Cerita @IbuNia: Nostalgia Bioskop Kota Jakarta - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Cerita @IbuNia: Nostalgia Bioskop Kota Jakarta

cerita-ibunia-nostalgia-bioskop-kota-jakarta-cover-1.jpg

Cerita @IbuNia: Nostalgia Bioskop Kota Jakarta

Sore menjelang malam, di rumah teras depan rumah nenek tidak pernah sepi dari pemuda-pemudi yang kongkow sambil menikmati kopi dan percakapan khas anak muda. Mereka adalah tante-tante dan om-om saya, adik-adik almarhum ibu saya bersama teman-temannya.

Cerita

Sore menjelang malam, di rumah teras depan rumah nenek tidak pernah sepi dari pemuda-pemudi yang kongkow sambil menikmati kopi dan percakapan khas anak muda. Mereka adalah tante-tante dan om-om saya, adik-adik almarhum ibu saya bersama teman-temannya. Rumah nenek di Jalan Bulungan, Jakarta, persis seberang SMA 9, yang sekarang sudah berubah nama menjadi SMU 70. Sejak kecil, saya terbiasa dengan pemandangan itu, sampai sekitar usia 6-7 tahun saya mulai mengerti selera musik, film dan literatur pop masa tahun 70an itu.                        

Rumah nenek di jalan Bulungan menjadi tempat favorit untuk mampir, mengobrol dan bersosialisasi anak muda masa itu, sementara saya yang masih kecil, hanya bisa menguping, ikut mendengarkan musik dari piringan hitam dan mengagumi kerennya tante, om dan teman-temannya ini, dengan sepatu wedges tebal mereka, jeans bell bottom, dan gitar akustik serta keahlian beberapa dari mereka memainkan piano. Selain lokasi yang strategis, rumah nenek sangat dekat dengan pusat perbelanjaan Blok M, juga bioskop super keren di era itu, yaitu New Garden Hall. Setiap ada film baru, dari Hollywood maupun Indonesia, hampir semua penghuni rumah nenek dan kerabat serta sahabat kami berbondong-bondong berjalan kaki cukup 10 menit dan sampailah di New Garden Hall Cinema yang megah.

Saat itu, saya hanya bisa mampir dengan sepeda sehabis mandi sore, melihat megahnya lobby New Garden Hall Cinema, sesekali saya membeli coklat Silver Queen, yang terpajang di etalase kafe bioskop itu. Tetapi, sayangnya, saya belum bisa masuk ruang bioskop dan menonton. Saat itu, masih jarang film khusus anak-anak. Saya cukup puas melihat-lihat poster film di lobby yang lengkap dipajang dengan cuplikan-cuplikan still photo dari adegan film, yang membuat publik penasaran.

Suatu hari, di dalam lobby bioskop yang sejuk, sambil duduk di kursi beludru merahnya yang empuk, saya terpana melihat poster film yang baru saja dipajang. Seorang perempuan cantik dengan rok klasik, terlihat seperti sedang berlari. Wajahnya tertawa lepas tanpa beban. Judul filmnya Badai Pasti Berlalu. Saya langsung teringat percakapan di teras rumah nenek, semua  orang membicarakan film ini. Sutradaranya Teguh Karya, lagu-lagunya mulai sering diputar dan dinyanyikan oleh suara luar biasa dari Berlian Hutauruk.

Di rumah nenek, saya melihat kaset Badai Pasti Berlalu dengan sampul yang sama seperti poster yang ada di bioskop New Garden Hall, di sampul ada tandatangan salah satu tante saya. Saya penasaran dan memutar kaset tersebut dan langsung jatuh cinta dengan lagunya, walaupun sedih dan sangat dramatis orkestrasinya, berbeda dengan tawa lepas bintang film pada poster, yang saat itu tidak saya ketahui namanya. Saat itulah rasa ingin masuk bioskop dan menonton film Badai Pasti Berlalu begitu besar, sampai saya nekat merayu ibu dan ayah untuk diperbolehkan ikut tante, om dan teman-temannya ke New Garden Hall. Tentu saja mereka melarang, karena cerita dewasa film tersebut. Om dan tante saya juga agak keberatan membawa anak kecil seperti saya yang tentu akan merusak kencan ramai-ramai mereka. Sampai akhirnya nenek saya turun tangan, Ia berhasil merayu tante saya dengan kelompok teman perempuannya, untuk mengikut sertakan saya. Akhirnya mereka menurut, dengan catatan, apabila petugas bioskop melarang saya masuk, maka saya harus pulang. Ternyata, dengan lancar kami memasuki bioskop. Pilihan duduk di tengah, membuat saya dapat melihat layar megah yang rasanya saat itu besar sekali. Layar masih ditutupi kain satin keemasan yang berliuk-liuk, lalu perlahan kain terangkat dengan dramatis. Kapasitas ruangan teater juga rasanya sangat luas, kalau tidak salah, cukup untuk hampir 500 penonton.

Saat itu saya sungguh terhipnotis dengan film Badai Pasti Berlalu, dan ketika tiba di tengah film, saat itu ada waktu intermeso untuk penonton bisa kembali membeli snack, saya tetap duduk di dalam menikmati suasana ruang yang terang dan layar yang tetap megah, walaupun kosong tanpa gambar.                        

Pengalaman sinematik ini, tak terlupakan. Sejak itulah menonton film di bioskop menjadi semacam kebutuhan. Bisa dibilang, ini semacam escapism ke dunia berbeda namun begitu nyata di depan mata. Sekarang jaman sudah sangat berbeda. Ruang-ruang bioskop Jakarta sudah terbagi-bagi menjadi ruang-ruang yang lebih kecil, dengan ukuran layar yang juga mengecil. Ruang khusus menonton sudah tidak menjadi kebutuhan lagi, karena menonton bisa dilakukan dimana saja, dengan layar sekecil ukuran ponsel kita, tetapi generasi sekarang perlu diajak membayangkan kekuatan bioskop-bioskop Jakarta, dalam sebuah cerita nostalgia.