Sawah Tanpa Manusia oleh Koreografer Terpilih Festival Menari
Enam koreografer terpilih dari Sumatra, Kalimantan dan pulau Jawa mengulik lebih dalam persoalan agraris dalam konteks hari ini.
- 9 Maret @ 3:00 pm - 9 Maret @ 4:00 pm
- Galeri Indonesia Kaya
- Gratis
- Semua Umur
Reservasi Tiket
Agenda Budaya
Setiap sawah di Indonesia punya teknologi pertanian yang berbeda-beda. Dengan menelisik budaya material yang dilakukan masyarakat tani pada masa menjelang panen, seperti memasang jaring di atas sawah, membuat orang-orangan sawah, atau memasang sebuah kaleng yang menghasilkan bunyi bising, yang mana semua penggunaan material itu digunakan dengan tujuan untuk mengusir burung-burung sehingga panen pun berhasil. Material-material itu dibuat untuk menggantikan kehadiran manusia yang tidak bisa menjaga sawah selama 24 jam penuh. Dengan adanya material itu, burung-burung tetap dapat diusir dan manusia dapat melakukan kegiatan lain. Itulah makna dari Sawah Tanpa Manusia.
Dengan keberagaman cara menjaga sawah itulah para koreografer dapat mengeksplorasi lebih dalam tentang budaya material yang digunakan untuk menjaga padi di masing-masing daerah, baik dari aspek bunyi maupun gerak, ataupun hal bersifat immaterial seperti ritual adat sebuah suku, hingga diolah sedemikian rupa menjadi sebuah karya tari.
Abib Habibi Igal berasal dari Kalimantan Tengah dan telah menyelesaikan Pendidikan sarjananya di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dengan minat utama penciptaan tari. Sejak 2012 hingga sekarang, ia terus melakukan ekspedisi riset ritual penyembuhan Wadian Dadas. Baginya, menyusuri bunyi tubuh Wadian sama dengan menjelajahi relasi tubuh dengan Tuhan, alam, dan manusia. Berbagai elemen dan fenomena dalam ritual tersebut ditransformasikan menjadi karya kontemporer melalui pendekatan penelitian artistik dan kajian budaya. Dia banyak menyerap pemahaman tentang tari kontemporer dari Martinus Miroto, Eko Supriyanto, Hendro Martono, Hartati, dan Uti Setyastuti.
Cici Wulandari lahir di Padang, penggiat budaya asal Sumatra Barat. Cici Wulandari merupakan ketua komunitas Seni Sibat Dance. Pada tahun 2014 menyelesaikan studi S-1 di Institut Seni Indonesia Padangpanjang minat Penciptaan Seni Tari, pada tahun 2021 menyelesaikan Pendidikan Magister di Institut Seni Indonesia Padangpanjang dengan kajian yang sama. Pernah menulis di beberapa jurnal ilmiah, pernah menjadi narasumber pada workshop tari. Selama bergelut di dunia kesenian sudah mengikuti banyak bentuk penghargaan dan event nasional dan international diantaranya penghargaan atas terbaik I tingkat Nasional perwakilan Sumatra Barat oleh Kemenkominfo, mengikuti Pekan Kebudayaan Nasional di Jakarta dan pelatih tari massal Kemah Budaya oleh Kemendikbud dan mengikuti Festival Seni Rumpun Melayu 2019.
Siti Alisa, seniman tari independent yang berbasis di Jakarta. Alisa mendalami tari ballet klasik selama 15 tahun di Namarina Dance Academy dan mendapatkan gelarnya sebagai Advanced in Royal Academy of Dancing (ARAD). Alisa melanjutkan studinya di Institut Kesenian Jakarta dan lulus pada tahun 2017. Sebagai koreografer, ia telah menerima hibah dari Asian Cultural Council dan Yayasan Kelola untuk Residensi Koreografer Internasional American Dance Festival 2019, dan South East Asian Choreographers Network 2021. Disamping berkarya, Alisa adalah bagian dari tim kreatif Yayasan Seni Tari Indonesia dan fakulti dari The Ballet Academy of Indonesia.
Nurima Sari, lahir di Padang 7 Februari 1997 berdarah Jawa. Memluai dunia tari sejak kelas 3 sekolah dasar dengan mengikuti sanggar tari, melanjutkan sekolah tari di SMK 7 Padang, lulusan Sendratasik UNP. Tertarik dengan tari kontemporer dan masuk kedalam sebuah komunitas Impessa Dance Company dan menari dalam beberapa karya. Mengikuti Festival Mentari #1 dengan judul karya “Aku-aku” sebuah wadah pelahiran koreografer muda. Mendapat kesempatan dalam kurasi karya pada Pekan Kebudayaan Daerah dengan judul karya “Mairiak Nan Tingga”. Kini Rima sedang berproses dalam karyanya bersama “Ruang Diskusi Tubuh”.
Mekranitingrum Hapsari lahir di Surakarta, 1995. Mike adalah koreografer dengan latar belakang kesenian tradisional Indonesia dan tertarik dengan seni modern dan kontemporer. Ia telah berpartisipasi di beberapa platform seni local dan internasional, seperti melakukan residensi di La Biennale Collage Danze di Venice 2018 sebagai penari dari Marie Chouinard, direktur dari Biennale Collage Danze dan Daina Ashbee dari Canada. Sebagai koreografer, Mike telah menciptakan beberapa karya tari dan karya seni performans.
Ahmad Iqbal, lahir di Batusangkar 1998. Mempelajari silat Kumango semenjak umur 11 tahun. Di tahun 2017 memutuskan untuk mendalami tari dengan menempuh Pendidikan formal di ISI Padangpanjang dan pada tahun 2021 melanjtkan Pendidikan Pascasarjana ISI Padangpanjang. Beberapa karya cipta dan karya ilmiah seperti “Motion of Sada vol. 1” bersama Indonesia Kaya, Ruang Tumbuh, Nan Jombang Dance Company. “Motion of Sada” alih wahana berupa dance fim dengan tema tubuh dan dimensi. Koreografer terbaik dalam event Festival Folklor Indonesia, pertunjukan hybrid SIPA pada tahun 2022 dan lainnya. Karya ilmiahnya adalah Postgraduate Program Indonesian Institute of The Arts Padangpanjang, Melayu Art and Performance Journal.