Kerajaan Landak bertempat di Jalan Pangeran Sanca Natakusuma No. 6 Desa Raja, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Kerajaan ini awalnya merupakan Kerajaan Hindu yang terbentuk dari hasil invasi Kerajaan Singasari untuk memblokir masuknya Kerajaan Mongol ke Nusantara.
Pada tahun 1275 masehi, Raja Kertanegara memerintahkan bala tentara untuk mengembangkan kekuasaan yang dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu dan berlangsung hingga tahun 1292 M. Sang Nata Pulang Pali I adalah pemimpin Ekspedisi Pamalayu saat itu. Sang Nata Pulang Pali I adalah putra tertua Ratu Brawijaya Angkawijaya, Ratu Paseban Condong, yaitu Raja yang memerintahkan Kerajaan Majapahit pada tahun 1284-1478 masehi.
Berita meninggalnya Raja Kertanegara mengharuskan rombongan ekspedisi Pamalayu harus pulang ke Jawa. Namun, Sang Nata Pulang Pali I membelokkan armada pasukannya menuju Nusa Tanjungpura, nama Borneo dahulu atau sekarang kita kenal dengan nama Pulau Kalimantan. Rombongan kemudian meneruskan perjalanan melalui Ketapang dan menyusuri Sungai Kapuas hingga berbelok melalui Sungai Landak Kecil dan berhenti di Kuala Mandor.
Kedatangan Belanda melalui kapal dagang VOC mulai menghegemoni kekuasaan dan perekonomian. Menyadari mandeknya dua hal tersebut, Kerajaan Landak beserta rakyat melakukan pemberontakan, antara lain pemberontakan Ratu Adil (1831), pemberontakan Gusti Kandut (1890), dan pemberontakan Gusti Abdurrani (1899).
Pada masa kekuasaan Pangeran Ratu Gusti Abdul Hamid bergelar Panembahan Gusti Abdul Hamid (Raja Kerajaan Landak ke-27), beliau merupakan raja terakhir yang memerintah Kerajaan Landak. Di masa pemerintahan beliau, Kerajaan Landak sangat maju, yang ditandai dengan berkembang pesatnya kehidupan rakyat, baik perekonomian, kesehatan maupun pendidikan. Negeri Ngabang menjadi pusat perhubungan dengan kota-kota lain, setelah dibangunnya jalan raya yang menghubungkan Ngabang dengan Kota Mempawah dan Jembatan Sungai Landak serta jalan yang menghubungkan Kota Sanggau.
Salah satu contoh kemajuan pendidikan antara lain, dikaranglah buku lontar yang bernama Indoek Lontar Keradjaan Landak tahun 1942, oleh Gusti Soelong Lelanang bin Gusti Mahmud Pangeran Leksamana yang berisi tentang sejarah Kerajaan Landak. “Buku lontar tersebut disimpan oleh Sekretaris Kerajaan Landak yakni Gusti Hermansyah. Gusti Hermansyah sekarang sedang mengkonversi sejarah yang terdiri berbagai versi, menjadi satu versi yang sesuai dengan kenyataan dan sejarah,” tutur Gusti Muhammad Nasariansyah.
Karena kemajuan tersebut, Jepang melakukan kudeta besar-besaran dengan membunuh salah satu putra terbaik dari Kalimantan Barat, yakni Pangeran Ratu Gusti Abdul Hamid, beliau menjadi korban keganasan tentara pendudukan Jepang pada peristiwa Mandor. Selain itu ratusan ribu warga juga menjadi korban.
Terjadi kekosongan kekuasaan saat itu, Kerajaan Landak diperintah oleh Pangeran Mangku Gusti Sotol (Wakil Raja XXVIII). Kemudian dilanjutkan oleh Haji Gusti Mohammad Appandi Ranie (wakil panembahan).
Pangeran Mangkubumi Gusti Mohammad Appandi Ranie Setia Negara (1946) mengabdi kepada negara lewat militer. Selama hidupnya beliau adalah pejuang perintis kemerdekaan eksponen 45, legiun veteran PKRI dan mantan kepala Swapraja. Beliau mempelopori penyatuan Swapraja ke dalam Republik Indonesia. Swapraja adalah sistem administrasi daerah Indonesia pada masa Hindia-Belanda dikenal rumit dan mengakui bentuk-bentuk pemerintahan daerah yang berbeda-beda. Disaat beliau meninggal, negara mengadakan upacara kehormatan militer, dalam prosesi penguburannya.
Tradisi Menghormati Leluhur
Gusti Suryansyah Amiruddin merupakan Pangeran ratu Kerajaan Landak yang paling terakhir memerintah. Gusti Suryansyah Amiruddin Pangeran Ratu Landak (2000-sekarang) saat ini di Pontianak tugas mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Tanjung Pura. Dalam acara-acara kerajaan seperti Tumpang Negeri dan ziarah akbar, beliau selalu datang ke Landak untuk menghadirinya.
Kerajaan Landak sekarang ini cukup dihormati oleh masyarakat Ngabang. Pada bulan Juni, kerajaan mengadakan ziarah akbar dan tumpang negeri. Acara ini menjadi bentuk rasa bersyukur, bersedekah, tolak bala selama tiga hari berturut-turut. Kegiatan ini diselenggarakan mulai dari ujung hulu, tengah, dan hilir.
Ziarah akbar menjadi salah satu yang digelar setiap tahunnya oleh Kerajaan Landak. Kegiatan dilakukan dengan berziarah ke makam Raden Abdul Kahar, Raja pertama Kerajaan Landak di Munggu Ayu. “Sedangkan dalam tasyakuran, dilakukan sedekah berupa bahan makanan, hasil bumi, hasil ternak yang diletakkan di perahu. Perahu ini kemudian di hanyutkan dari hulu sampai ke hilir. Tumpeng digantung di anak-anak sungai, khususnya tempat keramat. Begitu juga dengan sesajen yang terdiri dari nasi merah dan nasi putih,” ungkap Gusti Mahyuddin.
Kerajaan Landak mempunyai beberapa peninggalan yang masih bisa kita lihat sampai sekarang. Peninggalan ini antara lain, 2 meriam yang masih tersisa bernama Kyai Mayonggoboyo dan Kyai Tundung Mungso. Kedua meriam ini dibawa oleh Raja Sang Nata Pulang Pali dari Majapahit yang dahulu sering bolak balik dari Jawa ke Kalimantan.
Peninggalan lain yang juga bisa kita lihat di sini adalah dua buah guci atau tempayan, gong, gamelan, congklak (dakon), piring, tombak, perisai dan pedang. “Banyak benda pusaka yang telah dijarah oleh penjajah Belanda. Sedangkan Jepang lebih banyak membunuh putra terbaik dari kerajaan Landak,” tutur Gusti Mahyuddin.
Gusti Mahyuddin bercerita, dua buah meriam di Munggu Ayu menjadi bukti adanya Kesultanan Landak yang pertama. “Meriam ini dahulu pernah menjadi sengketa dan diakui oleh pihak Belanda. Belanda berusaha memindahkan kedua meriam tersebut dengan menarik kapal, namun tidak berhasil.” Ungkapnya seraya menceritakan pengambilan meriam dari dasar sungai, ketika warga sedang menambang emas dan intan. [AhmadSirojuddin/IndonesiaKaya]