kisah para binatang jalang—liar, berjiwa bebas, pemberontak—yang mengorbankan nyawa demi hidup terlepas dari penjajah asing.
Sajak Aku sempat ditolak dipublikasikan karena dianggap terlalu individualistis dan, dalam zaman pendudukan Jepang, terlalu riskan karena mengandung unsur agitatif. Pada akhirnya Aku diterbitkan juga di majalah Timur pada 1945 tapi dengan kompromi perubahan judul menjadi Semangat.
Mungkin karena itulah buku Aku Ini Binatang Jalang tetap memiliki relevansi hingga sekarang. Meski kelam tapi juga tersirat vitalitas, keberanian, serta harapan dalam tiap puisi dan sajak Chairil Anwar, dalam gaya penulisan yang lugas dan mengalir, puitis tapi realis.
Hidup Seribu Tahun
Dalam karya-karya Chairil Anwar tertoreh damba kelanggengan hidup sang penulis, yang membuat kematiannya di usia sangat muda—27 tahun—sangat disayangkan, tragis bahkan.
Walaupun pada masanya Chairil dianggap sebagai agent provocateur, terutama karena ia mendukung kebebasan individual yang mengancam semangat komunisme yang tengah tumbuh-kembang pada saat itu, tetapi pengaruh penulis yang sempat jadi redaktur majalah Gelanggang ini tetap kental terasa hingga sekarang, apalagi tanggal kematiannya—28 April—ditetapkan sebagai Hari Puisi Nasional.
Tanggal kematiannya—28 April—ditetapkan sebagai Hari Puisi Nasional.
Pada 2022, Gramedia Pustaka Utama merayakan 100 tahun usia Chairil Anwar dengan menerbitkan Aku Ini Binatang Jalang dengan sampul baru edisi khusus. Seperti yang dikutip dari Media Indonesia, “Hari ini kita dapat menemukan potongan puisi Chairil di buku, mural, lagu, kaos, hingga bak truk, yang terus menggugah semangat siapapun yang membacanya,” ujar Mirna Yulistianti, Editor Bidang Sastra Gramedia Pustaka Utama. “Karyanya yang membuat Chairil tetap hidup seribu tahun lagi.”
Ya, dan sang binatang jalang pun terus hidup.