Jika Jakarta identik dengan Tugu Monas, maka Palembang yang terkenal dengan kuliner empek-empeknya identik dengan Jembatan Ampera. Masyarakat Kota Palembang sepakat bahwa jembatan yang menghubungkan wilayah seberang ilir dan seberang hulu ini merupakan ikon kota yang menjadi kebanggaan masyarakat Palembang. Tak mengherankan jika berbagai panggung hiburan yang digelar di Kota Palembang kerap diadakan di seputaran Jembatan Ampera.
Jembatan Ampera mempunyai panjang lebih dari 1.000 meter, lebar 22 meter (4 lajur kendaraan), dan ketinggian yang mencapai 63 meter. Pada masanya, Jembatan Ampera tercatat sebagai jembatan terpanjang di Asia Tenggara. Ide pembangunan Jembatan Ampera sebenarnya sudah ada sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda pada 1906, dengan tujuan utama untuk menghubungkan dua daerah di Palembang yang terpisah oleh Sungai Musi, yaitu seberang ilir dan seberang hulu. Namun, ide tersebut baru terealisasi pada 1957.
Pada masanya, Jembatan Ampera tercatat sebagai jembatan terpanjang di Asia Tenggara.
Pada awal pembangunannya, Jembatan Ampera sengaja dirancang agar bagian tengahnya bisa diangkat, sehingga kapal-kapal besar dapat melintas Sungai Musi tanpa tersangkut badan jembatan. Pengangkatan badan jembatan dilakukan dengan cara mekanis, yaitu dengan memanfaatkan dua bandul pemberat yang terdapat di kedua menaranya, yang masing-masing mempunyai bobot sekitar 500 ton. Dibutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk membuka jembatan secara penuh, di mana kecepatan untuk membuka jembatan itu sendiri adalah sekitar 10 meter per menit.
Kini, badan jembatan dari Jembatan Ampera sudah tidak dibuka lagi. Selain sudah tidak dilintasi kapal-kapal besar, waktu yang lama untuk membuka jembatan juga dapat menganggu arus lalu lintas yang ada di atasnya. Saat jembatan tidak difungsikan untuk dibuka dan ditutup, untuk alasan keamanan, maka bandul seberat 500 ton yang ada di kedua menara jembatan itu diturunkan.
Selain mempunyai fungsi sentral untuk menghubungkan dua wilayah yang dipisahkan Sungai Musi, Jembatan Ampera juga mempunyai sejarah yang panjang. Awalnya, jembatan ini diberi nama Jembatan Musi, mengingat lokasinya yang melintas di antara dua wilayah yang dipisahkan oleh Sungai Musi. Kemudian nama tersebut juga sempat diganti menjadi Jembatan Bung Karno, sebagai penghormatan kepada Presiden Soekarno yang dianggap berperan besar terhadap pendirian jembatan.
Persoalan politik di Tanah Air pada akhirnya mengubah nama Jembatan Bung Karno menjadi Jembatan Ampera. Ampera merupakan akronim dari Amanat Penderitaan Rakyat, yaitu slogan yang kerap dipakai Soekarno dalam mengilhami perjuangannya dalam memimpin negara untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
Ampera merupakan akronim dari Amanat Penderitaan Rakyat.
Sebagai ikon Kota Palembang, Jembatan Ampera terus mengalami perubahan dan peremajaan. Ketika malam, Jembatan Ampera dihiasi lampu-lampu sehingga tampak indah dan eksotis. Banyak yang berpendapat bahwa menyaksikan Jembatan Ampera saat malam hari adalah seperti menyaksikan keeksotisan Venesia di Italia. Dari atas Jembatan Ampera, Anda dapat melihat Benteng Kuto Besak yang masih kokoh berdiri. Sementara itu, di pelataran Plaza Benteng Kuto Besak, Anda dapat mengunjungi pasar kuliner malam yang selalu dipenuhi para pengunjung. Karena hal itu pula, banyak orang yang berpendapat bahwa melancong ke Palembang belumlah lengkap, jika belum menyaksikan keindahan Jembatan Ampera pada malam hari.
Baca juga: Mengenang Perjuangan Rakyat Sumatra Selatan lewat Monpera