Di Papua, tepatnya di daerah Jayapura Utara, terdapat sebuah kampung bernama Kayo Batu yang terkenal dengan kerajinan gerabahnya. Gerabah tersebut disebut sempe dalam bahasa setempat. Pada zaman prasejarah, sempe buatan masyarakat Kayo Batu biasa ditukar dengan kapak dan batu manik-manik.
Gerabah tersebut disebut sempe dalam bahasa setempat.
Sempe terbuat dari tanah liat sebagai bahan baku utama. Tanah liat ini diperoleh dari kebun-kebun di sekitar Tanjung Suaja, Papua. Pasir halusnya dicampurkan dengan tanah liat, dan diperoleh dari pantai Tanjung Suaja.
Sempe buatan Kampung Kayo Batu terkenal dengan bentuknya yang khas, mengikuti kebiasaan masing-masing suku pembuatnya. Suku Pui menghias sempe mereka dengan gambar kadal dan buaya. Sementara itu, suku Makanuai Satu menggunakan gambar kerang laut bermotif gelombang, dan suku Makanuai Dua memakai motif ikan.
Namun, kini hanya tersisa satu suku, yaitu suku Pui, yang masih meneruskan warisan leluhur mereka dalam membuat sempe. Menurut legenda, leluhur suku Pui berasal dari tanah liat. Inilah kisah leluhur suku Pui dan tanah liat, salah satu kekayaan budaya yang terus dijaga oleh masyarakat Kampung Kayo Batu.
Kampung Kayo Batu yang Malang
Berabad-abad silam, penduduk di berbagai kampung di tanah Papua, termasuk Kampung Kayo Batu di Teluk Imbi, Jayapura, telah membuat berbagai peralatan dapur dari tanah liat. Saat itu, populasi di kampung tersebut terdiri dari 16 keluarga besar, dengan jumlah penduduk sekitar 60 hingga 80 jiwa. Kehidupan mereka bergantung pada kegiatan bertani serta menangkap ikan di lereng gunung dan di sekitar teluk.
Kehidupan mereka bergantung pada kegiatan bertani serta menangkap ikan di lereng gunung dan di sekitar teluk.
Sayangnya, tanah subur di kampung ini berangsur-angsur menjadi gersang, mengakibatkan hasil pertanian dan tangkapan ikan yang kian berkurang. Untuk memenuhi kebutuhan pangan, warga terpaksa mencari ladang baru yang jauh dari kampung, bahkan hingga ke wilayah kampung lain.
Berupaya mengatasi masalah ini, warga Kayo Batu menggelar aneka persembahan dan tarian. Dengan perlengkapan sederhana akibat kurangnya penghasilan, beberapa ritual persembahan untuk dewa tetap dilakukan. Namun, keadaan tak kunjung membaik. Keadaan mengenaskan ini bahkan membuat penduduk kampung sering tidur dalam keadaan lapar.
Cabo Pui dan Mimpi Batu Ajaibnya
Di Kampung Kayo Batu, tinggallah seorang pemuda bernama Cabo Pui. Kegelisahan melanda hatinya kala melihat kemalangan yang menimpa kampungnya. Kepeduliannya yang besar terhadap nasib kampungnya membawanya pada mimpi tentang sebuah batu pipih yang indah.
Kepeduliannya yang besar terhadap nasib kampungnya membawanya pada mimpi tentang sebuah batu pipih yang indah.
Dalam mimpinya, dia bertemu dengan perempuan yang juga memiliki batu serupa. Bersama-sama, mereka membuat gerabah dari tanah merah dengan batu itu. Kampung mereka pun berubah menjadi indah dan warganya hidup bahagia.
Ketika Cabo terbangun, ia tergerak untuk mencari batu ajaib itu. Mimpi tersebut ia yakini sebagai petunjuk untuk mengembalikan kemakmuran kampungnya. Ia pun menceritakan mimpi tersebut kepada saudaranya, Tiaghe, yang kemudian ingin menemaninya mencari batu ajaib. Namun, karena Cabo hanya sendirian dalam mimpi tersebut, ia menahan keinginan Tiaghe untuk menemaninya.
Cabo Pui berpesan kepada Tiaghe agar memperhatikan tanda-tanda alam saat ia pergi nanti. Jika ada pertanda dari alam semesta, Cabo meminta Tiaghe untuk pergi ke Tanjung Suaja. Tiaghe pun mendoakan Cabo agar berhasil membawa kemakmuran untuk kampung mereka.
Cabo, ditemani anjingnya yang setia, Abu, pergi berlayar ke muara Sungai Numbai menggunakan perahu. Setelah turun, mereka berjalan melewati sungai dan mendaki bukit-bukit dengan hutan yang lebat. Di puncak bukit, Cabo melihat teluk indah yang diapit dua tanjung. Di sana, terdapat rumah-rumah di atas air yang dimiliki oleh orang dari Kampung Injiros dan Kampung Tobati. Mereka kemudian turun dari bukit dan menemukan gubuk untuk menginap.
Keesokan harinya, mereka mencapai puncak gunung dan melihat kampung-kampung di sekitar danau. Cabo turun dari gunung dan mendekati Kampung Abar. Di sebuah kebun, Cabo bertemu dengan Abo, warga Kampung Abar.
Meski berbeda kampung, Abo bisa mengerti dan berbicara dalam dalam bahasa Cabo. Abo memperkenalkan Cabo kepada istrinya dan menjamunya dengan makanan. Abo mengatakan bahwa malam itu mereka akan membicarakan pembuatan sempe atau gerabah bersama-sama warga kampung.
Meski berbeda kampung, Abo bisa mengerti dan berbicara dalam dalam bahasa Cabo.
Ketika Cabo Pui dan Abo tiba di tempat pembuatan sempe di Kampung Abar, orang-orang memandang mereka dengan raut wajah penuh tanya. Cabo kemudian menceritakan kisahnya dengan bahasa yang dia kuasai, dan Abo membantu menerjemahkannya kepada penduduk Kampung Abar. Para warga kampung mendengarkan dengan penuh perhatian.
Di luar tempat pembuatan gerabah, Cabo dan Abo berbincang-bincang dengan beberapa warga Kampung Abar. Warga Kampung Abar menanyakan kepada Cabo apakah warga dari desa lain diizinkan menangkap ikan di teluk Kampung Kayo Batu. Cabo menjawab dengan sopan bahwa mereka tidak diperbolehkan.
Cabo kemudian menanyakan kepada Abo apakah dia boleh ikut membuat sempe. Abo, yang bukan pemimpin adat, menyerahkan keputusan kepada para tetua adat. Cabo pun tidak diizinkan membuat sempe di Kampung Abar. Namun, hal ini tidak menunjukkan adanya permusuhan di antara mereka. Warga Kampung Abar tetap ingin menjalin hubungan baik dengan warga Kayo Batu.
Cabo yang berusaha lapang dada menerima jawaban tetua adat, segera meninggalkan Kampung Abar. Cabo dan Abu pun terus melanjutkan perjalanan ke arah gunung di sebelah utara. Mereka melewati kebun dan padang ilalang. Setelah beristirahat dan makan ubi, mereka meneruskan perjalanan melewati bukit yang terjal dan sempit.
Saat mendaki, Cabo beberapa kali berhenti untuk menikmati pemandangan danau yang indah dengan panorama kampung-kampung dan pulau-pulau kecil di kejauhan. Namun, semakin tinggi ia mendaki, kabut kian tebal dan membatasi pandangannya. Meski begitu, ia tetap berjalan dengan hati-hati.
Cabo Pui Berhasil Menemukan Batu Ajaib
Ketika kabut mulai menipis, Cabo menengadah dan melihat luasnya langit biru yang cerah. Sinar matahari yang hangat juga terasa di kulitnya. Ia merasa bersemangat dan tidak lagi peduli pada batu-batu curam yang ada di sekitarnya. Cabo yakin bahwa dia akan segera menemukan sebuah kampung tak lama lagi.
Benar saja, Cabo mendapati seorang pria sedang memakan pinang di atas batu saat itu. Di kejauhan, terlihat pula beberapa warga sedang bekerja di dalam gua menggunakan kapak batu. Rupanya, Cabo telah sampai di Kampung Ormu.
Setibanya di sana, ia melihat pemimpin Ormu sedang berbicara dengan sekelompok pekerja batu. Salah satu pekerja juga tampak memberikan sebuah batu indah kepada pemimpin Ormu. Setelah mengamati batu itu, sang pemimpin mengembalikannya kepada pekerja tersebut dan pergi ke tempat tinggalnya yang terletak di dekat gua.
Cabo yang melihat dari kejauhan, langsung teringat akan mimpinya. Ia ingin memiliki batu itu. Ia pun segera keluar dari semak-semak persembunyiannya untuk berbicara dengan pemimpin Ormu. Pemimpin Kampung Ormu itu bernama Sirwai. Ia pun mengenali bahasa Cabo dan langsung bertanya mengenai tujuan kedatangan Cabo ke Kampung Ormu.
Kepada Sirwai, Cabo menceritakan rencana dan perjalanannya. Sirwai menyimak dengan cermat dan bertanya tentang batu yang Cabo mimpikan. Cabo menjelaskan bahwa batu itu adalah batu terakhir yang dikerjakan oleh pekerja yang ia lihat sebelumnya.
Sirwai mengangguk dan berpikir sejenak tanpa berkata apa-apa. Setelah itu, ia mengajak Cabo untuk mengikutinya. Mereka menyusuri jalan yang dilalui orang-orang sebelumnya. Sirwai lalu menyuruh Cabo untuk bersembunyi di dalam hutan kecil dan memberitahukan bahwa pada malam hari, putranya akan datang dan membawa Cabo ke rumah para lelaki di kampung itu. Sirwai meyakinkan Cabo bahwa semua orang Ormu akan menganggapnya sebagai saudara mereka sendiri. Sesudah Sirwai pergi, Cabo menanti dengan penuh harap.
Beberapa saat kemudian, Cabo mendengar namanya dipanggil. Ia mengira itu adalah putra Sirwai yang akan menjemputnya. Namun, Sirwai sendirilah yang datang untuk memberitahukan suatu hal penting. Sirwai mengatakan bahwa ketika Cabo tiba di rumah para lelaki, ia hanya boleh meminta perahu dan dayung tanpa menyebutkan hal lain.
Kabar tentang kedatangan Cabo telah terdengar di rumah para lelaki, dan seluruh orang menyambutnya dengan ramah. Cabo diperkenalkan kepada para lelaki Ormu dan diajak makan bersama.
Setelah selesai makan, Sirwai menanyakan kepada orang-orang di sekitarnya apakah mereka bersedia membantu Cabo. Cabo kemudian mengungkapkan keinginannya untuk segera kembali ke kampung halamannya melalui jalur laut. Orang-orang Ormu itu pun bersedia membantu, dan Sirwai menawarkan perahu serta dayung untuk digunakan Cabo.
Cabo Pui Hilang Ditelan Bumi
Cabo meninggalkan rumah kaum laki-laki Ormu, ditemani Abu yang setia mengikutinya. Sirwai mengantarkannya ke pantai yang sepi, di mana perahu dan dayung telah disiapkan. Saat itulah Sirwai memberitahukan Cabo bahwa batu yang diimpikannya sudah ada di dalam noken miliknya.
Menurut Sirwai, batu itu memiliki kekuatan gaib dan akan membantu Kampung Kayo Batu dalam pembuatan gerabah. Namun, Cabo harus mengorbankan diri demi mendapatkan batu itu. Cabo merasa bingung dan tidak mengerti. Tetapi, Sirwai meyakinkannya bahwa batu dan Abu akan membimbingnya lebih lanjut.
Menurut Sirwai, batu itu memiliki kekuatan gaib dan akan membantu Kampung Kayo Batu dalam pembuatan gerabah.
Sejak saat itu, Cabo merasakan aliran kekuatan gaib di dalam tubuhnya. Cabo teringat mimpinya dan bersedia berkorban demi kebahagiaan dan kemakmuran semua orang di kampung halamannya. Cabo berterima kasih kepada Sirwai atas bantuannya.
Perjalanan Cabo menyusuri pantai dalam gelapnya malam terganggu oleh ombak, tetapi dia tidak gentar. Cabo bersabar dan merasa yakin bahwa ia akan sampai di kampung halamannya. Setelah beberapa saat, Cabo akhirnya tiba di Tanjung Suaja dan memasuki daratan. Dia menyalakan api di perahunya dan membiarkannya terbakar sementara dia pergi mandi di laut.
Setelah membersihkan diri di laut, Cabo merasakan dorongan kuat untuk pergi ke puncak Tanjung Suaja. Abu mengikutinya dari belakang. Ketika Cabo tiba di puncak bukit Tanjung Suaja, dia merasakan energi luar biasa yang mengalir di dalam dirinya.
Tak lama kemudian, terdengar gemuruh angin yang kian mendekat. Abu ingin melarikan diri saat itu, namun Cabo menahannya. Tiba-tiba, tubuh Cabo dan Abu terjatuh ke dalam sebuah celah yang seketika menutup kembali dengan cepat. Celah itu menelan mereka berdua.
Tiaghe Pui Membawa Pulang Batu Ajaib
Sementara itu di Kampung Kayo Batu, Tiaghe tengah mencari ikan di laut. Upayanya kali ini membuahkan hasil. Ikan-ikan kembali berkumpul ke teluk, sehingga kebutuhan masyarakat akan ikan dapat terpenuhi kembali.
Keajaiban ini membuat Tiaghe teringat akan Cabo Pui, saudaranya. Ia bertanya-tanya di mana Cabo berada dan apakah dia berhasil dalam pencariannya. Tiaghe merasa gelisah.
Untuk menghilangkan kekhawatirannya, Tiaghe pulang ke rumah menggunakan perahu. Setelah menyimpan perahunya, terdengar suara petir menggelegar di langit. Tiang rumah bergoyang seolah-olah terjadi gempa bumi. Tiaghe pun meyakini hal ini sebagai tanda penting yang harus dia perhatikan, sesuai pesan Cabo pada dirinya.
Tiaghe dan istrinya keluar rumah dan menduga bahwa sesuatu telah terjadi pada Cabo. Tiaghe kemudian menyuruh sang istri untuk mengambil piring sagu dan sepotong kayu, karena mereka akan mencari Cabo dengan perahu.
Setelah itu, Tiaghe dan istrinya segera berangkat menggunakan perahu. Mereka kemudian mendaki tanjung yang curam dan berusaha menemukan jejak Cabo. Di pantai, mereka melihat sisa-sisa perahu yang terbakar, serta jejak kaki Cabo dan anjingnya. Mereka mengikuti jejak kaki itu ke Tanjung Out, tempat Cabo dan Abu terakhir terlihat.
Tiaghe menemukan tanah merah yang misterius dan menunjukkannya kepada istrinya. Dia mencoba menggali tanah itu dan menemukan batu ajaib. Mereka membawa pulang batu dan tanah merah itu. Dan mereka sadar bahwa mereka tidak akan pernah bertemu lagi dengan Cabo.
Setelah menangis di puncak Tanjung Out, mereka kembali ke rumah melalui Tanjung Suaja. Mereka membuat mangkuk kecil menggunakan tanah liat dan batu ajaib. Kemudian, mereka memperlihatkan mangkuk itu kepada penduduk kampung, dan menceritakan tentang kepergian Cabo.
Penduduk kampung terharu dan kagum mendengar cerita Tiaghe. Mereka menyimpulkan bahwa mangkuk tersebut harus dibakar agar menjadi keras dan kuat. Sejak saat itu, mereka mulai membuat kerajinan tangan dari tanah liat yang diberi nama kecabo. Jumlah kecabo semakin bertambah setelah ditemukannya batu ajaib tersebut. Kemakmuran kampung Kayo Batu pun mulai terlihat berkat pengorbanan Cabo.
Sejak saat itu, mereka mulai membuat kerajinan tangan dari tanah liat yang diberi nama kecabo.
Moral Cerita
Cerita tentang Cabo Pui dan batu ajaib dari Kampung Kayo Batu mengandung beberapa pesan moral yang penting. Kadang kala, kita harus berani berkorban demi kebaikan dan kebahagiaan orang lain. Seperti Cabo yang rela mengorbankan dirinya demi kesejahteraan kampungnya. Perjalanan penuh tantangan yang dilalui Cabo dan Abu, menunjukkan pentingnya kesetiaan dan keberanian dalam menghadapi rintangan hidup.
Bantuan dari masyarakat Ormu, dukungan dari saudara, serta warga Kampung Abar dan Kayo Batu menekankan pentingnya kerja sama dan solidaritas untuk mencapai tujuan bersama.
Selain itu, kita semua juga patut menghargai tanda-tanda dari alam. Kepercayaan Cabo terhadap mimpinya sebagai petunjuk dari alam, diperhatikan secara saksama oleh Tiaghe. Hal ini mengajarkan kita bahwa dalam beberapa keadaan, mengikuti intuisi dan tanda-tanda dari alam dapat membantu kita untuk menemukan jalan yang tepat.
Saat melewati masa-masa sulit, kita tetap harus memiliki pengharapan yang baik dan tekun berdoa, serta berusaha. Ini sama seperti harapan dan doa yang tulus dari Tiaghe dan masyarakat Kampung Kayo Batu pada masa penantian akan datangnya keajaiban.