Saat melintasi Jalan Raden Saleh, Jakarta, yang sarat kendaraan, akan terlihat sebuah bangunan masjid yang bergaya klasik. Masjid ini bernama Al Makmur. Terletak di kawasan Cikini, Jakarta, Masjid Al Makmur merupakan simbol perlawanan rakyat terhadap pemerintahan kolonial Belanda.
Sebagai salah satu masjid tertua di Jakarta, keberadaan Masjid Al Makmur diiringi sejarah yang panjang dan rumit. Dibangun di atas lahan milik Raden Saleh pada 1860, masjid ini beberapa kali terlibat dalam kasus sengketa tanah.
Sepeninggal Raden Saleh, kepemilikan masjid dan tanah di sekitar masjid jatuh ke Sayed Abdullah bin Alwi Alatas. Masjid dan tanah ini kemudian dijual kepada sebuah yayasan yang bernaung di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Penjualan tersebut dilakukan atas perjanjian yang telah disepakati kedua pihak. Perjanjian tersebut adalah harga tanah dikurangi setengah dengan alasan di atas lahan tersebut akan dibangun rumah sakit, tapi dengan catatan bangunan masjid tidak ikut tergusur.
Pemerintah kolonial Belanda mengingkari perjanjian tersebut. Mereka ingin menggusur masjid. Mendengar hal tersebut, warga Cikini Binatu berupaya keras mencegahnya. Mereka melakukan perlawanan terhadap sikap arogansi pemerintah kolonial Belanda. Perlawanan warga tersebut mendapat empati dari berbagai tokoh nasional yang tergabung dalam organisasi Syarikat Islam. Tokoh-tokoh nasional seperti HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, KH Mas Manshur, dan lainnya bergabung bersama masyarakat untuk mempertahankan bangunan Masjid Al Makmur.
Setelah pertentangan mereda, pada 1926, masyarakat Cikini Binatu bahu membahu melakukan pemugaran bangunan masjid. Mereka mengumpulkan segenggam beras untuk kemudian dijual. Uang hasil penjualan beras lalu dikumpulkan untuk membiayai pemugaran. Haji Muhammad Husni, ketua pengurus Masjid Al Makmur saat ini, menuturkan dengan logat Betawi yang masih kental, “Dulu bapak-bapak nombok batu, ibu-ibu di rumah ditaroin todong (wadah untuk menampung uang), setiap Jumat diambil untuk biayain masjid.”
Setelah mengalami beberapa kali pemugaran, Masjid Al Makmur lalu diresmikan oleh Agus Salim pada 1932. Pada tahun 1962, bagian depan masjid diperlebar dengan bentuk menyerupai bangunan asli Masjid Al Makmur yang lama. Kemudian, tahun 1999, Masjid Al Makmur diresmikan sebagai benda cagar budaya milik Indonesia.
Sebagai bangunan cagar budaya, segala bentuk perubahan masjid harus meminta izin terlebih dahulu kepada Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. Hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan bentuk asli bangunan agar tetap lestari dan terjaga. Selain bentuk bangunan yang masih asli, di dalam masjid juga terdapat jam dinding dan mimbar yang sudah ada sejak masjid ini didirikan.
Saat ini, masjid ini menjadi tempat diadakannya berbagai kegiatan keagamaan, seperti pengajian, pengajian zikir, dan tadarusan. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan secara rutin setiap minggunya. Pengajian dilakukan setiap malam Rabu, pengajian zikir setiap malam Sabtu, sementara tadarusan setiap malam Jumat. Kegiatan-kegiatan keagamaan tersebut selalu diramaikan oleh jamaah yang kebanyakan merupakan masyarakat Cikini. Mereka bangga memiliki Masjid Al Makmur, masjid yang merepresentasikan perjuangan masyarakat terhadap arogansi kolonialisme Belanda.