Aku menyorongkan paperbag victoria secret di atas kaca warung makan Mpok Atiek, perempuan yang biasa memberikanku nasi sayur seharga 3 ribu, kadang masih dibonusi perkedel atau tempe orek.
“Buat, Mpok. Hadiah natal dari saya,” kataku tulus.
“Apaan ini, Neng?”
“Pakaian dalam biar seksi kayak Syahrini,” godaku berpura-pura genit. Ukuran badan kami hampir sama, semoga pas.
“Yesusku, Mpok sampai lupa kapan terakhir kali ganti beha, Neng. Udah disambung-sambung pakai benang nih talinya,” Mpok Atiek menarik tali behanya keluar. Beberapa pelanggan tertawa. Sebelum pamit meninggalkan warung, Mpok Atiek masih membungkuskan nasi kepala ayam kesukaanku.
Aku berjalan menuju kosan Maria, meninggalkan kontrakanku di belakang warung Mpok Atiek. Lukas, kekasihku sedang bersenang-senang, aku tak ingin mengganggu. Maria satu-satunya sahabat terdekatku di Jakarta. Kami bertemu di sebuah acara ibadah pemuda. Sejak saat itu dia selalu mengingatkanku untuk ibadah, ikut persekutuan doa, dan mengajakku bergabung dengan paduan suara natal.
Aku harus cerita ke Maria kalau hari ini aku hampir saja melanggar ajaran Tuhan untuk hidup kudus. Maria mungkin butuh mendoakanku. Aku mungkin domba yang hampir tersesat malam ini.
Pikiranku teringat pada sepatu perempuan yang kutemui di pintu kontrakanku dan Lukas, aku sudah kenal pemilik sepatu itu. Di hari-hari biasa aku tak terlalu masalah dengan kebiasaan Lukas bermain-main dengan perempuan lain. Karena Lukas tahu aku belum mau melakukan hubungan seks sebelum menikah dan dia tak pernah memaksa. Bagiku, tinggal berdua di rumah itu adalah upaya penghematan dengan gaji Jakarta yang sangat kecil. Tapi cintaku pada Lukas membuatku tak bisa mengingkari kalau aku menginginkan hubungan yang lebih lekat. Perasaan ingin berbagi.
Lukas tak pernah tahu usahaku mendapatkan pakaian dalam sale. Pakaian dalam bertema Natal, merah dan hijau. Aku ingin punya pengalaman merayakan tubuh seperti yang
dilakukan anak muda lain di Jakarta. Aku benci mengekang tubuh sementara yang lain bermain-main dengan bebas.
Sebelum berbelok ke gang rumah Maria, tak sengaja aku melihat toko pakaian yang menjual pakaian anak-anak. Aku ingat Jia dan celana dalamnya yang pesing. Di sebuah sudut kutemukan pakaian dalam anak-anak yang bermotif zebra. Mengingatkanku pada buku kesayangan kami, Underwear Mary Elise. Kisah seekor zebra yang senang memakai celana dalam aneka warna dan seekor kerbau pemurung yang tak mau memakai celana dalam warna-warni meski ganjarannya adalah kegembiraan dan persahabatan yang seru.
Aku ingat kelakuan monster-monster kecil di kelasku sebelum hariku berakhir di antrian sale pakaian dalam. Hanya ada empat anak di kelas kecil kami: Opi yang terus membolak-balik domba kaca yang di dalamnya menyimpan serpihan salju, Jia yang terus melotot padaku sambil bertanya: Miss, sedih? Miss, sedih? Dia bertanya setiap lima menit sekali sejak jam 8 pagi. Dia tak peduli meski kujawab tidak. Rati yang serius menggambar berbagai jenis hantu berambut merah, dan Ika yang terus mengulang-ulang lagu: “Yesus Cinta Semua Anak di Dunia” sampai Jia menjambak rambutnya karena bosan.
Pagi ini kami duduk berkeliling meja mengerjakan proyek kecil untuk merayakan Natal sekolah. Kami harusnya membuat salju warna-warni dengan cat air, tapi semua proyek itu nyaris gagal. Aku harus menenangkan Ika yang menangis keras setelah rambut kuncirnya ditarik. Setelah membuat Ika menangis Jia mulai mengganggu Opi dengan domba kacanya. Aku menenangkan Ika dalam pelukan sambil berusaha menyelamatkan domba kaca yang sedang diperebutkan, kalau domba kaca itu pecah keadaan akan lebih kacau.
“Miss, simpan dulu domba kacanya ya,” kataku pada Opi setelah berhasil menariknya dari tangan mereka berdua.
“Aca…aca…” kata Opi yang kesulitan bicara.
“Iya, Miss simpan di lemari kita biar enggak bisa diambil Jia.”
Opi mulai mengerti ketika dia melihatku meletakkan domba kaca itu di atas lemari. Ika sudah mulai tenang. Pelan-pelan aku mengajak mereka kembali ke atas meja dan
melanjutkan projek kapas warna-warni. Jia mengamati kami dari pintu, takut mendekat. Aku pura-pura tak melihatnya.
“Kalau kita berhasil membuat kapas ini lebih cepat, kita punya waktu membaca buku sebelum pulang,” tawarku pada 3 anak di depanku.
Jia nyeletuk dengan mulut pedasnya, “Mengapa kita tidak mendengarkan musik Natal saja? Miss payah.”
“Kalau Miss pasang lagu Natal apakah semua mau bekerja lagi?”
Semua setuju. Jia mengangguk sangat pelan. Aku memutar musik dari speaker kecil kami dan semua mulai bekerja dengan tenang.
Kulihat kapas warna-warni sudah menggunung di atas meja. Karena musik yang mengalun lembut anak-anak mulai terlihat mengantuk. Lima belas menit lagi sebelum jam sekolah berakhir.
“Miss, bacakan buku Underwear,” pinta Ika. Ia sudah duluan mengambil buku bergambar itu dan duduk di pangkuanku. Yang lain mengambil posisi rebahan. Aku mulai membacakan isi buku, anak-anak asyik mengagumi celana dalam warna-warni dan tingkah kerbau dan teman-temannya.
“Miss bagaimana kalau kita minta celana dalam warna-warni untuk hadiah Natal?” tanya Ika.
“Mungkin ide bagus. Jadi kelas kita tidak bau pesing terus,” kataku tertawa. Ika dan Jia yang sudah bisa menulis merangkai huruf dengan bersemangat. Aku membantu tangan Opi membentuk abjad. Rati yang tak sabar menulis memilih menggambar kaus kaki yang diantar setan rambut merah. Kami semua asyik menulis surat dan abai pada sekitar ketika kudengar suara yang membuat sore itu berantakan. Prangg.
Aku menoleh. Jia ternyata berusaha mengambil domba kaca di atas lemari dan sekarang domba kaca itu jatuh berantakan di lantai. Opi menangis keras melihat domba ajaibnya pecah berkeping-keping. Kelas kami berubah jadi badai setelah sore yang kupikir sangat indah. Jia segera melarikan diri ke ruang tempat kami menyimpan barang dan menguncinya dari dalam. Opi yang kesulitan berjalan menunjuk-nunjuk domba kacanya. Airmatanya mengalir deras. Aku merasa bersalah karena telah mengkhianati kepercayaanya.
“Nanti kita cari domba baru ya,” kataku mengusap kepalanya. Kemudian aku sibuk membersihkan kaca dan genangan air di lantai. Miss Lucy dari kelas sebelah datang dan memberi bantuan.
Opi berhasil ditenangkan dan dijemput orangtuanya. Aku minta maaf karena tidak bisa menyimpan domba kacanya. Setelah urusan Opi beres, aku masih harus membujuk satu monster kecil keluar dari sarangnya.
“Jia, semua anak anak sudah pulang. Ayuk keluar,” kataku lembut.
“Tidak mau, kalau aku keluar nanti aku dipukul.”
Jia punya banyak bekas luka di tubuhnya karena ayahnya.
“Tidak, Miss tidak pukul. Miss tau Jia enggak sengaja kan?”
Hening dari dalam.
“Jia, Miss harus segera pulang. Sekolah sudah sepi. Kamu mau sendirian di sini?”
“Miss beneran tidak pukul?”
“Memangnya pernah Miss pukul kalian, tidak kan?” kataku lagi. Hatiku mulai tak sabar. Hari semakin sore dan anak ini bisa bikin kacau. Tolonglah sekali ini saja aku ingin bersenang senang, pintaku dalam hati. Jia tetap tak membuka pintu. Aku membereskan barang, menutup jendela dan memainkan kunci di dekat pintu.
“ Miss pulang, ya Jia.”
Perlahan pintu dibuka sebuah kepala menyembul. Aku melihat matanya yang ketakutan. Aku mengulurkan tangan mengajaknya keluar. Jia mengambil tasnya dan meraih tanganku. Bau pesing terasa ketika Jia merapat ke tubuhku. Mungkin Jia lebih butuh pakaian dalam daripadaku.
Kuambil beberapa pakaian dalam yang lucu sambil membayangkan empat anak ajaib yang sudah setahun ini mengisi hidupku. Anak-anak korban kekerasan dan gangguan mental sering bermasalah dengan toilet training. Mungkin dengan celana dalam baru ada satu hari kelas kami bebas bau pesing. Kami bisa menikmati natal yang harum. Kuminta masing-masing celana dibungkus kado yang cantik. Lalu aku keluar dari toko.
Seorang perempuan menyerahkan sebuah brosur ke tanganku. Aku tak sempat lihat brosurnya sebab perutku terasa perih. Aku belum sempat makan seharian karena selesai mengajar aku buru-buru ke mall untuk antri sale pakaian dalam merk ternama. Aku tertawa pedih membayangkan diriku berdiri hampir dua jam menunggu sale. Kupijat betisku yang terasa pegal.
Sebuah pesan masuk dari Lukas.
Pulang jam berapa? Aku sudah masak nasi, ya. Tinggal beli lauk di warung Mpok Atiek.
Dia pasti sudah selesai bersenang-senang dengan perempuan itu. Betapa aku ingin menggantikan posisi semua perempuan yang dia tiduri, tapi memandang tubuhku di cermin pun aku tak percaya diri bagaimana kalau harus menelanjangi diri di depan Lukas?
Aku masuk ke supermarket membeli sosis dan kopi kemasan. Saat mengantri beberapa anak muda berbaju seragam berdiri di depan antrianku. Aku tahu mereka pemuda gereja dari kaos seragam yang mereka kenakan. Aku bisa membaca dengan jelas tulisan di punggung baju mereka: Tubuhku Adalah Bait Allah.
Tiba giliranku. Aku menerima sosis dan kopi lalu keluar dari supermarket. Mengistirahatkan kakiku di kursi. Sambil menggigit sosis kulihat lagi pesan Lukas. Kuketikkan sesuatu yang kuputuskan dengan tiba-tiba setelah mengingat tulisan di punggung baju tadi.
Sepertinya aku mau pindah kosan. Nanti kita bicara, ya.
Kumasukkan hape ke dalam tas mencoba menikmati sosis dan kopi sepenuhnya. Aku merasakan kelegaan karena berhasil membuat keputusan.
Jam setengah 10 ketika sosis dan kopiku habis. Aku berjalan keluar dari kafe dan memikirkan rencanaku untuk pindah rumah. Mungkin aku harus jauh lebih berhemat lagi, tapi mungkin ini bukan keputusan yang buruk. Aku bergegas menuju kosan Maria. Kamarnya ada di ujung lorong. Kosan Maria jauh lebih bagus dari kontrakanku dan Lukas. Maria bekerja sebagai konsultan di usia belia, sehingga gajinya berkali lipat gajiku. Di depan kamar Maria ada sticker bertuliskan: Jaga Kekudusan.
Aku baru mau mengetuk pintu ketika pintu kamar dibuka dari dalam. Seorang lelaki keluar dari kamar dan kaget mendapatiku ada di depan kamar.
“Imanuel?” kakiku gemetar.
“Siapa, Sayang?” suara Maria menyusul di belakang.
Maria lebih kaget lagi melihatku tapi berusaha menguasai senyumnya.
“Kamu nggak kabar-kabar mau ke sini? Kita baru saja ngobrol buat rencana panitia natal.”
Tadi aku merasa tolol karena berada di antrian pembeli pakaian dalam bermerk selama berjam-jam. Berebutan pakaian dalam dengan puluhan perempuan, dengan harapan bisa berbagi sesuatu yang penting dengan Lukas. Sekarang aku merasa jauh lebih tolol karena sudah percaya pada dua orang yang selalu mengingatkanku menjaga kekudusan. Aku duduk di dalam bus dengan setumpuk celana dalam anak-anak. Sebuah brosur mencuat dari dalam tasku. Brosur mbak-mbak di depan toko.
Spa vagina dengan lilin. Mengencangkan, menghilangkan kerutan, dan mencerahkan. Untuk apa spa vagina?