Ronggeng Dukuh Paruk mungkin adalah salah satu novel Indonesia dengan genre historical fiction yang populer. Berlatarkan peristiwa G30S PKI yang kelam, Ahmad Tohari sang penulis membungkus kisah cinta dengan balutan tragedi kemanusiaan dan budaya tradisional yang cukup kental. Ronggeng Dukuh Paruk diterbitkan sebagai karya trilogi yang terdiri dari Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Diterbitkan pertama kali tahun 1982 oleh Gramedia, kemudian dicetak berulang kali, hingga akhirnya pada 2003 dan 2011 ketiga buku ini digabung dalam satu jilid dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk. Dalam edisi ini Gramedia juga memasukan bagian-bagian yang sebelumnya disensor ketika dahulu diterbitkan pada masa Orde Baru. Pada 2019, Ronggeng Dukuh Paruk kembali dicetak ulang untuk kelima belas kalinya.
Salah satu novel Indonesia dengan genre historical fiction yang populer.
Sesuai judulnya, buku ini menceritakan kehidupan seorang ronggeng–perempuan penari yang menjadi primadona–di desa atau dukuh, bernama Paruk. Kondisi desa berada di kawasan terpencil, penduduknya adalah petani miskin yang tidak berpendidikan serta masih berpegang teguh pada kepercayaan leluhur. Satu-satunya kebanggaan dari Dukuh Paruk adalah tradisi ronggeng yang memiliki simbol sosial tinggi. Mendapatkan ronggeng bagi pria atau keluarga adalah kebanggaan. Ini membuat ronggeng sangat diidamkan oleh banyak pria. Bahkan hidup ronggeng harus bergantung pada pria yang mampu membayarnya. Jika di tempat lain hal ini layaknya prostitusi, di Dukuh Paruk ronggeng adalah tradisi yang telah menjadi bagian kehidupan warga.
Ronggeng dalam kisah ini bernama Srintil, perempuan muda yatim piatu. Ia dikenal sebagai perempuan cantik yang akhirnya menjadi primadona karena kemampuannya menari. Srintil kecil memang dididik menjadi ronggeng, ia menjalani sayembara Bukak Klambu yang membuatnya menjadi ronggeng seutuhnya. Warga Dukuh Paruk senang dengan kehadiran Srintil yang menghidupkan kembali tradisi ronggeng yang lama hilang.
Namun kebahagiaan tersebut tidak dirasakan semua orang. Rasus, sahabat kecil Srintil sekaligus pria yang mencintainya, merasa terluka dan kecewa karena Srintil terpisah darinya. Rasus menyaksikan warga dukuh terutama para pria mendekati perempuan yang dicintainya. Srintil mau tak mau semakin tenggelam dalam kehidupan ronggeng. Sadar bahwa ia tak mungkin bisa mendapatkan Srintil, Rasus memilih untuk keluar dari Dukuh Paruk, bahkan melamar pekerjaan sebagai bagian dari tentara.
Salah satu poin menarik dari novel ini adalah masuknya tragedi 1965 sebagai bagian dari konflik utama dalam novel. Sama seperti daerah lain di Indonesia, Dukuh Paruk juga tak luput terkena imbas dari aksi penumpasan PKI oleh tentara Indonesia. Kejadian ini akhirnya mempertemukan Rasus dan Srintil kembali dengan status jauh berbeda. Di sini juga pembaca akhirnya mengetahui bagaimana akhir kisah antara Rasus dan Srintil.
Salah satu poin menarik dari novel ini adalah masuknya tragedi 1965 sebagai bagian dari konflik utama dalam novel.
Meskipun fokus pada hubungan romantis antara dua sejoli, Ronggeng Dukuh Paruk tak pantas disederhanakan dan dimasukan dalam novel roman. Ahmad Tohari sebagai penulis dengan apik membangun kompleksitas novel ini. Berbagai isu hadir dari mulai kritik sosial, isu politik konflik agama dan budaya, dominasi patriarki, hingga tragedi kemanusiaan bisa ditemukan dalam novel Indonesia ini.
Dukuh Paruk adalah desa yang berasal dari imajinasi penulis. Namun dengan piawainya, Ahmad Tohari menggambarkan situasi sosial di desa tersebut dengan detail, karena berkaca dari kondisi mayoritas desa di Indonesia pada kurun waktu tersebut. Kondisi Dukuh Paruk memang sepertinya adalah kehidupan dari kebanyakan masyarakat Indonesia di zaman itu, yang berada di luar kota besar. Warganya menggantungkan hidup dengan bertani atau bercocok tanam, kebanyakan dari mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan, dan masih percaya pada mitos-mitos gaib.
Warga Dukuh Paruk digambarkan sebagai orang-orang yang tak tahu bagaimana memperlakukan perempuan dengan manusiawi. Ini tergambar dari pengalaman Rasus yang sempat bekerja di luar dukuh. Ia menemukan bahwa di desa lain, warganya memperlakukan perempuan dengan sangat baik, bahkan perempuan bukanlah barang yang bisa diperlakukan sesuka hati kaum pria. Kondisi ini jelas menggambarkan konflik sosial dan isu patriarki yang terkadang masih bisa ditemukan pada masa sekarang, baik karena terbatasnya edukasi dan juga bertahannya tradisi yang merugikan.
“Kepolosan” warga Dukuh Paruk juga turut menuntun warganya pada kehancuran. Ketika periode penumpasan PKI dimulai, warga dukuh tak tahu bahwa selama ini para tentara yang dianggapnya pejuang revolusi ternyata adalah anggota PKI yang bertanggung jawab atas Tragedi G30S PKI. Warga yang selama ini menerima aktivitas anggota PKI di kawasan dukuh akhirnya terseret dalam tuduhan menjadi anggota PKI, yang membuat dukuh mereka diporak-porandakan tentara. Bahkan Srintil ditahan selama dua tahun.
Ketidaktahuan masyarakat awam ini sepertinya masih bisa kita temukan di Indonesia saat ini. Di era yang sudah serba digital dan informasi mudah beredar, kita masih suka mendengar bagaimana masyarakat desa dimanfaatkan dan percaya pada berita bohong yang beredar, membuat rakyat kecil menjadi korban dari intrik dan korban politik oknum-oknum yang memiliki status sosial dan pengetahuan lebih tinggi.
Di era yang sudah serba digital dan informasi mudah beredar, kita masih suka mendengar bagaimana masyarakat desa dimanfaatkan dan percaya pada berita bohong yang beredar, membuat rakyat kecil menjadi korban.
Sekilas Mengenai Ahmad Tohari
Ahmad Tohari merupakan sastrawan asal Purwokerto. Ia sempat menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman kemudian pindah ke Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di universitas yang sama. Ia bahkan sempat mengecap pendidikan di Fakultas Kedokteran YARSI, Jakarta. Akhirnya ia memilih untuk kembali ke kampungnya dan mengasuh Pondok Pesantren NU Al-Falah.
Sebelum menerbitkan karya monumentalnya, Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad sempat bekerja di bank BNI dan mengurus majalah perbankan, kemudian menjadi bagian redaksi majalah Keluarga. Selain Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad lainnya adalah Kubah (1980), Di Kaki Bukit Cibalak (1986), kumpulan cerpen Nyanyian Malam (2000), dan kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang (2013). Salah satu novelnya yakni Bekisar Merah bahkan membuat Ahmad meraih Hadiah Sastra ASEAN tahun 1995.
Ronggeng Dukuh Paruk dalam Medium dan Bahasa Lain
Karya Ronggeng Dukuh Paruk telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa yakni Jepang, Tionghoa, Belanda, dan Jerman. Dalam Bahasa Inggris, Ronggeng Dukuh Paruk diterbitkan oleh Lontar Foundation dengan judul The Dancer. Selain itu Kubah juga diterbitkan dalam Bahasa Jepang atas biaya dari Toyota Ford Foundation.
Karya Ronggeng Dukuh Paruk telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa yakni Jepang, Tionghoa, Belanda, dan Jerman.
Ronggeng Dukuh Paruk juga sudah diadaptasi menjadi film. Ada dua film tepatnya. Pertama, Darah dan Mahkota Ronggeng (1983) yang dibintangi oleh Enny Beatrice dan Ray Sahetapy, serta disutradarai oleh Yazman Yazid. Film kedua adalah Sang Penari (2011) karya sutradara Ifa Ifansyah, dengan bintang Prisia Nasution sebagai Srintil dan Oka Antara sebagai Rasus. Film ini mendapatkan apresiasi besar dari penikmat film Indonesia. Buktinya film ini mendapatkan 11 nominasi dalam Festival Film Indonesia 2011 dan berhasil mendapat empat piala untuk Sutradara Terbaik, Aktris Terbaik, Aktris Pendukung Terbaik, dan Film Terbaik.
Baca juga: Sitti Nurbaya, Buku Karya Marah Roesli