Cari dengan kata kunci

“Yang Fana adalah Waktu. Kita Abadi”, karya Teater Garasi/Garasi Performance Institute

yang-fana-adalah-waktu-kita-abadi-karya-teater-garasigarasi-performance-institute-liputan.jpg

“Yang Fana adalah Waktu. Kita Abadi”, karya Teater Garasi/Garasi Performance Institute

Pertunjukan “Yang Fana adalah Waktu. Kita Abadi” karya Teater Garasi/Garasi Performance Institute bekerja sama dengan PKKH UGM dan didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation sukses diselenggarakan pada tanggal 23-24 Juni 2015, bertempat di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Jl. Pancasia, Bulaksumur, Yogyakarta.

Agenda Budaya

Pertunjukan “Yang Fana adalah Waktu. Kita Abadi” karya Teater Garasi/Garasi Performance Institute bekerja sama dengan PKKH UGM dan didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation sukses diselenggarakan pada tanggal 23-24 Juni 2015, bertempat di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Jl. Pancasia, Bulaksumur, Yogyakarta.

“Yang Fana adalah Waktu. Kita Abadi” selanjutnya disingkat YFaWKA adalah karya pertunjukan terbaru Teater Garasi/Garasi Performance Institute yang bertolak dari pembacaan dan refleksi atas ihwal “tatanan” dan “berantakan” (order dan disorder).

Pertunjukan panggung teater yang disutradarai Yudi Ahmad Tajudin ini adalah pengembangan dan penelusuran lebih jauh dari proyek seni kolektif Teater Garasi yang dilakukan sejak tahun 2008, di antaranya menghasilkan pertunjukan Je.ja.l.an dan Tubuh Ketiga, yang mencoba mempelajari bagaimana ledakan “suara” atau “narasi” (ideologis, agama, identitas) di Indonesia pasca 1998 menciptakan dan menyingkap ketegangan serta kekerasan yang baru maupun yang terpendam.

Setelah menjelajahi serta menggelar isu dan tema di atas melalui pertunjukan Je.ja.l.an (2008) dan Tubuh Ketiga (2010), YFaWKA adalah perjalanan yang lebih reflektif, penelusuran yang lebih masuk ke dunia dalam (interior). YFaWKA ingin melihat serta mementaskan bagaimana situasi-situasi pasca 1998 di Indonesia mempengaruhi situasi dan formasi subjek(tifitas) baru. Dengan kata lain bagaimana ledakan suara atau narasi di Indonesia 1998 lalu menyela, mengganggu, mempengaruhi dan menggerakkan “subjek”.

Sebelum menemukan bentuk yang lebih lengkap, penelusuran karya ini telah menghasilkan satu nomor pertunjukan pendek (30 menit), berjudul Sehabis Suara yang telah dipentaskan di Erasmus Huis, Jakarta, pada tanggal 26 Maret 2014 lalu. Pertunjukan work in progress ini merupakan bagian dari rangkaian acara Penyerahan Penghargaan Prince Claus oleh duta besar Kerajaan Belanda, His Excellency Tjeerd de Swan, pada Teater Garasi.

Setelah nonton teater versi awal ini, sambutan hangat diberikan para penonton dan media. Sambutan publik itu menjadi modal pendorong yang penting untuk melanjutkan penggarapan Sehabis Suara menjadi karya pertunjukan yang lebih dalam dan menyeluruh, yang kemudian berubah judul menjadi: Yang Fana adalah Waktu. Kita Abadi. Judul ini dipinjam dari puisi Sapardi Djoko Damono, Yang Fana adalah Waktu (1978), karena judul tersebut kemudian dirasa sangat mewakili karya ini.

Semoga kegiatan nonton teater ini mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya serta meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.

Tagar:

This will close in 10 seconds