Gandaria. Ini kuncinya. Buah yang satu ini bagian terpenting dari rujak buatan Maman. Berkat buah gandaria, rujak Maman terkenal di seluruh Jakarta. Kuah gula aren yang manis dicampur dengan gandaria, menghasilkan rasa manis asam yang segar.
Buah gandaria sudah langka. Namun, Maman menjadikannya primadona pada rujak-rujak buatannya. Maman selalu berhasil mendapatkan buah itu, dari petani di Sukabumi. Rasa rujak yang unik dan lain dari yang lain, membuat kedai rujak Maman tidak pernah sepi dari waktu ke waktu. Berkat buah itu pula ada hati yang tertambat pada Maman. Hati perempuan bernama Lilis.
Tangan Maman lincah mengaduk-aduk buah-buahan. Semua buah itu berenang dalam kuah gula aren yang sudah dicampur dengan gandaria. Setelah itu Maman membungkus rujak itu ke dalam plastik-plastik bening. Maman belum selesai membungkus semua rujak itu, beberapa pembeli sudah datang.
“Dua ya, Mas. Yang pedas. Makan di sini,” kata perempuan setengah baya sambil menyodorkan selembar uang.
“Ya, Bu,” Maman melayani pembeli itu, masih sambil memamerkan senyum khasnya.
Hari ini semangat Maman meningkat berkali-kali lipat daripada biasanya. Sejak kemarin hatinya berbunga-bunga. Lilis, kekasihnya, akan kembali ke Jakarta. Akhirnya penantian Maman akan berakhir. Mereka akan bertemu lagi. Bertatap muka lagi, setelah satu tahun menjalani cinta jarak jauh.
“Mas, rujak yang sedang satu. Dibungkus,” kali ini sepasang muda mudi yang membeli rujak.
Senyum Maman semakin mengembang. Sebentar lagi Maman akan seperti mereka. Pergi ke mana-mana berdua. Kisah cinta Maman dan Lilis sama seperti rujak. Ada rasa manisnya, ada asam, pedas, bahkan pahit, kalau tidak sengaja menggigit biji buahnya. Maman dan Lilis pun mengalami hal itu.
Pada suatu masa, dua tahun yang lalu, percintaan mereka sangat manis.
Lilis baru saja diterima menjadi petugas kebersihan di mal megah yang ada di seberang kedai rujak Maman. Saat itu Lilis baru kali pertama membeli rujak di kedai Maman.
“Wah, ada buah gandaria!” seru Lilis, ketika kali pertama datang ke kedai rujak Maman.
“Iya, itu ciri khas rujak di sini, Kak,” Maman langsung menjawab dengan antusias.
Maman langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Wajah Lilis begitu alami. Polos tanpa make up. Sangat berbeda dengan gadis-gadis pada umumnya yang berlomba-lomba memakai bedak serupa dempul agar tampil menarik.
“Saya suka buah gandaria. Rasa asamnya tidak bisa didapat dari buah lain,” kata Lilis sambil memesan rujak. Bagi Lilis, rujak Maman sangat istimewa. Ini rujak paling unik yang pernah dia temukan. Lilis berani bertaruh, tidak ada rujak yang rasanya sesegar itu di Jakarta.
Selanjutnya, Maman dan Lilis makin dekat dan akhirnya Maman menyatakan cinta. Dengan pipi bersemu merah alami, Lilis menerima cinta Maman. Rujak membawa dua insan itu larut dalam cinta, membuat Maman dan Lilis tenggelam dalam manisnya dunia. Maman tersenyum lagi, mengenang awal mula pertemuan mereka. Keindahan perasaan itu sukar dilukiskan dengan kata-kata.
“Bang Maman! Jangan senyum-senyum terus! Buah-buahan datang, tuh!” suara Asep membuyarkan lamunan Maman. Asep adalah pengantar buah langganan Maman, dari Sukabumi.
“Eh! I … iya,” Maman nyengir. Pikirannya tak lepas-lepas dari Lilis, sehingga tidak menyadari sudah ada mobil bak terbuka yang penuh buah, terparkir di depan kedai. Maman langsung membantu Asep menurunkan buah-buahan itu. Buni, menteng, dan lobi-lobi, dipindahkan, dari mobil ke kedai Maman.
Lagi-lagi Maman tersenyum kecil. Dahulu, ketika hari libur, Lilis pernah membantu Maman mengangkuti buah-buahan ini ke kedai. Sayang sekali, setelah setahun menjalin cinta, Lilis menerima tawaran pekerjaan di Australia. Di Negari Kangguru itu Lilis bekerja sebagai pemetik jeruk di sebuah ladang. Maman dan Lilis merasa berat harus berpisah. Namun, Maman berusaha berjiwa besar memberi kesempatan pada Lilis untuk berkembang. Tepat pada hari keberangkatan, Maman mengantar Lilis ke bandara. Maman memeluk Lilis erat-erat. Air mata membanjiri mereka.
“Aku pergi untuk sementara lho, Bang. Kamu harus setia. Pokoknya kalau aku kembali ke sini, cinta kamu harus tetap utuh,” kata Lilis dengan wajah besimbah air mata.
Hati Maman semakin pilu mendengarnya. Dia benar-benar ingin menahan gadis itu agar tidak pergi, tapi tidak mungkin.
“Janji?” tanya Lilis sambil menatap tajam pada Maman.
“Janji!” sahut Maman, mantap.
Melihat bola mata menggemaskan itu, Maman tidak tahan. Rasa cinta yang meletup-letup, membuat Maman menarik lagi kepala gadis itu dan menenggelamkan ke dalam pelukan.
Tangis Lilis meledak lagi.
Setelah itu, Lilis bersiap terbang. Maman menatap punggung gadis itu tanpa berkedip. Separuh jiwanya seakan menghilang. Tak terbayangkan bagaimana rasanya menanggung rindu nanti. Bagi Maman, perpisahan sementara ini membuat harinya terasa asam. Tidak manis, tapi juga bukan pahit. Membuat hati resah, tetapi tidak tepat bila dikatakan bersedih. Harus menjalani hubungan LDR membuat Maman seperti mengalami rasa yang tidak nyaman, tapi melengkapi pengalaman hidupnya. Seperti rasa asam pada rujak. Rasanya tidak bisa dibilang enak, tapi melengkapi rasa rujak seluruhnya. Bahkan rujak kurang sempurna kalau tidak ada rasa asamnya.
“Tuh, kan, Bang Maman melamun,” Asep menatap Maman.
“Oh! Eh!” Maman gelagapan.
Maman langsung bergerak lagi, merapikan buah-buahan itu. Selama menjalani cinta jarak jauh, Maman hanya bisa berkomunikasi dengan Lilis lewat video call. Sayangnya, video call tidak mampu menghalau rindu yang menggebu. Nanti, kalau Lilis sudah kembali ke Jakarta, Maman tidak akan mengizinkannya lagi pergi jauh-jauh. Dia akan “mengikat” gadis itu segera.
Waktu itu, begitu Lilis pergi ke Australia, Maman semakin rajin berjualan rujak. Dia sekuat tenaga mengumpulkan uang untuk membeli cincin. Maman akan memberikan cincin itu pada hari kedatangan Lilis nanti. Itu adalah waktu yang tepat untuk melamar gadis pujaannya.
Maman tidak henti-henti memikirkan Lilis. Dia juga sering memandangi foto gadisnya itu.
Hati Maman berdesir melihat foto terbaru kekasihnya. Sejak di Australia, wajah Lilis tidak sepolos dahulu. Lilis memakai lipstik merah manyala. Pipinya pun terpoles pewarna pipi.
***
Hari ini Lilis sudah sampai di Jakarta. Maman dan Lilis janji bertemu di kedai rujak ini. Maman juga sengaja menutup kedainya lebih cepat. Ini hari istimewa. Jangan sampai kesibukannya berjualan mengganggu pertemuan dengan gadis pujaannya.
Sejak pagi, mendung menggayut di langit. Tepat ketika Maman menutup kedai, hujan turun deras. Maman tidak mau menyerah. Dia pergi ke pedagang bunga, lalu membeli seikat bunga. Maman kembali ke kedai. Hujan makin deras. Ah, sial, bunga yang disayang-sayang, kini terkulai kena air hujan. Maman susah payah berjalan menerobos kemacetan, bertarung bersama motor dan mobil yang berebut jalan.
Pluk!
Lengan Mama tersenggol kaca spion motor. Bunga di tangannya pun jatuh dan tercebur di kubangan lumpur. Maman terbelalak. Gagal sudah rencananya memberi bunga pada Lilis. Tapi, tak apa. Maman sudah mengantungi kotak mungil berisi cincin, hasil kerja kerasnya selama ini. Begitu sampai kedai, sudah ada Lilis. Gadis itu sibuk memainkan ponselnya. Rambut dan bajunya basah.
“Lilis!” Maman segera menghambur dan memeluk gadis itu.
Mereka duduk berhadapan dan mengobrol panjang lebar. Maman menggenggam kotak mungil itu di atas lututnya, di bawah meja. Mereka tertawa, bercanda, dan bercerita. Mereka mengenang masa-masa manis dahulu. Sekarang, mereka sudah bersatu lagi.
“Hidup itu memang seperti makan rujak ya, Bang. Ada manisnya, ada asamnya, ada pedasnya,” kata Lilis. Sorot matanya mulai redup.
“Iya. Semoga tidak ada pahitnya,” sahut Maman. Senyum Lilis pudar. Sorot matanya berubah menjadi sedih.
“Ada yang ingin kusampaikan.”
“Ada yang ingin kusampaikan.”
Mereka tiba-tiba berkata berbarengan. Maman tergelak.
“Kalau begitu, kamu duluan,” kata Maman.
Tiba-tiba seorang pria berambut pirang, berhidung mancung, dan bermata biru, datang. Dia menghampiri Lilis.
“Kamu kehujanan? Kubilang kan, tunggu dulu, aku akan mengantarmu pakai mobil. Aku cuma ke tempat parkir sebentar, ambil mobil,” pria itu mengambil handuk kecil dari saku celananya. Lalu, dia mengusap rambut Lilis dengan handuk tersebut.
Maman melongo. Matanya menatap tajam pada Lilis. Namun, yang ditatap justru menatap pria bule itu. Tatapan mesra pula! Hati Maman seperti teriris. Kok, berani-beraninya pria itu bersikap mesra begitu?
“Ngg … Lis …,” Maman baru saja membuka mulut.
“Bang …,” Lilis memotong kata-kata Maman.
Pria bule itu duduk di sebelah Lilis.
“Kenalkan. Ini Frederick. Kami … kami akan menikah minggu depan,” kata Lilis, lirih.
Maman terperanjat. Rasanya seperti ada petir yang menyambarnya. Mulut Maman terbuka, tapi dia tidak mampu mengeluarkan suara.
“Maafkan aku, Bang. Aku tidak sanggup memberi tahu kamu lewat telepon. Aku sudah berniat memberi tahu kamu saat kita bertemu,” kata Lilis panjang lebar.
“Kamu … kamu …,” hanya itu yang terlontar dari mulut Maman. Seluruh tubuh Maman gemetar. Tangan yang menggenggam kotak cincin itu juga bergetar hebat.
“Datanglah ke pesta pernikahan kami,” Frederick, pria itu, berdiri, lalu menepuk-nepuk bahu Maman. Maman menelan ludah. Terasa pahit. Frederick kemudian menggandeng tangan Lilis.
“Aku pamit, Bang” kata Lilis.
Mereka pergi menerobos hujan dan masuk ke sebuah mobil mewah yang terparkir di seberang jalan. Maman tercekat. Pikirannya kusut. Inilah hidup. Ada bagian terpahit, sama seperti ketika tidak sengaja mengunyah biji buah saat makan rujak. Maman baru menyadari, setelah merasakan hidup bercinta yang manis, asam, pedas, kini juga merasakan pahit. Persis ketika makan seporsi rujak. Kotak mungil di tangan Maman, terlepas dari genggaman. Sesuatu berbentuk lingkaran keluar dari kotak itu. Dengan pandangannya, Maman melihat cincin itu menggelinding ke genangan air.
Sebuah mobil lewat, melindas cincin itu.
Genangan air pun membentuk cipratan ke mana-mana. Suaranya lirih, tapi menciptakan lubang besar di dada Maman.