Menjelang Hari Raya Nyepi, masyarakat Hindu menjalani sejumlah ritual khas yang pada hakikatnya merupakan upaya pensucian diri dan lingkungan sekitar. Pada 2-4 hari sebelum Nyepi, masyarakat menyucikan diri dan perangkat peribadahan di pura melalui Upacara Melasti. Sementara itu, satu hari sebelum Nyepi, dilakukan ritual Buta Yadnya (Bhuta Yajna). Buta Yadnya merupakan rangkaian upacara untuk menghalau kehadiran buta kala yang merupakan manifestasi unsur-unsur negatif dalam kehidupan manusia. Dalam rangkaian Buta Yadnya, terdapat tradisi pawai ogoh-ogoh yang kemudian berkembang menjadi festival tahunan yang semarak dan menjadi daya tarik pariwisata.
Buta Yadnya terdiri dari dua tahapan, yaitu ritual mecaru (pecaruan) dan ngrupuk (pengerupukan). Mecaru merupakan upacara persembahan aneka sesajian (caru) kepada buta kala. Upacara ini dilakukan dari tingkatan keluarga, banjar, kecamatan, kabupaten, kota, hingga tingkat provinsi. Ngrupuk adalah ritual berkeliling pemukiman sambil membuat bunyi-bunyian disertai penebaran nasi tawur dan menyebarkan asap dupa atau obor secara beramai-ramai. Ritual ngrupuk yang biasa dilakukan bersamaan dengan arak-arakan ogoh-ogoh ini bertujuan agar buta kala beserta segala unsur negatif lainnya menjauh dan tidak mengganggu kehidupan umat manusia.
Ogoh-ogoh adalah patung yang mewakili hal-hal negatif, sifat buruk, dan kejahatan yang ada di dalam dalam kehidupan manusia.
Ogoh-ogoh merupakan boneka atau patung beraneka rupa yang menjadi simbolisasi unsur negatif, sifat buruk, dan kejahatan yang ada di kehidupan manusia. Boneka tersebut dahulu terbuat dari kerangka bambu yang dilapisi kertas. Seiring waktu, kebanyakan ogoh-ogoh saat ini dibuat dengan bahan dasar styrofoam karena dapat menghasilkan bentuk tiga dimensi yang lebih halus. Pembuatan ogoh-ogoh ini dapat berlangsung sejak berminggu-minggu sebelum Nyepi. Waktu pembuatan sebuah ogoh-ogoh dapat bervariasi bergantung pada ukuran, jenis bahan, jumlah SDM yang mengerjakan, dan kerumitan desain dari ogoh-ogoh tersebut.
Umumnya, setiap tingkatan masyarakat dari level banjar akan membuat ogoh-ogoh milik wilayah mereka. Kalangan remaja di suatu daerah umumnya menginginkan agar ogoh-ogoh milik daerahnya lebih unggul dari ogoh-ogoh milik daerah lain. Karena itulah, selain sebagai bagian dari tradisi, proses pembuatan ogoh-ogoh juga menjadi wadah pencurahan kreativitas pemuda setempat. Biasanya, pembuatan ogoh-ogoh dan teknis pelaksanaan arak-arakannya dikelola dalam sebuah kepanitiaan yang dibentuk oleh Sekaa Teruna Teruni (semacam karang taruna) di masing-masing banjar.
Ritual ngrupuk dan pawai ogoh-ogoh dilakukan bersamaan, sehari sebelum Hari Raya Nyepi di setiap banjar di Bali.
Pelaksanaan ritual ngrupuk dan pawai ogoh-ogoh berlangsung serempak sehari menjelang Hari Raya Nyepi atau tilem sasih kesanga di setiap banjar di seluruh Bali. Persiapan pawai biasanya telah dimulai sejak sore dan pawai akan berlangsung hingga menjelang tengah malam. Agar dapat berjalan dengan tertib, Pemerintah Bali kemudian mengeluarkan sejumlah kebijakan, antara lain berupa penertiban rute pawai, pemusatan titik keramaian, dan melombakan kreativitas desain ogoh-ogoh yang dibuat oleh masyarakat. Sejumlah upaya ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pergesekan antar rombongan arak-arakan dari berbagai wilayah dan sekaligus mengemas ajang tahunan ini menjadi suatu tontonan yang menarik bagi masyarakat pendatang, khususnya para wisatawan.
Untuk wilayah Denpasar, keramaian pawai ogoh-ogoh dapat ditemukan di beberapa tempat. Salah satunya adalah di sekitar Patung Catur Muka Puputan, yang merupakan pusat dari alun-alun Kota Denpasar, dengan rute Patung Catur Muka-Jalan Hasanuddin-Jalan M.H. Thamrin-Jalan Gajah Mada-Patung Catur Muka. Selain itu, pemusatan keramaian pawai ogoh-ogoh juga diselenggarakan di monumen Ground Zero Kuta, dengan rute Ground Zero-Jalan Raya Kuta-Jalan Singosari-Pantai Kuta-Ground Zero. Selain di kedua kawasan tersebut, pawai ogoh-ogoh yang diadakan terpusat juga dapat ditemukan di kawasan Renon. Pawai di kawasan Renon berjalan melalui rute McDonald’s Sanur, melalui Bypass Ngurah Rai, kemudian berbelok ke Barat dan berakhir di Jalan Hang Tuah.